Memandang dan mengagumi Dia yang tersalib
Pada hari Jumat Agung ini mata kita semua tertuju kepada Tuhan Yesus yang tersalib. Sejak tadi pagi kita mengikuti ibadat Jalan Salib, ada yang mengikutinya secara online, ada juga yang mengikutinya secara offline. Pada sore harinya kita mengikuti Ibadat penyembahan Salib. Kisah sengsara Yesus dibacakan kembali membuat hati sedih, air mata mengalir tanpa disadari. Seorang umat menulis kepada saya: “Selamat siang Pastor John. Hari ini saya merasakan kesedihan yang mendalam loh pastor. Iya benar seperti kehilangan orang yang benar dicintai, saya merasakan pengorbanan Tuhan Yesus Kristus begitu berat ya untuk kita semua, semoga Tuhan mau menampuni segala dosa saya, dan menuntun kehidupan saya untuk lebih baik sesuai dengan ajaran-Nya.” Bagi saya, ini merupakan sebuah pengalaman iman luar biasa di hari Jumat Agung. Banyak kali Tuhan menyapa kita melalui pengalaman iman yang sederhana ini namun sangat transformatif.
Pengalaman iman umat ini membantu kita untuk merenung lebih dalam lagi tentang kematian Kristus yang kita kenang pada hari Jumat Agung ini. Tuhan Yesus hidup dalam sejarah manusia. Ia mengalami penderitaan yang mengerikan, hanya karena kasih kepada manusia. Nabi Yesaya menulis tentang Hamba Yahwe yang menderita seperti ini: “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” (Yes 53:3-5). Perkataan nabi Yesaya tentang Hamba Yahwe yang menderita ini memang luar biasa. Semua terpenuhi di dalam di Yesus Kristus, yang sangat menderita bagi kita. Seribu satu kekerasan fisik dan kekerasan verbal di alami oleh Yesus. Dan tepat sekali perkataan ini: “Oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh”.
Tuhan Yesus menderita hingga wafat di atas kayu salib karena Dia taat. Mengapa Dia taat kepada Bapa di Surga? Alasan utamanya adalah Yesus memilikikemampuan untuk mendengar dengan baik setiap perkataan Bapa tentang rencana untuk menyelamatkan manusia. Semakin Dia mendengar Bapa, Dia juga menjadi patuh kepada kehendak Bapa. Kepatuhan kepada kehendak Bapa membuat-Nya mengasihi Bapa. Ia bahkan mengakui: “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30).
Saya mengakhiri Food For Thought ini dengan mengutip dua sosok yang hebat. Sosok pertama adalah Dietrich Bonhoeffer. Beliau adalah seorang teolog dari Gereja Luteran, pernah berkata: “Jumat Agung dan Paskah membebaskan kita untuk memikirkan hal-hal lain yang jauh melampaui nasib pribadi kita sendiri, tentang makna tertinggi dari semua kehidupan, penderitaan, dan peristiwa; dan kita menyimpan harapan besar.” Tidak ada Paskah tanpa Jumat Agung. Ini benar-benar menjadi saat pembebasan yang tepat dalam hidup ini. Sosok kedua adalah Hans Urs von Balthasar. Beliau adalah seorang teolog Katolik dari Swiss, pernah berkata: “Tanpa Paskah, Jumat Agung tidak akan ada artinya. Tanpa Paskah, tidak akan ada harapan bahwa penderitaan dan pengabaian dapat ditoleransi. Tetapi dengan Paskah, jalan keluar menjadi terlihat untuk kesedihan manusia, masa depan yang mutlak: lebih dari harapan, harapan Ilahi.”
Mari kita tetap memandang Dia yang tersalib. Dia tidak pernah berhenti mengasihi kita. Hari ini kita juga memperbaharui hidup kita untuk semakin mengasihi, semakin terlibat dan semakin menjadi berkat bagi semua orang. Tuhan memberkati kita semua.
PJ-SDB