Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XVIII
Bil. 20:1-13;
Mzm. 95:1-2,6-7,8-9;
Mat. 16:13-23
Jangan Mencobai Tuhan Allahmu!
Masa pandemi ini memberi banyak pelajaran berharga bagi kita. Saya sebagai seorang gembala merasakannya pada saat-saat pelayanan secara online, seperti perayaan ekaristi bersama, pertemuan doa dan pendalaman iman. Dalam waktu singkat bisa mengumpulkan banyak orang dari berbagai tempat. Sungguh menjadi pelayanan lintas batas. Di saat-saat seperti ini saya bisa melihat mana umat yang sungguh-sungguh mau beribadah dan mana yang hanya mau mengikutinya saja. Mereka yang mau beribadah biasanya menyiapkan altar kecil dan kelengkapannya, pakaiannya juga layak dan pantas. Mereka yang hanya mengikutinya saja tanpa motivasi yang jelas akan kelihatan tanpa persiapan apapun. Ada juga umat yang lebih ekstrim di masa pandemi ini. Mereka mencobai Tuhan Allah, mempertanyakan eksistensi dan keterlibatan-Nya dan perlahan-lahan menjauhi-Nya. Begitulah keadaan banyak orang saat ini di hadirat Tuhan. Situasi pandemi mengubah relasi dengan Tuhan dan sesama.
Kita mendengar bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini, baik bacaan pertama maupun bacaan Injil sama-sama menggambarkan relasi dengan Tuhan dengan warna-warninya tersendiri. Dalam bacaan pertama digambarkan bagaimana bangsa Israel bersungut-sungut lagi di hadirat Tuhan melalui Musa. Setelah mereka kenyang dengan Mana dan daging burung puyu, kini mereka bersungut-sungut karena merasa haus. Peristiwa ini terjadi di Kadesh, setelah Miryam meninggal dunia. Apa yang orang-orang Israel lakukan saat itu? Mereka berkumpul sambil mengerumuni Musa dan Harun. Mereka bertengkar dengan Musa dengan berkata: “Sekiranya kami mati binasa pada waktu saudara-saudara kami mati binasa di hadapan Tuhan! Mengapa kamu membawa jemaah Tuhan ke padang gurun ini, supaya kami dan ternak kami mati di situ? Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membawa kami ke tempat celaka ini, yang bukan tempat menabur, tanpa pohon ara, anggur dan delima, bahkan air minumpun tidak ada?” (Bil 20:3-5).
Pada saat yang sulit ini, Musa dan Harun yang baru saja ditinggalkan Miryam harus menunjukkan jiwa kepemimpinan mereka. Mereka harus tahan banting menghadapi bangsa Israel yang tegar tengkuk dan mencobai Tuhan Allah. Musa dan Harun tidak mengandalkan diri mereka. Di saat yang sulit mereka kembali kepada Tuhan dan memohon pertolongan-Nya. Tuhan mendengar seruan Musa maka Ia berkata kepada Musa: “Ambillah tongkatmu itu dan engkau dan Harun, kakakmu, harus menyuruh umat itu berkumpul; katakanlah di depan mata mereka kepada bukit batu itu supaya diberi airnya; demikianlah engkau mengeluarkan air dari bukit batu itu bagi mereka dan memberi minum umat itu serta ternaknya.” (Bil 20:8). Musa melakukan kehendak Tuhan Allah, terjadilah bahwa Musa memukul batu dan kelarlah air dari dalam batu itu sehingga memuaskan dahaga bangsa Israel.
Musa, Harun dan Miryam memiliki takdir tersendiri. Tuhan Allah juga menganggap bahwa mereka bertiga tidak percaya kepada-Nya sehingga Tuhan sendiri tidak mengijinkan mereka untuk masuk ke tanah terjanji. Tuhan Allah berkata: “Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka.”(Bil 20:12). Musa, Harun dan Miryam telah menginspirasi kita untuk memahami relasi Tuhan dan manusia. Mereka memang pemimpin sejati, namun haknya Tuhan untuk menyatakan apakah mereka tetap hidup atau mati. Rancangan Tuhan bukanlah rancangan manusia.
Relasi akrab antara Tuhan Allah bersama Musa, Harun dan Myram mirip dengan relasi antara Yesus dan para rasul-Nya. Ia mengutus para murid-Nya untuk mewartakan Injil dan menghadirkan Kerajaan Allah dengan seruan tobat. Ketika mereka kembali dari perutusan, Yesus mengajak mereka ke Kaisarea Filipi. Di sana ia bertanya tentang kesan-kesan orang-orang yang mendengar pewartaan mereka, terutama tentang pribadi Yesus yang mengutus mereka. Banyak orang tidak mengenal Yesus. Mereka hanya menebak-nebak dengan menyebut Yohanes Pembaptis, Elia, Yeremia atas salah seorang dari para nabi. Ini menjadi kesempatan bagi Yesus untuk mengoreksi para rasul dan setiap pribadi yang mengikuti-Nya dari dekat supaya benar-benar hidup sesuai dengan maksud dan kehendak Allah Bapa. Ia bertanya tentang siapa diri-Nya di hadapan mereka dan tak satupun yang bisa menjawabnya. Hanya Simon yang mendapat rahmat istimewa untuk menjawabnya dengan tepat: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat 16:16)
Simon Petrus mengispirasi kita semua. Ia menjawabnya dengan tepat dan mendapat apresiasi yang maksimum dari Yesus sendiri. Namun apa yang ada di dalam pikirannya? Simon Petrus ternyata memiliki bayangan bahwa Yesus adalah Mesias yang jaya, bukan Mesias yang menderita. Berkaitan dengan hal ini maka Simon Petrus menegur Yesus. Ia menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” Reaksi Yesus sangat keras kepada Simon Petrus: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Mat 16:23). Teguran keras tidak memutuskan relasi Yesus dan Simon Petrus. Tuhan Yesus tetap memanggil-Nya untuk mengikuti dan melayani-Nya sampai tuntas. Simon Petrus mencapai garis akhir dengan sempurna karena ia sungguh berubah dalam relasi dengan Kristus Yesus. Dia tidak mencobai Yesus lagi, tetapi setia sampai tuntas. Semuanya karena cinta yang besar kepada Yesus.
P. John Laba, SDB