Homili Hari Minggu Biasa XIV/B -2015

Hari Minggu Biasa XIV/B
Yeh. 2:2-5
Mzm. 123:1-2a,2bcd,3-4
2Kor. 12:7-10
Mrk. 6:1-6

Nabi Sebagai Utusan Tuhan

Fr. JohnNabi adalah seorang pribadi, Utusan yang berbicara atas nama Tuhan Allah. Dalam bahasa Yahudi nabi disebut נָבִיא (navi) artinya “juru bicara” sedangkan dalam bahasa Yunani disebut προφήτης (profétés). Tuhan sendiri berkata tentang jati diri seorang nabi: “Seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya.” (Ul 18:18). Kita mendapat sebuah pemahaman penting bahwa Tuhan sendirilah yang akan menaruh firman-Nya di dalam mulut setiap orang percaya dan mengatakan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya untuk diteruskan dan dilaksanakan oleh umat Allah.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu ini membantu kita untuk memahami Pribadi Tuhan Yesus sebagai Utusan Bapa yang datang untuk menyelamatkan kita. Kedatangan-Nya sudah diwartakan oleh para nabi dan kita sadarakan untuk menerima dan mengimani-Nya.

Nabi Yehezkiel bernubuat selama masa Pembuangan di Babel, sekitar abad VI SM. Sebanyak dua kali ia mengisahkan panggilan kenabiannya. Dalam kisah kenabiannya itu Yehezkiel mengatakan dirinya sebagai utusan bagi bangsa yang memberontak. Ia sendiri akan menjadi martir dalam arti sebagai saksi dan sebagai pribadi yang menjadi korban pepulih dosa. Inilah perkataan Tuhan kepadanya: “Hai anak manusia, Aku mengutus engkau kepada orang Israel, kepada bangsa pemberontak yang telah memberontak melawan Aku. Mereka dan nenek moyang mereka telah mendurhaka terhadap Aku sampai hari ini juga. Kepada keturunan inilah, yang keras kepala dan tegar hati, Aku mengutus engkau dan harus kaukatakan kepada mereka: Beginilah firman Tuhan Allah. Dan baik mereka mendengarkan atau tidak, sebab mereka adalah kaum pemberontak, mereka akan mengetahui bahwa seorang nabi ada di tengah-tengah mereka.” (Yeh 2:3-5).

Dari kisah panggilannya ini, kita menemukan bahwa Yehezkiel sejak semula menerima panggilan kenabian dari Tuhan dengan penuh kebebasan hati. Ia pun siap diutus kepada orang-orang Israel, bangsa yang memberontak melawan Tuhan. Bangsa Israel adalah bangsa terpilih tetapi telah menyalahgunakan kebaikan Tuhan dengan mendurhakai, keturunannya keras kepala dan tegar hati. Tuhan sendiri membutuhkan nabi untuk hadir sebagai tanda bahwa Tuhan juga hadir di tengah-tengah mereka. Tentu saja kehadiran Tuhan melalui nabi itu sifatnya membaharui hidup mereka. Pertobatan perlu ditegakkan di tengah bangsa pemberontak, durhaka dan keras kepala ini.

St. Paulus sebagai rasul di dalam dunia Perjanjian Baru juga mendapat panggilan khusus untuk melayani Tuhan. Kisah panggilan Saulus dapat kita baca dalam Kisah Para Rasul (Kis 9:1-19a, 22:1-22, dan 26:12-23). Selain itu, Roh Kudus sendiri berkata: “Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka.” (Kis 13: 2). Perikop yang kita semua baca bersama hari ini mengisahkan bagaimana Saulus berusaha untuk tetap rendah hati sebagai seorang rasul karena dirinya diberi duri dalam daging yaitu utusan iblis untuk mengecohnya. Paulus memohonnya kepada Tuhan supaya iblis itu bisa lenyap dari hidupnya tetapi Tuhan berkata: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2Kor 12:9). Dengan jawaban Tuhan ini maka Paulus membangun prinsip yang baru: “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” (2Kor 9-10).

Menjadi rasul Kristus berarti siap untuk menderita, menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti-Nya dari dekat. Paulus sebagai rasul Yesus Kristus, berkali-kali mengalami penolakan, penganiayaan dan dijebloskan ke dalam penjara. Ia tidak pernah putus asa, tetapi semakin berani untuk mewartakan kasih dan kebaikan Tuhan Yesus Kristus. Dalam segala kelemahannya, kasih Tuhan ternyata menanunginya dan bisa mencapai garis akhir dengan sukacita dan mempertahankan imannya (Kis 20:24; 2Tim 4:7).

Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil mengisahkan tugas kenabian-Nya di Nazareth, tempat Ia dibesarkan orang tua-Nya. Ia pergi ke sana bersama para murid-Nya. Sebagai Rabbi, pada hari Sabat Ia masuk ke dalam rumah ibadat dan mengajar di sana. Jemaat yang hadir jumlahnya besar sangat takjub mendengar-Nya. Mereka pun mempertanyakan sekaligus menolak kehadiran-Nya. Inilah pertanyaan-pertanyaan mereka tentang Yesus yang mengakibatkan penolakan terhadap kehadiran-Nya: “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? (Lih. Mrk 4: 1-34). Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya? (Lih. Mrk 4:35-5:43). Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” (Mrk 6:2-3). Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan ini benar adanya. Mereka yakin bahwa Yesus sendiri bukanlah sumber otoritas dan kuasa. Mereka justru yakin bahwa ada suatu kuasa yang lebih dari segalanya yang menyebabkan Yesus bisa berlaku demikian.

Kita semua tahu bahwa Yesus datang ke dunia bukan untuk membentuk Kerajaan-Nya melainkan untuk membentuk Kerajaan Allah Bapa-Nya. Semua yang dilakukan-Nya merupakan pantulan hidup-Nya sebagai utusan Bapa. Dia melakukan segala pekerjaan Bapa bukan pekerjaan-Nya sendiri. Sayang sekali karena umat-Nya sendiri tidak mengenal-Nya. Hal ini diwakili oleh orang sekampung halaman-Nya yang menolak-Nya di Nazaret. Mereka hanya mengenal-Nya sebagai orang biasa-biasa saja, tidak lebih dari itu. Orang-orang tidak membuka diri kepada Yesus karena mereka tidak yakin bahwa Yesus menghadirkan Kerajaan Allah karena mereka mengenal-Nya sebagai Anak Maria.

Yesus menyadari penolakan orang-orang sekampung halaman-Nya ini maka Ia berkata: “Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.” (Mrk 6:4). Konsekuensi penolakan terhadap diri-Nya adalah Ia tidak mengadakan satu mukjizat pun di sana kecuali memberkati dan menyembuhkan beberapa orang sakit. Semuanya ini karena kedegilan hati, ketidakpercayaan orang-orang sekampung halaman-Nya.

Pengalaman Yesus di kampung halaman-Nya masih terulang dalam pengalaman-Nya di dalam Gereja, di dalam hidup kita sebagai pengikut-pengikut-Nya. Kita bisa berada dalam bahaya ketika mengenal Yesus hanya sebagai pribadi yang biasa-biasa saja. Kita bisa saja merasa mengimani Yesus, tetapi sebenarnya kita tidak mengimani-Nya. Mengimani Yesus berarti segala-Nya bagi Yesus dan berani melepaskan sikap “percaya sia-sia”. Anda dan saya juga dipanggil untuk menjadi Utusan Tuhan di dalam keluarga, komunitas dan Gereja.

P. John, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply