Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XXIV
1Kor 15:35-37.42-49
Mzm 56:10.11-12.13-14
Luk 8:4-15
Memahami Logika Kebangkitan Badan
Friederich Schiller adalah seorang penggubah puisi dan dramawan kenamaan dari Jerman. Ia pernah berkata begini: “Barangsiapa telah mendengar warta Paskah tidak akan lagi berjalan dengan wajah yang menampakkan ekspresi tragedi, tidak pula menjalani hidup sebagai manusia tanpa humor yang tiada harapan.” Perkataan Schiller ini mengajak kita untuk bersikap optimis dalam hidup sebagai pengikut Kristus. Mengapa kita perlu dan harus bersikap optimis? Sebab Tuhan Yesus Kristus telah memenangkan maut. Ia telah menderita, wafat di salib, turun ke tempat penantian namun pada hari ketiga Ia bangkit dengan mulia. Kebangkitan Yesus Kristus adalah dasar bagi kebangkitan kita semua. Kita mengalami kebangkitan badan supaya hidup hanya bagi Allah saja.
Santo Paulus dalam bacaan pertama melanjutkan diskursusnya tentang kebangkitan badan di hadapan jemaat di Korintus. Ketika itu ada orang yang masih meragukan pengajaran tentang kebangkitan Yesus Kristus dari alam maut. Mereka bertanya: “Bagaimanakah orang mati dapat dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang kembali?” (1Kor 15:35). Kedua pertanyaan ini memang sederhana, namun tetap menjadi pertanyaan penting sepanjang zaman. Banyak orang belum memahami logika kebangkitan badan. Sebab itu St. Paulus berusaha untuk menjelaskan logika kebangkitan badan dengan contoh-contoh sederhana dan mendalam supaya jemaat bisa memahaminya.
Paulus mengatakan kepada banyak orang yang meragukan kebangkitan badan sebagai orang bodoh. Sebabnya adalah mereka hanya bisa meragukan kebangkitan badan tetapi tidak mencari jalan untuk memahaminya. Sebab itu Paulus menggunakan contoh-contoh sederhana untuk membantu mereka mengerti tentang logika kebangkitan badan. Ia mengatakan bahwa semua benih yang ditaburkan tidak akan tumbuh dan hidup jika tidak mati lebih dahulu. Biji yang ditaburkan itu tidak berkulit akan mati dan tumbuh kembali menjadi tanaman baru (1Kor 15:37). Perkataan Paulus ini mengingatkan kita pada perkataan Yesus di dalam Injil Yohanes: “Sesungguhnya, jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24). Ada kematian supaya bisa ada kehidupan.
Dengan menggunakan contoh konkret dari dunia pertanian ini maka Paulus lalu mengalihkan pikiran mereka untuk mengerti logika kebangkitan badan. Ia mengatakan bahwa orang mati itu ditaburkan dalam kebinasaan dan dibangkitkan dalam ketidakbinasaan; ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan; ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Maka menurut Paulus, yang ditaburkan adalah tubuh alamiah dan yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah (1Kor 15: 42-44).
Penjelasan Paulus semakin dalam dan berfokus pada Paskah Yesus Kristus. Ia mengatakan bahwa kita memiliki tubuh alamiah dan tubuh rohaniah. Contohnya, manusia pertama, Adam adalah makhluk hidup yang diciptakan Tuhan dari debu tanah. Adam baru yaitu Yesus Kristus menjadi Roh yang menghidupkan manusia. Manusia pertama berasal dari debu tanah dan sifatnya jasamani, manusia kedua yaitu Yesus berasal dari surga. Sebagai pengikut Yesus Kristus, kita mengenakan rupa dari manusia duniawi, kita juga akan mengenakan rupa dari yang surgawi.
Penjelasan Paulus melalui contoh-contoh ini diharapkan dapat membuka mata iman jemaat di Korintus saat itu dan kita yang mendengar Sabda saat ini. Hal yang menjadi harapan bagi kita semua adalah optimisme akan Paskah Kristus. Kita senantiasa mengungkapkan doa untuk menyatakan iman kita: “Wafat Kristus kita maklumkan, kebangkitan-Nya kita muliakan, kedatangan-Nya kita rindukan.” Dengan iman, kita akan merasakan segala sesuatu yang dialami Kristus sendiri.
Selanjutnya, apa yang harus kita lakukan untuk memahami logika kebangkitan badan ini?
Tuhan Yesus di dalam Injil mengingatkan kita untuk membuka diri supaya layak menerima Sabda Tuhan dengan hati yang suci dan murni. Memang banyak orang mendengar dan menerima benih Sabda, namun hati mereka sama seperti benih yang jatuh di pinggir jalan, di atas tanah berbatu dan di antara semak berduri dan ada yang di atas tanah yang subur. Benih yang jatuh di pinggir jalan itu ibarat orang-orang yang membiarkan iblis untuk bekerja dalam hatinya. Iblis mengambil Sabda supaya mereka jangan percaya dan diselamatkan. Benih yang jatuh di tanah berbatu itu ibarat orang-orang yang mendengar dan menerima Sabda dengan senang hati namun benih sabda itu tidak berakar. Mereka ini mudah murtad ketika mengalami pencobaan. Benih yang jatuh di antara semak berduri itu ibarat orang-orang yang menerima Sabda namun mereka terhimpit oleh kekhawatiran duniawi, kekayaan dan kenikmatan hidup sehingga tidak menghasilkan buah yang matang. Hanya orang-orang tertentu yang mendengar Sabda, menyimpannya dalam hati yang baik dan menghasilkan buah dalam ketekunan. Itulah benih yang jatuh di tanah yang baik.
Hidup kita akan semakin berkenan kepada Tuhan kalau kita mampu mendengar Sabda-Nya dan tidak bertegar hati dan tegar tengkuk. Kita mendengar Sabda, menyimpannya dalam hati, melakukannya sehingga menghasilkan buah dalam ketekunan. Sabda Tuhan menjadi kekuatan untuk membangkitkan tubuh kita yang fana menjadi tubuh yang serupa dengan Tubuh Yesus Kristus yang mulia.
Pertanyaan bagi kita adalah, apakah kita masih sempat mendengar suara Tuhan? Mari kita merenungkan perkataan Tuhan Yesus ini: “Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah mendengar”. (Luk 8:8).
PJSDB