Hari Sabtu, Pekan Prapaskah III
Hos. 6:1-6
Mzm. 51:3-4,18-19,20-21ab
Luk. 18:9-14
Kasih Setiaku hanya bagi-Mu Tuhan!
Saya pernah menghadiri perayaan dua puluh lima tahun hidup membiara dari salah seorang biarawati. Ia memilih tema perayaannya: “Kasih setiaku hanya bagi-Mu, Tuhan”. Usai perayaan Ekristi, beliau membagikan pengalaman membiaranya selama dua puluh lima tahun. Ia mengaku bahwa ia memulai perjalanan rohani dalam tarekatnya dengan ketidaksetiaan. Ia sudah mengikrarkan nasihat-nasihat Injil untuk hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurniaan secara publik, namun ia selalu melanggarnya. Misalnya, ia mengikrarkan nasihat injil ketaatan untuk mengikuti Yesus sebagai pribadi yang taat. Namun ia banyak kali tidak mentaati pemimpinnya. Ia bahkan pernah dilabel sebagai pribadi yang keras kepala karena sulit untuk mentaati pimpinannya. Namun, semakin lama ia berada di dalam biara, ia menyadari bahwa mendapat label sebagai pribadi yang keras kepala harus diganti dengan menjadi pribadi yang mampu mengasihi dan setia dalam pangglannya. Kesadaraan ini perlahan mengubah seluruh hidupnya hingga memasuki usia perak dalam hidup membiaranya. Ia yakin bisa berubah dan setia kepada Tuhan karena Tuhan lebih dahulu setia kepadanya.
Pada hari ini kita berjumpa dengan figur nabi Hosea. Ia menghadirkan figur Allah yang maharahim kepada orang-orang di Samaria pada abad ke-VIII SM. Bagi Hosea, Allah yang maharahim rela memanggil umat-Nya: “Bertobatlah, hai Israel, kepada Allahmu sebab engkau telah tergelincir karena kesalahanmu.” (Hos 14:2). Perikop kita pada hari ini juga merupakan ajakan yang bagus: “Mari, kita akan berbalik kepada Tuhan, sebab Dialah yang telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memukul dan yang akan membalut kita. Ia akan menghidupkan kita sesudah dua hari, pada hari yang ketiga Ia akan membangkitkan kita, dan kita akan hidup di hadapan-Nya.” (Hos 6:1-2). Apa artinya bagi kita? Menurut saya, bermetanoia atau bertobat berarti berbalik kepada Tuhan seratus persen. Sebab Dia adalah Allah yang menciptakan dan memberi kehidupan kepada semua orang. Jadi, hidup kita sepenuhnya berada di tangan-Nya.
Hosea juga mengajak umat Israel untuk mencari, menemukan dan mengenal Tuhan. Umat Israel harus berusaha sungguh-sungguh untuk mengenal Tuhan. Bagi Hosea, Tuhan akan muncul seperti fajar, datang seperti hujan, bahkan hujan terakhir yang mengairi bumi. Namun demikian satu kekurangan yang ada adalah manusia masih memiliki hati yang keras. Daerah Efraim dan Yehuda mewakili begitu banyak orang yang hatinya keras dan tidak mau mendengar Tuhan. Kasih setia mereka itu laksana kabut pagi dan embun yang cepat menghilang. Karena sikap mereka seperti ini maka Tuhan dengan tegas berkata: “Aku telah meremukkan mereka dengan perantaraan nabi-nabi, Aku telah membunuh mereka dengan perkataan mulut-Ku, dan hukum-Ku keluar seperti terang.” (Hos 6:5).
Banyak orang berpikir bahwa kedekatan dengan Tuhan, misalnya keaktifan dalam melayani itu sudah cukup. Ada juga yang merasa bahwa dengan banyak memberi atau menyumbang kepada Gereja, bersikap dermawan itu sudah lebih dari cukup untuk memperoleh keselamatan. Semua ini hanya merupakan sifat lahiria saja dari sebuah persembahan. Apakah sikap dermawan itu merupakan tanda kasih setia manusia kepada Tuhan dan sesama atau hanya sekedar usaha untuk menunjukkan diri, supaya orang mengenalnya sebagai dermawan? Tuhan berkata: “Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.” (Hos 6:6). Kasih setia itu jauh lebih tinggi dari pada semua pemberian atau korban bakaran.
Perkataan Tuhan melalui nabi Hosea ini mengoreksi cara pandang kita yang keliru sebagai status quo dalam hal keselamatan. Tuhan senantiasa menilai kita dari ketulusan dan kesetiaan hidup. Ketulusan dan kesetiaan menggambarkan seberapa besar kemampuan kita untuk mengasihi Tuhan dan sesama kita. Seberapa besar kesiapan kita untuk menerima semua orang apa adanya. Penulis surat kepada jemaat Ibrani mengatakan: “Korban dan persembahan, korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak engkau kehendaki dan Engkau tidak berkenan kepadanya” (Ibr 10:6.8).
Tuhan Yesus dalam Injil memberi sebuah perumpamaan untuk menggambarkan tentang kualitas kasih dan kesetiaan dalam hidup setiap hari. Di kisahkan bahwa di dalam Bait Allah terdapat dua orang yang datang untuk berdoa. Ada seorang Farisi bersyukur kepada Tuhan dan merasa diri sebagai orang benar karena melakukan dengan baik hukum Taurat. Dia menganggap dirinya sebagai orang baik bila dibandingkan dengan para perampok, lalim, pezinah dan pemungut cukai yang hidupnya seakan berada dalam kubangan dosa. Ia berpuasa dan memberikan sepersepuluh dari penghasilannya. Sementara itu ada seorang pemungut cukai yang datang dan berdoa di tempat yang sama. Ia menyesali dosa dan salahnya di hadirat Tuhan. Ia malu dan tidak bisa mengangkat mukanya ke langit, memukul dirinya dan berulang kali berkata: Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa ini.
Di mata Tuhan Yesus, orang yang menunjukkan kasih setianya kepada Tuhan Allah bukanlah orang yang sombong yang meninggikan dirinya dan merendahkan orang lain, melainkan orang yang tahu diri sebagai orang berdosa, menyesalinya dan berani meminta maaf kepada Tuhan: “Kasihanilah aku orang berdosa ini”.
Masa prapaskah memberi kesempatan bagi kita untuk mengubah hidup kita dengan cara berbalik kepada Tuhan. Kita merendahkan diri kita di hadirat-Nya dan memohon pengampunan yang berlimpah. Rendahkanlah dirimu di hadirat Tuhan dan mintalah pengampunan berlimpah.
PJSDB