Hari Kamis, Pekan Biasa ke-VI
Yak. 2:1-9
Mzm. 34:2-3,4-5,6-7
Mrk. 8:27-33
Berbahagialah orang miskin
Saya sering menonton cuplikan video singkat inspirasi kehidupan tentang perlakuan orang kaya terhadap orang miskin di Facebook. Sosok-sosok yang ditampilkan adalah kaum milenial yang memiliki segalanya yakni harta dan kuasa berhadapan dengan orang-orang miskin dan tak berdaya. Diksi yang dipakai dalam pembicaraan para milenial ini cenderung merendahkan sesama milenial yang miskin, ditambahi dengan kekerasan verbal dan kekerasan fisik. Settingan tempat biasanya di restoran dengan makanan yang mewah, kantor dengan isinya yang sangat modern, mobil-mobil produksi terbaru dan lain-lain yang kiranya mewakili gaya hidup orang kaya dalam pikiran para milenial masa kini. Kadang-kadang ada pemeran orang pertama perusahaan yang menyamar sebagai orang miskin untuk mengetahui keadaan sesungguhnya dari perusahaan yang dipimpinnya. Dari situ ia berhasil membongkar borok-borok orang yang sudah lama berkarya di perusahaan, misalnyanya yang suka menindas, tidak jujur, tidak adil dan lain sebagainya. Saya menangkap salah satu isyarat penting dari berbagai cuplikan video singkat ini bahwa orang miskin di mata manusia dianggap rendah tetapi tentu berbeda di mata Tuhan. Tuhan justru menyapa kaum miskin ‘sahabat bukan hamba’ dan ‘berbahagia’ sebagai sapaan yang sangat bermakna.
Pada hari ini kita mendengar kelanjutan pengajaran dari Rasul Yakobus. Ia mengingatkan komunitasnya supaya dalam menghayati iman kristiani, mereka jangan memandang muka. Mereka memandang semua orang sebagai saudara dan sahabat bukan sebagai hamba atau orang rendahan yang tidak berguna. Sikap memilih-milih dan memisahkan sesama berdasarkan harta kekayaannya sangat tidak kristiani karena di mata Tuhan kita semua sama. Mengapa? Sebab semua yang kita miliki adalah titipan Tuhan. Tugas kita adalah saling menolong supaya kebahagiaan itu menjadi milik kita semua bukan milik seseorang atau satu kelompok saja.
Tentang hal ini Rasul Yakobus memberi contoh ini: “Jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk, dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: “Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!”, sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: “Berdirilah di sana!” atau: “Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!”, bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?” (Yak 2:2-4). Contoh yang dipakai Yakobus ini selalu terjadi di dalam kehidupan kita. Saya sebagai seorang Romo selalu merasakannya. Misalnya, Romo itu selalu menjadi prioritas: orang pertama yang mengambil makanan dan minuman di meja, dilayani secara khusus, duduk di tempat yang bagus, selalu ada orang yang menemani untuk berbicara dan aneka perlakuan khusus lainnya. Hal ini sangatlah berbeda dengan para umat yang miskin dan lemah. Mereka dibiarkan begitu saja, mendapat sapaan pun tidak. Perlakuan seperti ini sebenarnya keliru. Sebab siapa saja yang ada di dalam Gereja bersamaan kedudukannya di hadapan Tuhan.
Untuk mengatasi sikap hidup semacam ini, Rasul Yakobus mengoreksi komunitasnya dan kita semua saat ini supaya tidak memilih dan memilah-milah sesama kita. Kita semua sama di hadapan Tuhan. Di atas langit masih ada langit! Berkaitan dengan ini Rasul Yakobus berkata: “Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?” (Yak 2:5). Tuhan Allah mengarahkan mata-Nya, memilih orang-orang yang mengasihi-Nya yakni kaum miskin di dunia ini supaya menjadi kaya di dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan-Nya. Yakobus mengakhiri pengajarannya dengan mengingatkan hukum kasih yang harus dilakukan di dalam hidup ini. Ia berkata: “Jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, kamu berbuat baik. Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.” (Yak 2:8-9).
Tuhan menunjukkan keberpihakan-Nya kepada kaum miskin ketika mengutus Yesus Putera-Nya ke dunia dengan mengambil rupa sebagai orang miskin sehingga membuat manusia yang miskin menjadi kaya di hadirat-Nya yang Mahakudus. St. Paulus menjelaskan model keberpihakan Tuhan Allah dalam perkataan ini: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2:5-11). Yesus Kristus tetaplah model inspiratif bagi kita semua.
Tuhan Yesus Kristus menurut pengakuan iman St. Petrus, adalah Mesias atau Dia yang diurapi dan dikuduskan. Ini adalah sebuah hal yang istimewa bagi orang-orang zaman itu. Namun Yesus berusaha melarang mereka dengan keras supaya tidak boleh memberitahukan identitas-Nya kepada orang lain. Yesus bukanlah Mesias yang jaya sesuai kriteria manusia tetapi seorang Mesias yang menderita bahkan dibunuh dan pada hari ketiga bangkit dengan jaya. Tentu hal ini mengagetkan semua murid yang mendengar perkataan Yesus saat itu. Petrus yang barusan mengakui Yesus sebagai Mesias juga mendapat teguran keras dan disebut sebagai ‘iblis’ oleh Yesus karena memikirkan Yesus sebagai Mesias yang jaya bukan Mesias yang menderita. Pikiran Petrus memang sangat manusiawi tetapi itu juga yang menjadi pikiran banyak orang. Posisi atau kedudukan, harta dan kuasa selalu ada di dalam pikiran manusia dan lupa bahwa menderita juga dibutuhkan di dalam hidup untuk mendewasakan dan membahagiakan. Bekas luka selalu mengajar kita bagaimana kita menghargai hidup dan kehidupan sesama, orang miskin dan lemah sekalipun. Kita semua sama di mata Tuhan.
PJ-SDB