Hari Raya Semua Orang Kudus
Why. 7:2-4,9-14
Mzm. 24:1-2,3-4ab,5-6
1Yoh. 3:1-3
Mat. 5:1-12a
Janganlah takut menjadi kudus!
Pada pagi hari ini seorang sahabat mengirim kepadaku sebuah kutipan dari tulisan St. Paulus, bunyinya: “Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus.” (1Tes 4:7). Saya merasa bahagia karena kutipan ini menginsiprasikan saya sebelum merayakan misa Hari Raya Semua Orang Kudus. Kita semua mengetahui dan percaya bahwa melalui Kitab Suci, kita bisa mengenal Allah sebagai Tuhan yang mahakudus. Di dalam Kitab imamat misalnya, Tuhan Allah berkata kepada Musa: “Berbicaralah kepada seluruh jemaat bani Israel dan engkau harus mengatakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu ini, kudus.” (Im 19:2). Artinya, kita sebagai anak-anak Tuhan Allah yang satu dan sama, juga dipanggil untuk menjadi kudus. Ini juga yang menjadi harapan dari Tuhan Yesus kepada kita: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” (Mat 5:48). Kekudusan adalah sebuah anugerah yang indah bagi semua orang yang dikasihi Tuhan.
St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma memahami konsep kekudusan secara istimewa. Ia berkata: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Rm 12:1-2). Kekudusan lahir dan batin harus menjadi milik kita karena kita sudah ditebus dengan darah Anak Domba Allah.
Apakah untuk mencapai kekudusan itu sulit? Ini merupakan sebuah pertanyaan yang sering ditanyakan oleh banyak orang. Saya coba menunjukkan kisah hidup orang-orang kudus tertentu yang bisa menginspirasikan diri kita untuk mencapai kekudusan. Diantaranya:
Pertama, St. Dominikus Savio. Dia datang ke oratorium Don Bosco untuk tinggal sebagai anak asrama, sekalian mengikuti pelajaran-pelajaran yang diajarkan Don Bosco. Pada suatu saat Don Bosco berdialog dengannya. Sambil memandang Dominikus Savio, Don Bosco berkata kepadanya: “Dominikus, engkau begitu indah seperti sehelai kain.” Dominikus menjawabnya, “Don Bosco, engkau adalah penjahit yang tepat supaya lembaran kain ini menjadi sebuah gaun.” Don Bosco berkata kepadanya, “Engkau akan menjadi gaun yang indah untuk Tuhan.” Dominikus mengangguk dan berkata, “Terima kasih, Don Bosco.”
Don Bosco adalah orang kudus yang selalu menghidupkan suasana kekudusan di dalam oratoriumnya. Pengajaran dan pewartaannya membangunkan suasana kekudusan bagi kaum muda. Dominikus Savio adalah seorang murid-Nya yang menjadi kudus karena pertolongannya. Tentu saja Dominikus tidak hanya berkeinginan untuk menjadi kudus. Ia percaya bahwa Tuhan bisa melakukan banyak hal di dalam dirinya melalui pertolongan orang lain seperti Don Bosco. Sebelumnya, ketika menerima komuni pertama, ia membuat janji-janji yang indah di hadapan Tuhan yakni, pertama, selalu mengikuti perayaan Hari Minggu dan Hari Raya dengan baik. Kedua, sering mengakui dosa-dosa baik dosa ringan maupun dosa berat. Ketiga, Sahabat-sahabat saya adalah Maria dan Yesus. Keempat, lebih baik mati dari pada berbuat dosa. Janji-janji ini merupakan komitmennya untuk menjadi kudus.
Kedua, Beata Theresia dari Kalkuta. Orang kudus ini melakukan semua pekerjaan yang sangat sederhana bersama kaum miskin di Kalkuta. Ia berkata: “Kekudusan itu bukanlah kesempatan bagi kita untuk melakukan hal-hal yang luar biasa di dalam hidup ini. Kekudusan berarti menerima hidup apa adanya, dengan senyum yang diberikan Yesus kepada kita. Kekudusan berarti kesempatan untuk menerima dan mengikuti kehendak Allah” (In My Own Words, 1).
Ketiga, St. Yohanes Paulus II. Dia adalah seorang orang kudus yang tercepat di abad ini. Ketika meninggal dunia, orang sudah mengatakan “Santo subito” atau “segera menjadi orang kudus”. Selama menjadi Paus, ia selalu menghimbau kaum muda dalam pertemuan kaum muda sedunia: “Jangan takut untuk menjadi kudus! Kalian harus berani dan rendah hati untuk menunjukkan dirimu kepada dunia bahwa kalian juga bisa menjadi kudus. Ingat bahwa kemerdekaan sejati itu lahir dari sebuah kekudusan.” (Pertemuan kaum muda di Santiago, Spanyol, 1989).
Saya mengambil tiga contoh orang kudus ini untuk mengatakan kepada kita semua bahwa menjadi kudus itu bukanlah hal yang sulit. Tuhan memberikan kita sarana-sarana untuk mencapai kekudusan, mulai dari dalam keluarga masing-masing dan juga pada tempat di mana kita melayani.
Pada tanggal 18 Oktober 2015 yang lalu, Paus Fransikus mengumukan 4 orang kudus baru di dalam Gereja Katolik Mereka adalah St. Vincenzo Grossi, Maria Isabella Salvat Romero dan orang tua St Theresia dari Kanak-Kanak Yesus yakni St. Ludovico Martin dan St. Maria Azelia Guérin. Paus mengatakan bahwa St. Ludovico Martin dan St. Maria Azelia adalah orang kudus pembangun iman dan kasih di dalam keluarga. Lebih jelas ia berkata: “Pasangan suami-istri St. Ludovico Martin dan St. Maria Azelia Guérin telah menjalani pelayanan kristen di dalam keluarga, dengan membangun hari demi hari suatu lingkungan keluarga yang penuh dengan iman dan kasih. Dan di dalam situasi ini telah lahir dan berkembang panggilan hidup-bakti dari anak-anak mereka, diantaranya St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus.”
Pada akhir homilinya, Paus Fransiskus berkata: “Kesaksian yang bercahaya dari Orang-orang Kudus baru ini mendorong kita untuk tetap berada di jalan pelayanan yang menggembirakan kepada saudara-saudari, dengan mempercayakan kepada pertolongan dari Tuhan dan dalam perlindungan keibuan dari Maria. Dari Surga sekarang mereka memandang kita dan membantu kita dengan perantaraan mereka yang kuat.”
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Raya ini memberi petunjuk kepada kita untuk berjalan dalam jalan kekudusan mulai saat ini, di dunia ini. St. Yohanes dalam Kitab Wahyu sudah memiliki penglihatan yang luar biasa: “Aku melihat suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak terhitung jumlahnya; mereka terdiri dari segala bangsa dan suku, kaum dan bahasa,” Artinya kita semua dipanggil oleh Tuhan untuk mencapai kekudusan. Kita dipanggil untuk ikut mendiami rumah Tuhan. Mendiami rumah Tuhan berarti kita menjadi anak-anak Allah.
Tuhan sendiri menganugerahkan kepada kita karunia yang luar biasa supaya menjadi anak Allah. Dengan status menjadi anak-anak Allah, kita pun bisa melihat Kristus dalam keadaan-Nya yang sebenarnya. Kita bisa menjadi anak-anak Allah karena kita mampu membawa damai kepada semua orang. Kita bisa melihat Allah karena hati kita suci atau tembus pandang. Kerajaan Allah sungguh menjadi milik kita karena kita memiliki semangat hidup miskin dalam roh, siap dianiaya oleh sebab kebenaran
PJSDB