Bersyukur dalam derita
Pada hari ini saya mengingat sebuah momen kehidupan St. Paulus di Efesus. Ketika itu ia harus berpisah dengan jemaat dan para penatua di Efesus. Ia berkata: “Tetapi aku tidak meghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentan Injil kasih karunia Allah.” (Kis 20:24). Perpisahan yang mengharukan di mana mereka menangis dan berpelukan. Ia berhasil membawa jemaat untuk mengenal Tuhan Yesus dan tinggal bersama-Nya. Ungkapan yang sama juga disampaikannnya kepada Timotius: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2Tim 4:7). Ia mengalami banyak penolakan, dijebloskan ke dalam penjara karena cintanya tanpa batas kepada Tuhan Yesus Kristus.
Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Paulus berefleksi bahwa semua pengalaman penderitaan, penolakan, kekerasan dalam penjara merupakan tanda kasihnya kepada Kristus. Ia merasakan semuanya ini seperti duri dalam daging. Ada kejahatan yakni kuasa iblis yang selalu mengganggu kehidupannya di hadirat Tuhan. Ia memohon kepada Tuhan supaya menjauh dari godaan ini. Namun Tuhan berkata kepadanya: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2Kor 12:9).
Paulus menjawab perkataan Tuhan Yesus dengan berkata: “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” (2Kor 12:9-10). Rasa optimisme yang masih dimiliki oleh St. Paulus adalah bahwa semua kelemahannya adalah kekuatan untuk mengasihi Kristus lebih dari yang lain. Pengalaman Paulus, haruslah menjadi pengalaman kita dalam melayani Tuhan dan sesama, melayani Gereja dan negara. Ketika menderita, mudah sekali kita putus asa dan kehilangan harapan. Mari kita melihat kelemahan sebagai kekuatan untuk mengasihi Tuhan.
P. John, SDB