2Sam 24: 2.9-17; Mzm 32: 1-2.5.6.7; Mrk 6:1-6
Pemimpin yang dapat menyesali kesalahannya…
Kisah Daud berlanjut! Setelah anaknya Absalom mati terbunuh, Daud berpikir bahwa situasinya belum nyaman. Ia perlu mengetahui seberapa besar kekuatan barisan pertahanan kerajaan. Ia membuat sensus penduduk dan dari sensus ini ia dapat menarik pajak dan mengembangkan kemakmuran seperti para raja lain. Hasil sensus ini menunjukkan bahwa orang Israel berjumlah 800.000 pria dan orang Yehuda ada 500.000 yang dapat memegang pedang belum terhitung kategori penduduk yang lain. Usaha membuat sensus ini adalah sebuah kesalahan. Daud menyadari telah berbuat kesalahan di hadirat Tuhan dan patut dihukum. Mengapa? Seharusnya Daud ingat bahwa dia menjadi raja bukan karena hebat dan kuat dirinya tetapi karena panggilan dari Allah. Dia ditegur oleh Tuhan melalui Gad. Daud pun merasa berdosa dan menyelasi dosa-dosanya: “Sungguh aku telah berdosa, dan telah membuat kesalahan. Biarlah kiranya tanganMu menimpa aku dan keluargaku”.
Yesus sebagai pemimpin baru tampil dengan kuasa dan wibawa. Ia tampil di Nazaret tempat Ia dibesarkan dengan mewartakan Injil. Namun yang dialami oleh Yesus adalah penolakan. Orang-orangnya kecewa dan menolak Dia karena mengetahui Yesus secara lahiria: Ia seorang tukang kayu, anak Maria, punya saudara-saudara yang juga orang biasa-biasa saja. Dia sendiri mengakui: “Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di negeri asalnya, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya”
Pengalaman keseharian kita menunjukkan bahwa banyak pemimpin entah dalam satu kelompok kecil atau kelompok besar kebanyakan selalu kebal salah. Artinya pemimpin selalu benar dan tidak pernah membuat satu kesalahan pun. Mereka yang bersalah adalah bawahan yang dinilai kurang bertanggung jawab, kurang ahli dalam bidangnya alias tidak kompeten. Padahal pemimpin yang baik adalah dia yang mengenal dirinya, berani mengakui kesalahannya di hadapan Tuhan dan sesama. Pemimpin seperti ini dapat berkembang dan membawa orang kepada kebaikan.
Sabda Tuhan juga mengajak kita untuk tidak hanya menilai sesama dari bagian luarnya saja: asal usul, pengetahuan, keluarga dan kebiasaan hidupnya. Tuhanlah yang memampukan orang tersebut untuk memimpin. Maka dengan iman kita menerima sesama apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hindarilah kekecewaan dan penolakan dan gantilah dengan dukungan, koreksi persaudaraan dan doa! Itu baru namanya menjadi menjadi sesama.
PJSDB