Hari Senin, Pekan Biasa X
2Kor. 1: 1-7
Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9
Mat. 5:1-12
Yesus Kristus adalah Kita!
Saya pernah diundang untuk merayakan misa syukur ulang tahun sebuah kelompok Kategorial. Mereka memilih sebuah tema perayaan Ekaristi: “Yesus Kristus adalah kita”. Mulanya saya bingung saat menyiapkan homili karena tema ini kelihatan sederhana tetapi sebenarnya sangat sulit untuk dimengerti. Saya memohon supaya Tuhan Allah Roh Kudus bisa memberi anugerah istimewa untuk menjelaskan tema ini dengan baik. Secara sederhana saya mengatakan kepada mereka bahwa kita semua sudah dibaptis sehingga mendapat nama baru yakni orang Kristen. Orang Kristen berarti “Kristus kecil”. Maka orang-orang yang dibaptis mendapat nama sekaligus tugas baru sebagai Kristus kecil yang menghadirkan Injil di tengah dunia ini. Menjadi Kristus kecil berarti menjadi serupa dengan Yesus Kristus satu-satunya Penebus dunia, satu-satunya pengantara kita. Di dalam kelompok kategorial, ada Kristus-Kristus kecil yang hadir untuk melayani Gereja dengan caranya tersendiri. Diharapkan agar semua orang yang menerima pelayanan kelompok ini juga merasakan kehadiran Kristus di dalam hidupnya. Dengan demikian “Yesus Kristus adalah kita” di tengah-tengah mereka.
Ada juga sebuah pengalaman yang lain. Ada seorang Bapa bernama Bambang. Pada suatu hari saya bertanya kepadanya: “Saudaraku Bambang, apa yang engkau cari di dunia ini?” Ia menatapku dan berkata: “Pastor, dahulu aku selalu mencari harta kekayaan. Setiap hari di kepalaku hanya duit saja. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya merasa bahwa duit bukan segalanya. Saya mencari sesuatu yang lebih indah, bukan harta dunia melainkan harta surgawi. Itulah yang menjadi kebahagiaan sejatiku. Maka sekarang yang saya cari di dunia adalah kebahagiaan sejati.” Wah sebuah jawaban bernuansa pertobatan. Kekayaan bukanlah sumber kebahagiaan. Yesus sendiri berkata: “Carilah terlebih dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mat 6:33).
Dua pengalaman ini saya hadirkan, sekurang-kurangnya bisa membuka wawasan kita untuk memahami sabda Tuhan pada hari ini. Penginjil Matius mengisahkan bahwa pada suatu kesempatan Yesus melihat orang banyak. Ia naik ke atas bukit dan duduk di situ. Para murid datang kepada-Nya maka Ia berbicara dan mengajar mereka. Tentu saja yang diharapkan agar para murid mendengar dan melakukan Sabda-Nya.Pada waktu itu Tuhan Yesus berbicara dan mengajar Sabda Bahagia kepada para murid-Nya. Di sini, Yesus tidak memberi kiat-kiat bagaimana mereka bisa menjadi pribadi yang bahagia tetapi Ia justru melihat bahwa di dalam diri mereka sudah ada potensi untuk menjadi bahagia menurut kehendak Allah. Mengapa demikian? Karena manusia diciptakan sesuai dengan rupa Allah sendiri (Kej 1:27-28).
Sesungguhnya ada dua hal penting yang Yesus mau katakan kepada mereka dan kita semua saat ini:
Pertama, Yesus Kristus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Ia menyatakan diri-Nya di hadapan para murid mengenai keilahian-Nya yang terpancar dalam nilai-nilai kehidupan sebagai manusia. Nilai-nilai injili sudah ada di dalam diri-Nya. Ia memberikannya kepada para murid yang datang kepada-Nya sebagai tanda kasih-Nya kepada mereka. Di sini kita belajar bahwa Yesus Kristus, meskipun Anak Allah tetapi Ia mau menjadi miskin, mengalami dukacita, bersifat lemah lembut, Ia lapar dan haus akan kebenaran, Ia murah hati, Ia suci hati, Ia membawa damai, Ia dianiaya. Semuanya ini ada di dalam diri Yesus dan para murid mengalami bersama-Nya. Para murid itu tinggal dan belajar dari Yesus, serta menerima nilai-nilai Injil akan memiliki Kerajaan Allah, merasakan penghiburan, memiliki bumi, mereka dipuaskan, mereka beroleh kemurahan, mereka melihat Allah, mereka menjadi anak-anak Allah, mereka juga memiliki kerajaan Sorga. Inilah makna “Yesus Kristus adalah kita”. Kita adalah Kristus kecil yang menghadirkan nilai-nilai Injili di dunia saat ini.
Kedua, kita semua adalah anak-anak Allah karena jasa Yesus Kristus dan karena kita juga diciptakan sesuai dengan citra Allah. Konsekuensinya adalah nilai-nilai injil sudah di miliki oleh kita masing-masing. Tuhan Yesus menyapa dan menguatkan kita untuk hidup sesuai dengan Sabda-Nya. Ia berkata “Berbahagialah” bagi semua murid yang miskin, berdukacita, lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran, murah hati, suci hati, membawa damai dan dianiaya. Ini adalah realitas yang ada sehingga Ia menyapa “Berbahagialah” karena dengan menerima Yesus Kristus hidup kita akan sesuai dengan kehendak-Nya. Ini juga menjadi program hidup rohani kita selama berziarah di dunia ini.
Di samping Yesus mengatakan “Berbahagialah orang…karena”, Ia juga mengatakan: “Berbahagialah kamu karena Aku”. Yesus mengalamatkan pesan bahagia secara istimewa kepada para Rasul-Nya supaya menjadi serupa dengan-Nya. Ia berkata: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Mat 5:11-12).
Santo Paulus menghayati Sabda Bahagia ini dengan menyatakan syukurnya kepada Tuhan karena ia merasakan “Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.” (2Kor 1:3-4). Paulus mengakui bahwa sebagai Rasul, ia mengalami penderitaan dan kemalangan tetapi penghiburan pun dirasakannya sebagai rasul.
Sikap empati sebagai rasul ditunjukkan Paulus dengan kata-kata penghiburan berikut ini: “Jika kami menderita, hal itu menjadi penghiburan dan keselamatan kamu; jika kami dihibur, maka hal itu adalah untuk penghiburan kamu, sehingga kamu beroleh kekuatan untuk dengan sabar menderita kesengsaraan yang sama seperti yang kami derita juga. Dan pengharapan kami akan kamu adalah teguh, karena kami tahu, bahwa sama seperti kamu turut mengambil bagian dalam kesengsaraan kami, kamu juga turut mengambil bagian dalam penghiburan kami.” (2Kor 6-7). Ini adalah kebahagiaan sejati bagi seorang murid Tuhan. Paulus mengaaminya maka semoga kita juga mengalaminya.
PJSDB