Hari Selasa, Pekan Biasa XXX
Rm. 8:18-25
Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6
Luk. 13:18-21
Bertahanlah dalam penderitaanmu!
Beberapa bulan yang lalu saya mengunjungi seorang pasien di Rumah Sakit, sekaligus mendoakan dan mengurapinya dengan minyak suci. Setelah selesai doa dan pengurapan, suasana di kamar itu terasa tenang, semua orang saling memandang satu sama lain dan sesekali memandang pasien yang terbaring lemah di atas ranjang. Salah seorang anggota keluarga memecahkan kesunyian dengan berkata: “Saudara, bertahanlah dalam penderitaanmu ini. Percayalah bahwa Tuhan Yesus akan melawat dan menyembuhkanmu dan engkau akan sembuh.” Kata-kata ini tidak hanya mencairkan situasi tetapi juga sifatnya sangat menghibur pasien itu. Ia perlahan-lahan boleh menerima penyakit yang dideritanya. Pada kesempatan kunjungan berikutnya, ia berkata kepadaku: “Romo, saya percaya bahwa Tuhan akan menyembuhkanku. Saya percaya bahwa Tuhanku lebih agung dari penyakit yang sedang menguasai diriku ini.” Sejak saat itu, ia perlahan-lahan pulih dan sembuh total. Kami semua mensyukurinya dalam sebuah misa syukur sederhana di rumahnya.
Saya membayangkan banyak saudara dan saudari yang sakit merasa optimis untuk bisa memperoleh kesembuhan, tetapi ada yang pesimis dan hanya berpasrah saja kepada Tuhan. Ada juga yang diliputi rasa takut dan tidak siap untuk menerima kehendak Tuhan lebih lanjut. Kehadiran kita di rumah sakit adalah memberikan peneguhan kepadanya tentang kebaikan dan kasih Tuhan. Prinsip kita, baik hidup atau mati, kita selalu ada bersama Tuhan, Artinya Tuhan sendiri tidak akan meninggalkan kita kapan dan dimana pun kita berada. Dia sendiri yang akan menarik kita kepada Yesus Putera-Nya untuk memperoleh keselamatan. Yesus berkata: “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman” (Yoh. 6:44).
St. Paulus membantu kita semua hari ini untuk menerima apa adanya segala penderitaan dan kemalangan, sakit dan penyakit sebagai bagian dari hidup kita. Paulus berkata: “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rm.8:18). Semua penderitaan yang kita alami saat ini sifatnya sementara, kemungkinan pemulihan selalu terbuka karena penyelenggaraan Tuhan. Tuhan akan memberikan kemuliaan, dalam hal ini kehidupan kekal kepada setiap orang yang percaya kepada-Nya. Ini merupakan kerinduan seluruh makhluk dalam menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Anak Allah adalah mereka yang hidup dalam Roh dan mendapat kasih karunia dari Tuhan. Mereka yang berani meninggalkan hidup kedagingan mereka dan hanya hidup dalam Roh saja. Hidup dalam kedagingana adalah hidup dalam kesia-siaan. Orang harus memiliki harapan untuk bisa mengalami kemerdekaan dan kemuliaan sebagai anak-anak Allah.
Hidup kristiani menjadi bermakna kalau kita memiliki harapan. Harapan adalah keutamaan teologal, dengannya kita merindukan dan menantikan kehidupan abadi yang berasal dari Allah sebagai kebahagiaan kita, mempercayakan diri kita kepada janji Kristus, dan bersandar pada bantuan rahmat Roh Kudus agar pantas menerimanya dan tetap bertahan sampai akhir hidup kita. (KGK, 1817-1821). Orang yang hidup dalam harapan akan bisa mengatasi segala persoalan hidupnya bersama Tuhan. Paulus berkata: “Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.” (Rm 8:25). Kita mengharapkan Tuhan Yesus yang tidak kita lihat maka kita juga menantikannya dengan tekun.
Tuhan Yesus membantu kita untuk memahami kehadiran Kerajaan Allah dengan mata iman kepada-Nya. Menurut Katekismus Gereja Katolik (1814-1816), iman adalah keutamaan teologal yang olehnya kita percaya kepada Allah dan semua yang sudah diwahyukan kepada kita dan disampaikan oleh Gereja karena Allah adalah kebenaran. Melalui iman, manusia dengan bebas menyerahkan dirinya kepada Allah. Orang yang percaya berusaha mencari dan melaksanakan kehendak Allah karena “iman bekerja melalui kasih” (Gal 5:6). Cinta kasih adalah keutamaan teologal, dengannya kita mengasihi Allah di atas segala sesuatu dan mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. (KGK, 1822-1829). Cinta kasih adalah pengikat kesempurnaan (Kol 3:14).
Tuhan Yesus memberi perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi untuk menerangkan makna Kerajaan Allah dan kita menerimanya dengan iman, harapan dan kasih. Ia berkata: “Kerajaan Allah itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di kebunnya; biji itu tumbuh dan menjadi pohon dan burung-burung di udara bersarang pada cabang-cabangnya.” (Luk 13:19). Bagi Yesus, biji sesawi adalah biji yang kecil dan ditaburkan orang di kebunnya sesuai seleranya. Biji yang kecil itu akan dipelihara dengan baik sehingga bisa menjadi tumbuhan yang besar. Burung-burung di udara bisa bersarang di atasnya. Kerajaan Allah itu bermula dari kelompok kecil para murid-Nya. Tuhan membuatnya menjadi sebuah Kerajaan yakni Gereja yang hidup sampai saat ini. Gereja didirikan di atas para rasul, wadas yang kokoh dan disertai-Nya hingga akhir zaman.
St. Maximus dari Turin (+420) memahami perumpamaan tentang biji sesawi seperti ini. Biji sesawi itu adalah Yesus sendiri. kata-kata yang disebutkan dalam Injil adalah: “Ada seorang mengambil biji sesawi dan menaburkan dikebunnya” (Luk 13:19). Ia membandingkan figur Yusuf dari Arimatea, yang datang malam hari untu meminta kepada Pilatus supaya bisa menurunkan jenasah Yesus dan menguburkan-Nya di dalam sebuah kubur baru di sebuah taman (Luk 23:50-53). Di dalam Injil dikatakan bahwa “orang itu mengambil dan menguburkan-Nya di dalam kebunnya”. Di kebunnya, Yusuf pasti sudah menaburkan banyak benih yang indah namun benih istimewa yang lebih indah dari bunga-bungaan belum pernah ditaburkan di sana. Artinya, Yusuf belum menaburkan benih-benih rohani berupa kebajikan Kristus di dalam taman rohaninya yaitu di dalam hati. Ketika ia menguburkan Yesus sang Penebus dalam kebun yang menjadi kenangan ini, ia menerima dan mengimani Yesus semakin masuk ke dalam lubuk hatinya.
Tuhan Yesus juga mengumpamakan Kerajaan Allah dengan ragi yang dipakai seorang perempuan. Ia mengaduk ragi ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya. ragi yang jumlahnya sedikit akan membuat adonan menjadi besar sehingga bisa membuat beberapa potong roti. Hal-hal yang sedikit tidak perlu disepelehkan tetapi dianggap ada dan berguna serta berpengaruh.
Mari kita berusaha untuk hidup dalam kasih karunia Tuhan. Kita semua pasti merasakan penderitaan dan kemalangan namun kasih karunia akan memampukan kita untuk bertumbuh dan menghadirkan Kerajaan Allah. Kita menjadi mitra Yesus di dunia ini, bekerja dan melayani Kerajaan-Nya.
PJSDB