Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XXVIII
Rm. 4:13,16-18;
Mzm. 105:6-7,8-9,42-43;
Luk. 12:8-12
Kasih dan Kesetiaan Kepada Kristus
Saya pernah mengikuti Misa Syukur sekaligus perpisahan dengan seorang Romo Misionaris. Beliau dikenal di daerah itu sebagai ‘Romo Pioner’ di daerah itu karena selama puluhan tahun dia dikenal sebagai peletak dasar karya misi. Ia berhasil meletakkan dasar untuk tiga paroki dengan puluhan stasi misionaris. Tempat-tempat yang tadinya diangap sulit dijangkau sudah menjadi kantong-kantong Katolik di daerah itu, memiliki tempat ibadah, sekolah dengan asramanya dan klinik-klinik. Hampir semua umat merasa bersyukur karena memiliki seorang Romo misionaris yang benar-benar membumi dengan tanah misi itu. Ada sebuah perkataan yang diucapkannya saat perpisahan itu: “Semua yang saya lakukan selama ini adalah tanda kesetiaan saya kepada Kristus dan selalu digerakan oleh Roh Kudus untuk melayani dan bersatu dengan-Nya.” Dia lalu memulai karya pelayanan di sebuah tempat sejuk di daerah pegunungan dan baginya, mungkin itu juga menjadi tempat terakhir baginya.
Para misionaris sejati itu memiliki satu karakter yang kuat yaitu kesetiaannya kepada Tuhan Yesus Kristus. Banyak di antara kita pasti memiliki ingatan-ingatan akan para misionaris yang hidupnya demikian. Mereka hidup demikian karena cinta dan kesetiaan mereka kepada Tuhan yang sudah memanggilnya dan kesetiaan pada setiap perkataan Tuhan. Tanpa kasih dan kesetiaan kepada Kristus maka tentu mereka tidak akan membaktikan diri sedemikian. Sesungguhnya ada faktor pendorong bagi mereka yakni pengakuan akan pribadi Kristus sendiri. Dalam konteks pewartaan Sabda Tuhan Yesus mengatakan: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Anak Manusia juga akan mengakui dia di depan malaikat-malaikat Allah. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, ia akan disangkal di depan malaikat-malaikat Allah.” (Luk 12:8-9). Para misionaris ternyata pergi ke tanah misi bukan untuk berpikinik. Mereka justru membaktikan diri bahkan siap untuk menderita karena kasih Kristus. Dalam situasi sulit atau menderita, Yesus mengingatkan: “Apabila orang menghadapkan kamu kepada majelis-majelis atau kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, janganlah kamu kuatir bagaimana dan apa yang harus kamu katakan untuk membela dirimu. Sebab pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan.” (Luk 12:11-12).
Hal kedua yang menarik perhatian kita dari bacaan Injil adalah perkataan Yesus tentang dosa melawan Roh Kudus. Yesus berkata: “Setiap orang yang mengatakan sesuatu melawan Anak Manusia, ia akan diampuni; tetapi barangsiapa menghujat Roh Kudus, ia tidak akan diampuni.” (Luk 12:10). Perkataan Yesus ini berbeda konteksnya dengan penginjil Matius dan Markus. Dalan Injil Matius dan Markus, Yesus berbicara tentang dosa menghujat Roh Kudus setelah berkontroversi dengan kaum Farisi dan para ahli Taurat karena mereka mengatakan bahwa Yesus mengusir setan dengan kuasa Beelzebul. Konteks perkataan Yesus dalam Injil Lukas ini lebih ke masa postpaskah yang dikaitkan dengan masa Pentakosta sebagaimana digambarkan juga dalam Kisah Para Rasul. Pada saat Yesus masih hidup dan berkarya di tengah-tengah mereka, tentu mereka bingung akan jati diri Yesus dan juga sifat Mesianis-Nya sehingga banyak di antara mereka menolak-Nya. Namun masa postpaskah terutama setelah pencurahan Roh Kudus pada hari raya Pentekosta, tidak boleh ada lagi penolakan kepada Yesus dan Injil-Nya karena menolak itu sama dengan menghujat sehingga tidak dapat diampuni.
Roh selalu dikaitkan dengan Pribadi Allah sendiri yang disembah dalam Roh dan Kebanaran (Yoh 4:24). Roh Kudus merupakan Roh Yesus sendiri (Yoh 14:26; 16:7.14). Roh Kudus adalah Roh Bapa (Mat 10:20 dan 12:28). Maka Roh adalah Pribadi Allah sendiri, kasih dan hidup-Nya. Dosa melawan Roh Kudus berarti dosa melawan kasih yang tidak lain adalah Allah sendiri. St. Agustinus mengatakan bahwa berdosa melawan Roh Kudus berarti melawan rahmat pengampunan yang merupakan kuasa Roh Kudus sendiri. Roh Kuduslah yang membangkitkan Yesus Kristus (Rm 8:11). Maka Kalau orang melawan atau menghujat Roh Kudus berarti menutup diri bagi keselamatan dan itu tidak ada pengampunan bagi mereka.
Kita memohon iman yang kuat dan teguh seperti Bapa Abraham. Dengan iman kita dibenarkan dan percaya bahwa Roh Kudus juga turut bekerja di dalam diri kita. St. Paulus mengatakan: “Sebab bukan karena hukum Taurat telah diberikan janji kepada Abraham dan keturunannya, bahwa ia akan memiliki dunia, tetapi karena kebenaran, berdasarkan iman.” (Rm 4:13). Kata kuncinya adalah kebenaran berdasarkan iman. Hanya dengan demikian kita dapat menjadi Gereja yang hidup. Semoga dari hari ke hari kita makin bertumbuh dalam iman, harapan dan kasih. Tuhan memberkati kita semua.
P. John Laba, SDB