Hari Minggu, Pekan Biasa XXI/B
Yos. 24:1-2a,15-17,18b
Mzm. 34:2-3,16-17,18-19,20-21,22-23
Ef. 5:21-32
Yoh. 6:60-69
Aku memilih untuk bersatu dengan Tuhan
Ada seorang pemuda yang memiliki cacat pada telapak kakinya. Setelah berkonsultasi dengan dokter, ia disarankan untuk memakai sepatu khusus. Ia pun pergi ke tukang sepatu dan memohon supaya dibuatkan sepatu yang bisa membantunya berjalan normal. Sang pembuat sepatu menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sepatu, sedangkan pemuda itu disuruh untuk mencari model-model sepatu yang cocok dengan seleranya. Namun pemuda itu menyerahkan seleranya kepada tukang sepatu untuk memilih baginya. Tukang sepatu lalu memilih satu model sepatu, mengerjakannya selama seminggu dan mengantarnya ke rumah pemuda itu. Tentu saja pemuda itu merasa senang melihat sepatu barunya. Namun sambil mengagumi keindahan sepatu itu, ia bertanya kepada si pembuat sepatu mengapa model sepatu untuk kaki kanan dan kirinya berbeda. Sambil memandang ke wajah pemuda itu, tukang sepatu berkata: “Hai anak muda, anda sudah menyerahkan keinginan dan pilihanmu kepadaku maka ini adalah model terbaik menurutku. Jika anda merasa tidak cocok itu adalah urusanmu bukan urusanku.”
Banyak kali kita juga berlaku seperti pemuda di dalam kisah ini. Mudah sekali kita menyerahkan pilihan-pilihan kita kepada sesama dengan berkata terserah “kamu” saja. Padahal ketika kita tidak bisa membuat keputusan dan menentukan pilihan, sama artinya dengan kita membiarkan orang lain memutuskan dan menentukan pilihan bagi kita. Hidup adalah pilihan, maka setiap saat kita harus berani memilih dan mengambil keputusan yang tepat atas pilihan kita itu. Apabila kita sudah berani menentukan pilihan, sesuai dengan keinginan kita, maka kita pun harus konsekuen, siap untuk menerima resiko apa pun dari keputusan atas pilihan kita.
Di dalam bacaan pertama kita mendengar bagaimana Yosua yang siap menerima ajalnya mengumpulkan semua suku Israel di Sikhem. Para pemimpin yakni tua-tua, para kepala, para hakim dan pengatur pasukan Israel bersama-sama dengan mereka. Yosua memberikan kesempatan kepada mereka untuk memilih dengan berkata: “Jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada Tuhan, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini.” (Yos 24:15). Yosua sendiri mengatakan bahwa ia dan seisi rumahnya memilih untuk tetap beribadah kepada Tuhan.
Reaksi bangsa Israel terhadap perkataan Yosua adalah mereka memilih untuk tetap menjadi bagian dari Tuhan dan beribadah kepadanya. Mereka berkata: “Jauhlah dari pada kami meninggalkan Tuhan untuk beribadah kepada allah lain! Sebab Tuhan, Allah kita, Dialah yang telah menuntun kita dan nenek moyang kita dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang telah melakukan tanda-tanda mujizat yang besar ini di depan mata kita sendiri, dan yang telah melindungi kita sepanjang jalan yang kita tempuh, dan di antara semua bangsa yang kita lalui,Tuhan menghalau semua bangsa dan orang Amori, penduduk negeri ini, dari depan kita. Kami pun akan beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah kita.” (Yos 24:16-18).
Yosua adalah pemimpin yang hebat. Ia memberikan kesempatan kepada bangsa Israel untuk memilih kepada siapa mereka akan menyembah. Bangsa Israel memilih dengan tepat yakni tetap menyembah Tuhan Allah nenek moyang mereka, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Dialah yang telah melakukan karya-karya besar di mata mereka.
Dalam bacaan Injil Tuhan Yesus memberi kesempatan kepada semua orang yang datang kepada-Nya untuk memilih yang benar. Di pihak orang-orang yang datang kepada-Nya, mereka memiliki banyak motivasi yang keliru: makan dan minum gratis, mengangkat Yesus sebagai raja yang dengan sendirinya membantu mereka untuk mengusir orang-orang Romawi yang saat itu sedang menjajah mereka. Di pihak Yesus, Ia mengatakan dirinya sebagai Roti Hidup. Hanya Roti hidup saja yang bisa memberikan kehidupan kekal. Maka untuk memperoleh keselamatan kekal, mereka harus makan daging-Nya dan minum darah-Nya. Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yoh 6:60).
Yesus tahu bahwa para murid-Nya bersungut-sungut karena perkataan-Nya: “makan daging-Nya dan minum darah-Nya”. Ia bertanya kepada mereka: “Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu? Dan bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada? Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup. Tetapi di antaramu ada yang tidak percaya.” (Yoh 6:61-64). Perkataan Yesus ini membangkitkan di dalam diri para murid, pilihan yang tepat untuk mengikuti-Nya atau meninggalkan-Nya. Banyak murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia. Inilah krisis panggilan para murid di Galilea.
Di dalam komunitas-Nya sendiri, Yesus juga memberi pilihan dengan bertanya kepada kedua belas murid-Nya: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh 6:67). Simon Petrus mewakili para murid manjawab-Nya: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” (Yoh 6:68-69). Para rasul memilih untuk tetap bersama dengan Yesus meskipun nantinya Yudas Iskariot akan mengkhianati-Nya.
Bacaan Injil juga memberikan pemahaman kepada kita tentang misteri Salib dan Ekaristi. Salib adalah berbagai pengalaman penderitaan yang kita rasakan setiap hari. Pengalaman-pengalaman itu menguatkan kita untuk membuat orang lain bahagia. Yesus mengurbankan diri-Nya di atas kayu salib untuk menyelamatkan kita. Ini yang selalu kita kenang setiap kali merayakan Ekaristi. Kita mengenang paskah Kristus. Dia wafat di kayu salib, kini altar menjadi salib di mana imam merayakan Ekaristi, mengenang pengurbanan Yesus Kristus. Di atas altar itu kita menyantap tubuh dan darah-Nya.
Apa yang harus kita lakukan? St. Paulus dalam bacaan kedua mengingatkan kita untuk membangun relasi yang baik dengan Tuhan dan bersatu dengan-Nya. Relasi itu menjadi nyata dalam diri para istri dan suami yang membentuk Gereja domestik. St. Paulus menyerukan kepada para istri untuk tunduk kepada suami seperti mereka juga tunduk kepada Tuhan. Para suami di harapkan supaya mengasihi istri seperti Kristus mengasihi jemaat atau Gereja-Nya. Kristus sendiri menguduskan jemaat dengan air dan firman. Relasi kasih antara suami dan istri menjadi tanda gereja yang hidup, tunduk, patuh dan mengasihi Kristus sendiri. Ini adalah pilihan terbaik bagi manusia yang memilih untuk menikah. Maka kesetiaan hidup adalah harga mati!
Pasangan suami dan istri yang saling mentaati dan mengasihi menjadi Gereja yang hidup bagi Kristus. Maka apa pun kesulitannya, mereka tidak akan saling meninggalkan satu sama lain. Hari ini kita semua dikuatkan untuk memilih seperti Yosua dan keluarganya untuk bersatu dengan Tuhan, Petrus dan kawan-kawannya yang memilih untuk mengakui imannya kepada Yesus dan mau bersatu dengan-Nya. Bagaimana dengan kita?
PJSDB