Hari Minggu Biasa ke XVIII/C
Pkh 1:2;2:21-23
Mzm 90:3-4.5-6.12-13.14.17
Kol 3:1-5.9-11
Luk 12:13-21
Manusia sebagai hamba Tuhan, hamba harta?
Saya pernah mengunjungi seorang sahabat di kantornya. Ia menjabat sebagai kepala bagian keuangan. Sambil ngobrol dan bernostalgia bersama, saya memperhatikan sebuah tulisan yang terbuat dari sulaman tangan pada kain dan dibingkai dengan rapi, bunyinya: “Hidupmu, pilahanmu: hamba Tuhan atau hamba uang”. Saya tertarik dengan tulisan ini dan merefleksikannya ketika kembali ke komunitasku. Pikiranku tertuju kepada perkataan Tuhan dalam Kitab Ibrani, bunyinya begini: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau’” (Ibr 13:5). Ini adalah nasihat yang indah dari Tuhan dan masih laku sampai saat ini.
Banyak orang sadar atau tidak sadar memilih menjadi hamba uang. Di dalam pikiran mereka hanya uang saja sehingga mereka mudah mengorbankan sesamanya demi uang. Sebab itu mereka dapat melakukan tindakan kejahatan seperti korupsi karena pikiran mereka hanya pada uang saja. Ada banyak orang yang tidak puas dengan apa yang mereka miliki. Padahal Tuhan sudah memberikan talenta yang dapat dipakai untuk mensejahterakan hidupnya, namun mereka tidak memanfaatkannya. Tuhan sendiri berjanji untuk tetapi menyertai dan tidak akan membiarkan manusia menderita. Saya mengingat sebuah episode dalam kehidupan Yohanes Pembaptis. Ketika ia tampil di depan umum untuk menyerukan pertobatan maka datanglah para prajurit untuk bertanya kepadanya: “Apa yang harus kami perbuat?” Yohanes Pembaptis menjawab mereka: “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkalah dirimu dengan gajimu” (Luk 3:14).
Tuhan Yesus menasihati kita supaya tidak menjadi manusia yang kuatir dalam hidup ini. Ia berkata: “Janganlah kamu kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada pakaian? Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” (Mat 6:25-26). Maka bagi Yesus, “Carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu” (Luk 12:31).
Kekuatiran duniawi sebagai akibat dari harta duniawi dapat menghambat saluran kerahiman Allah. Banyak orang sudah dan sedang tertarik dengan harta kekayaan di dunia dan lupa mendekatkan dirinya kepada Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu. Harta kekayaan menjadi tujuan hidupnya, bukan sebagai sarana untuk berjumpa dengan Tuhan sang Pencipta. Benar kata Tuhan Yesus: “Di mana hartamu berada, hatimu juga berada di sana” (Mat 6:21). Sebab itu banyak orang tidak malu-malu menutup dirinya terhadap kasih dan kerahiman Allah gara-gara terlampau memfokuskan dirinya kepada harta.
Apa kata Sabda Tuhan pada hari Minggu Biasa ke-XVIII/C ini? Kitab Pengkotbah memberikan kritikan kepada orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk mendekatkan dirinya pada harta kekayaan bukan kepada Tuhan sang Pencipta. Kiblat hidup orang itu hanya kepada harta kekayaan karena hatinya ada di sana, padahal seharusnya hatinya ada bersama Tuhan. Maka pertanyaan yang bagus dari Kitab Pengkotbah adalah: “Apa faedah yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukanya dengan jeri payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya?” (Pkh 2:22). Sebab bagi Kitab Pengkotbah, “Segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh 1:2). Mengapa semuanya sia-sia? Karena segala sesuatu yang ada di atas dunia ini hanya bersifat sementara. Semuanya ini sia-sia karena akan berlalu dalam kehidupan kita, dapat rusak dan hancur. Namun demikian banyak orang yang seluruh hidupnya sedih, bersusah hati dan pada malam hari, hatinya tidak tentram gara-gara harta kekayaan.
Kitab Pengkotbah membantu untuk mengoreksi diri terhadap sikap hedonistik yang sedang melingkupi hidup banyak orang di antara kita. Contohnya, banyak orang sudah tidak memiliki perasaan malu untuk menggunakan gadget selama perayaan Ekaristi berlangsung. Selama peryaan Ekaristi berlangsung, ia lebih berfokus pada gadget bukan kepada God (Allah). Inilah sikap hedonis yang merupakan kesia-siaan masa kini. Sadar atau tidak sadar, banyak orang sudah terjebak di dalam kungkungan sikap hedonistik ini. Dengan demikian saluran kerahiman Allah pun tersumbat! Orang lebih memilih harta dari pada Tuhan pencipta.
Di dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus menolak untuk menjadi hakim dalam perselisihan tentang warisan dua orang bersaudara. Untuk membuka wawasan mereka semua maka Ia menceritakan sebuah perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh karena di mana hartanya berada, hatinya melekat di sana. Orang kaya ini bodoh karena sikap tamak melekat padanya. Ia sudah memiliki banyak harta lalu tidak menaruh harapannya kepada Tuhan. Ia malah memiliki agenda tersendiri: merombak lumbung-lumbung, mendirikan lumbung yang lebih besar, sehingga dapat menyimpan gandum dan barang-barang yang lain di dalamnya. Selanjutnya ia berkata dalam hatinya: “Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya, beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah” (Luk 12:19). Terhadap sikapnya yang bodoh dan tamak ini maka Tuhan Allah berkata: “Hai orang odoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu!” (Luk 12:20). Orang ini dinilai tidak menjadi kaya di hadapan Tuhan karena melekat pada kekayaan duniawi.
Marilah kita memperhatikan hidup kita masing-masing. Orang kaya yang bodoh ini tidak memiliki nama, artinya dia adalah anda dan saya saat ini. Kita semua sadar atau tidak sadar memiliki sebuah hati yang mudah melekat pada harta yang kita miliki. Nafsu untuk mengumpulkan harta secara berlebihan (avarice) dan lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya yakni hidup kekal. Orientasi pada uang dan kekayaan menutup pintu kerahiman Allah. Kita semua diingatkan oleh Tuhan pada hari Minggu ini untuk memiliki kiblat yang benar kepada Tuhan. Kita tidak harus mengejar kekayaan di dunia melainkan mengejar kekayaan di hadapan Allah. Kasih dan kerahiman Tuhan yang harus kita cari saat ini.
Apa yang harus kita lakukan untuk lepas dari cengkaraman sikap hedonistik ini? St. Paulus dalam bacaan kedua memberikan jalan yang baik kepada kita. Ia mengatakan kepada kita untuk mencari perkara yang di atas, di mana Kristus berada, duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Kita semua telah mati dan hidup kita tersembunyi bersama dengan Kristus dalam Allah. Maka bukan harta duniawi menjadi hidup kita tetapi Kristuslah hidup kita. Paulus mengharapkan agar kita mematikan segala yang duniawi di dalam hidup kita yakni percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat, keserakahan dan menyembah berhala. Kita menjauhkan diri dari hidup sebagai orang berdusta. Dengan demikian kita sungguh-sungguh menjadi orang merdeka, yang memiliki hidup baru di dalam Kristus. Kita menjadi manusia baru sesuai dengan wajah Allah sang pencipta.
Tuhan membimbing kita untuk mengerti maksud dan rencana-Nya yakni menikmati kasih dan kerahiman-Nya. Untuk itu kita perlu berubah kiblat hidup dari harta kekayaan dunia kepada Allah Pencipta. Kita harus kembali kepada Allah sebagai asal hidup kita dan menjadi baru sesuai dengan wajah-Nya sendiri. Hanya satu kekayaan yang kita cari yakni kasih dan kerahiman Allah yang membawa kita kepada kehidupan kekal. Maka pada hari Minggu ini kita memiliki prinsip baru yakni mengupayakan kekayaan surgawi tanpa harus melupakan yang duniawi. Harta duniawi menjadi sarana untuk berjumpa dengan Tuhan yang maharahim dan pencipta segala sesuatu.
Tuhan yang maharahim, kasihanilah kami orang berdosa ini. Amen.
PJSDB