Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XI
2Kor. 11:18,21b-30;
Mzm. 34:2-3,4-5,6-7;
Mat. 6:19-23
Selalu ada mata yang memandang
Pada tahun 1989 yang lalu saya memulai proses pembinaan sebagai calon imam dan biarawan di dalam Kongregasi Salesian Don Bosco (SDB). Kongregasi Salesian Don Bosco masuk ke Indonesia bersamaan dengan hadirnya sosok misionaris besar Padre Jose Carbonell, SDB yang sudah tutup usia pada tanggal 22 April 2021 lalu, dalam usia 94 tahun. Saya mulanya mengenal nama Kongregasi ini melalui Mingguan Hidup Katolik dalam hubungan dengan perkembangan Gereja di Timor Leste saat itu dan gejolak sosial politiknya. Meskipun sebelumnya saya tidak pernah berjumpa secara langsung dengan sosok Padre Jose Carbonell tetapi saya merasa tertarik untuk mengenal sosok Don Bosco lebih jauh. Di sinilah cikal bakal panggilan saya untuk menjadi biarawan dan nantinya menjadi Imam Salesian ketiga dari Indonesia.
Ada pengalaman menakjubkan ketika baru bergabung dengan Kongregasi kebanggaan ini. Kongregasi ini membina anak-anak muda dalam bidang pendidikan formal dan non formal berbasis asrama. Itu sebabnya saya saat itu juga menjadi Bapa Asrama. Saya memperhatikan suasana asrama yang sangat teratur. Ada tulisan-tulisan yang menjadi bagian dari tradisi edukasi Don Bosco untuk mengingatkan anak-anak muda dan remaja supaya tidak jatuh ke dalam dosa. Misalnya, “Tuhan melihat engkau”. Tulisan ini banyak ditemukan di pojok-pojok asrama. Setiap anak muda dan remaja yang melihat tulisan ini akan merasa yakin bahwa Tuhan sedang melihatnya dan dengan demikian dia tidak boleh jatuh ke dalam dosa. Menakjubkan! Selalu ada mata Tuhan yang memandang anak-anak yang berada di hadirat-Nya supaya tidak jatuh ke dalam dosa.
Saya teringat pada sosok Helen Keller (1880-1968). Penulis berkebangsaan Amerika ini memiliki ketidaksempurnaan fisik seperti kita yang lain. Namun dalam keterbatasannya ini, ia menunjukkan kesempurnaan yang luar biasa. Ia pernah berkata: “Dalam setiap keindahan, selalu ada mata yang memandang. Dalam setiap kebenaran, selalu ada telinga yang mendengar. Dalam setiap kasih, selalu ada hati yang menerima.” Kita dapat membayangkan seorang yang buta tetapi masih mengatakan bahwa dalam setiap keindahan selalu ada mata yang memandang. Hatinya tentu penuh rasa syukur atas apa yang dimilikinya, bukan sebagai sebuah kekurangan yang disesali tetapi ternyata menjadi kelebihan yang disyukuri. Kita lebih terpenjara dengan diri kita sendiri ketika kita memiliki kelemahan fisik dan merasa sebagai aib. Dari situ kemampuan untuk bersyukur juga berkurang bahkan lenyap dalam hidup kita.
Pada hari Tuhan Yesus tampil beda. Ia mengingatkan satu hal yang selalu menganggu kehidupan doa kita, meskipun sudah ada doa Bapa Kami sebagai doa yang paling sempurna. Hal yang dimaksudkan Yesus adalah harta yang selalu mengganggu kehidupan doa atau kemampuan untuk bersekutu dengan Tuhan. Yesus tahu kehidupan kita maka Ia berkata: “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Mat 6:21). Perkataan Yesus ini bukan tanpa dasar. Ada kecenderungan untuk menjadi ‘avarice’ atau lebih ekstrim menjadi ‘gila harta’ di dalam hidup ini. Orang diberikan Tuhan dua bola mata yang indah bukan hanya untuk kebaikan namun terkadang ia keliru menggunakannya dengan lebih melihat harta dan bernafsu untuk memilikinya. Sebab itu Yesus juga sebelumnya mengingatkan kita semua: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.” (Mat 6:19-20).
Mari kita memeriksa bathin kita. Hampir setiap hari kita menjadi gila karena ciptaan Tuhan yang ada di sekitar kita. Ada kecenderungan untuk menjadi avarice, hedonis, konsumeris hingga menjadi koruptor. Mengapa bisa terjadi demikian? Karena ada mata yang menandang dan menginginkan dan hati yang bernafsu untuk memiliki atau mengumpulkan meskipun tidak membutuhkannya. Maka tepatlah yang Tuhan Yesus katakan: “Di mana ada harta, di situ ada hati manusia”. Hal yang terpenting adalah dengan mata yang memandang kepada harta surga yang bersifat abadi.
Selanjutnya Tuhan Yesus mengatakan: “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.” (Mat 6:22-23). Bagi saya ini adalah kata-kata yang super sekali. Mata memang menjadi pelita bagi tubuh kita. Mata membuka hati dan pikiran kita untuk mengenal diri dan hidup layak di hadirat Tuhan. Sorot mata kita yang baik mencerminkan siapakah diri kita sebenarnya. Sorot mata yang tidak baik menggambarkan betapa gelapnya diri kita. Saya adalah seorang imam, pasti mendapat banyak penilaian umat tentang sorot mata saya kepada mereka. Apakah sorot mata saya menunjukkan kebapaan, gembala berbau domba atau sorot mata kegelapan yang menyesatkan. Ini yang kiranya juga mendorong Don Bosco untuk konsisten mengedukasi anak-anak muda dan remaja supaya merasa dan percaya bahwa Tuhan selalu melihat mereka.
Apa yang harus kita lakukan supaya selalu memiliki mata yang memandang? Ada kesadaran dalam hidup kita seperti Santo Paulus. Di dalam bacaan pertama, Paulus memiliki mata yang memandang, boleh dikatakan memiliki mata Tuhan yang ada padanya untuk melihat kembali pergumulan hidupnya sebagai rasul dan misionaris, beserta suka dan dukanya (2Kor 11:18.21b-30). Dia sampai pada perkataan yang menggambarkan hidupnya: “masih ada urusanku sehari-hari yakni memelihara semua jemaat”. Jemaat adalah harta yang Tuhan berikan kepadanya dan sebagai rasul dan misionaris, ia memelihara iman mereka. Ini sebuah tanggung jawab yang luhur dan luar biasa. Dengan mata yang memandang, ia membawa mereka kepada Tuhan. Mata selalu dan selamanya menjadi pelita tubuh. Kita belajar dan mengikuti mata dan hati St. Paulus yakni memandang dan mengasihi dengan kasih Tuhan.
P. John Laba, SDB