Homili Hari Minggu Biasa XXVIII/B – 2015

Hari Minggu Biasa XXVIII/B
Keb. 7:7-11
Mzm. 90:12-13,14-15,16-17
Ibr. 4:12-13
Mrk. 10:17-30

Apa yang harus kuperbuat?

imageAda seorang pemuda, menceritakan pengalaman masa lalu tentang skala prioritas di dalam hidup pribadinya. Pada suatu ketika ia mengalami sakit demam. Ayah dan ibunya memintanya untuk pergi ke rumah sakit untuk perawatan medis, namun ia tidak mau pergi. Ia mencari alasan dengan mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia pasti akan baik-baik saja. Padahal sebenarnya alasan utamanya adalah ia merasa sulit untuk melepaskan diri dari gadgetnya. Ia sendiri mengkategorikan dirinya sebagai pecandu game on line. Dampak selanjutnya adalah badannya semakin lemah dan harus dirawat di rumah sakit. Sejak saat itu ia perlahan menyadari bahwa gadget telah menguasai hidupnya. Akibatnya, relasi sosial dengan orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi dangkal, bahkan dengan Tuhan pun nyaris tidak masuk dalam pikirannya. Ia mengaku bahwa ia rajin pergi ke Gereja tetapi gadget tetap ada di hatinya. Ia leluasa bermain gadget di dalam gereja selama perayaan Ekaristi.

Satu hal yang menjadi kekuatannya adalah ia yakin bahwa hidupnya masih bisa berubah menjadi lebih baik lagi. Perubahan berawal dari homili seorang romo pada hari Minggu. Romo itu mengutip perkataan Tuhan Yesus di bukit Sabda Bahagia: “Kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkarnya serta mencurinya juga. Karena di mana hartamu berada, disitu juga hatimu berada.” (Mat6:20-21). Perkataan Tuhan Yesus ini mengubah hidupnya. Ia menyadari bahwa selama bertahun-tahun ia lebih men-tuhan-kan harta seperti gadget, hatinya melekat padanya sehingga ia melupakan Tuhan dan sesamanya. Ia berubah menjadi orang muda yang baik dan belajar untuk melayani Tuhan dan sesama.

Selama dua hari Minggu terakhir ini, Tuhan Yesus membantu kita untuk bertumbuh sebagai pengikut-Nya yang setia dalam segala hal. Pada hari Minggu Biasa ke-XXVII/B yang lalu, Tuhan Yesus menyadarkan kita semua tentang keluhuran perkawinan kristiani. Ia meminta kita semua untuk berubah dari sikap hati yang keras menjadi pribadi yang setia, karena apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (Mrk 10:2-12). Pada hari Minggu Biasa ke-XXVIII/B ini, Ia mengatakan sesuatu hal yang juga menuntut keseriusan hati kita yakni tentang bagaimana kita bersikap bijaksana dalam kepemilikan barang-barang atau harta benda. Banyak orang selalu meletakkan hatinya bersama harta bendanya sehingga lupa untuk melayani Tuhan dan sesama (Mrk 10:17-30).

Penginjil Markus mengisahkan bahwa pada suatu hari Tuhan Yesus melanjutkan perjalanannya ke suatuHoffman-ChristAndTheRichYoungRuler tempat. Ketika itu, datanglah seorang kepada Yesus sambil berlari. Ia berlutut di hadapan Yesus dan bertanya kepada-Nya: “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Mrk 10:17). Dari cara ia mendekatkan dirinya pada Yesus: berlari ke arah Yesus, berlutut dan berbicara dengan Yesus, kita melihat bahwa orang ini unik di hadapan Tuhan. Ia memiliki hasrat yang tinggi untuk bersatu dengan Tuhan. Ia berusaha untuk dekat dengan Tuhan.

Reaksi Yesus atas sapaan orang ini adalah: “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja.” (Mrk 10:18). Jawaban Yesus sangatlah bijksana. Ia tidak membawa orang ini kepada diri-Nya, tetapi membawa-Nya kepada Allah sumber segala kebaikan. Kita semua dibantu oleh Yesus untuk menyadari bahwah Dia adalah satu-satunya Pengantara manusia kepada Bapa. Yesus lalu membuka pikirannya untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri: “Apa yang harus kuperbuat” dengan merujuk pada kesepuluh perintah Allah. Perintah-perintah Allah yang dimaksud berhubungan dengan dosa-dosa sosial yakni larangan supaya jangan: membunuh, berzinah, mencuri, mengucapkan saksi dusta, mengurangi hak-hak orang, dan menghormati ayah dan ibu. Orang itu mendengar Yesus dengan penuh perhatian. Ia dengan jujur mengatakan kepada Yesus bahwa semua perintah itu sudah dilakukannya sejak masa mudanya. Sekarang jelas bagi kita semua bahwa orang muda ini unik. Hasratnya untuk bersatu dengan Tuhan memang kuat karena ia menuruti perintah-perintah Tuhan.

Ternyata bagi Tuhan Yesus, untuk memperoleh hidup kekal, belum cukup bagi kita untuk menuruti perintah-perintah Tuhan. Kita memang harus menuruti perintah-perintah Tuhan dan melakukannya secara nyata dengan melayani orang-orang kecil. Maka Tuhan Yesus memandang orang muda itu dengan penuh kasih dan mengatakan kepadanya bahwa masih ada satu hal yang kurang di dalam dirinya. Ia masih memiliki banyak harta yang bisa menghalanginya untuk memperoleh hidup kekal. Maka Yesus menyuruhnya untuk pergi, menjual segala yang dimilikinya, hasil penjualan itu dibaginya kepada orang miskin. Setelah ia tidak memiliki apa-apa, maka ia boleh datang untuk mengikuti-Nya. Jadi mengikuti Yesus secara radikal berarti kita harus memiliki sikap lepas bebas terhadap semua harta kekayaan yang bisa menghalangi kita untuk bersatu dengan Tuhan, dan menumbuhkan semangat berbagi serta melayani sesama dengan tulus ikhlas. Apa yang kita lakukan bagi saudara yang paling kecil kita lakukan bagi Yesus sendiri.

Sikap lepas bebas dan semangat berbagi merupakan titik kelemahan orang muda ini. Ia menyesal dan meninggalkan Yesus karena hatinya tetap melekat pada harta bendanya yang jumlahnya banyak.Yesus lalu mengajar para murid-Nya supaya berani meninggalkan segalanya supaya layak memperoleh kehidupan kekal. Inilah perkataan Yesus: “Sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” (Mrk 10:29-30).

Tuhan adalah segalanya, melebihi harta kekayaan apa pun di dunia ini. Penulis kitab Kebijaksanaan mengingatkan kita bahwa hal yang terpenting di dalam hidup bukanlah harta kekayaan tetapi Roh Kebijaksanaan. Ia selalu berdoa dan memohon kepada Tuhan, lalu Tuhan menyadarkannya bahwa Roh Kebijaksanaan itu melebihi segalanya. Ia mengakui, “Dialah yang lebih kuutamakan dari pada tongkat kerajaan dan takhta, dan dibandingkan dengannya kekayaan kuanggap bukan apa-apa.” (Keb 7:8). Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa Roh Kudus adalah anugerah yang paling istimewa dari Tuhan melebih harta benda di dunia ini (Luk 11:13).

Kita kembali kepada pertanyaan: “Apa yang harus kuperbuat?” Di samping harapan Yesus bagi kita untuk mengikuti perintah-perintah Tuhan, memiliki semangat hidup lepas bebas dari segala harta sehingga bisa berbagi dengan sesama, kita juga diajak untuk taat dan setia pada Sabda-Nya. Sabda Tuhan sendiri sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. Hal ini sejalan dengan pikiran penulis surat kepada jemaat Ibrani: “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab.” (Ibr 4:12-13).

Kita bersyukur kepada Tuhan karena sapaan-Nya selalu istimewa untuk mengubah hidup kita. Hati kita memiliki satu titik kelemahan yaitu keterikatan pada harta duniawi. Karena harta benda, kita bisa bermusuhan dengan saudara dan sesama kita. Karena harta kita bisa menghancurkan hidup sesama. Mari kita belajar menata skala prioritas kita: Tuhan hendaknya menjadi segala-galanya. Sabda-Nya memberikan kekuatan yang selalu baru di dalam hidup kita untuk bisa berbagi dengan sesama.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply