Homili Hari Minggu Biasa ke-XXV/C – 2016

Hari Minggu Biasa ke- XXV/C
Am 8:4-7
Mzm 113:1-2.4-6.7-8
1Tim 2:1-8
Luk 16:1-13

Belajar mengabdi kepada kaum miskin

PejeSDBHari ini kita memasuki hari Minggu Biasa ke-XXV/C. Tuhan menyapa kita semua melalui Sabda-Nya untuk belajar mengabdi kepada kemanusiaan, lebih khusus lagi kita dipanggil untuk mengabdi kepada kaum miskin dan mereka semua yang belum beruntung. Mengapa kita perlu mengabdi kepada kaum papa dan miskin? Karena mereka adalah sahabat-sahabat Tuhan (anawim). Mereka menjadi pusat perhatian dari Yesus Kristus sendiri selama berada di dunia ini. Ia datang ke dunia untuk mewartakan Injil kepada mereka (Luk 4:18). Mereka disapa sebagai orang yang berbahagia karena mereka akan memiliki kerajaan Sorga (Mat 5:3). Tuhan Yesus juga berkata: “Sebab orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama dengan kamu” (Mat 26:11). Kita memandang Yesus sebagai sahabat para kaum miskin dan belajar daripada-Nya untuk mengabdi kepada kaum miskin.

Saya mendapat inspirasi dari pemikiran Romo Mangun, sahabat kaum miskin yang banyak dikenal dan dikenang dalam gereja Katolik Indonesia. Ia adalah imam yang mengabdikan dirinya total bagi kaum miskin. Ia bercita-cita dan memiliki harapan untuk memanusiakan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam Novel Burung-Burung Rantau, beliau menulis: “Tanah air, tempat penindasan diperangi, tempat perang diubah menjadi kedamaian, kira-kira begitu. Tempat kawan manusia diangkat menjadi manusiawi, oleh siapapun yang ikhlas berkorban. Dan patriotisme masa kini adalah solidaritas dengan yang lemah, yang hina, yang miskin, yang tertindas”. Kata-kata ini sederhana tetapi sangat bermakna bagi kita semua. Kita butuh patriotisme gaya baru, penuh rasa solidaritas dan empati kepada mereka yang lemah, yang hina dan yang miskin tertindas. Tuhan Allah sendiri peduli dan memihak mereka.

Nabi Amos mengamati situasi sosial dan kemasyarakatan di daerah Samaria, penuh dengan ketidakadilan sosial. Kaum miskin dianggap tidak memiliki martabat sebagai manusia oleh para penguasa pada masa itu. Amos berani berteriak: “Dengarkan ini hai kamu yang menginjak-injak orang miskin, dan yang membinasakan orang sengsara di negeri ini dan berpikir: “Bilakah bulan baru berlalu, supaya kita boleh menjual gandum dan bilakah hari Sabat berlalu, supaya kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa, membesarkan syikal, berbuat curang dengan neraca palsu, supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut; dan menjual terigu rosokan?” (Am 8:4-6).

Kutipan di atas menunjukkan bagaimana perilaku jahat dirancangkan oleh orang-orang yang berkuasa terhadap kaum papa miskin. Mereka berlaku tidak jujur terhadap sesama dengan menginjak-injak orang miskin, membinasakan orang sengsara, berlaku curang dengan menipu. Tindakan-tindakan demikian tidalah elok karena menjadikan sesama bukanlah sebagai manusia. Orang lupa bahwa perbuatan-perbuatan mereka itu tetap akan diingat oleh Tuhan selama-lamanya.

Tuhan menghendaki agar kita benar-benar bersikap jujur dan adil sebagai abdi Tuhan. Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil berkata kepada para murid-Nya: “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” (Luk 16: 10). Para murid diharapkan untuk hidup sebagai abdi atau hamba sesuai dengan kehendak Tuhan. Abdi yang setia dalam perkara-perkara mulai dari perkara yang kecil hingga perkara yang besar. Abdi yang tidak benar dalam perkara kecil, tidak benar juga dalam perkara yang besar. Maka hidup memang harus sinkron antara apa yang kita katakan dan apa yang kita lakukan di hadapan Tuhan.

Abdi yang setia itu hanya akan memilih satu tuannya bukan dua tuan. Bagi Yesus, orang yang mengabdi dua tuan akan membenci satu tuannya dan mengasihi tuannya yang lain. Ia juga akan setia kepada satu orang dan yang lain ia tidak mengindahkannya. Sama halnya juga dengan harta kekayaan. Orang tidak boleh terlalu melekat pada harta kekayaan, uang, (mamon) dan melupakan Tuhan Allah sebagai sumber segala sesuatu. Manusia sebagai abdi, harus berani memilih apakah mengabdi Tuhan atau mengabdi mamon.

Banyak orang menjadi licik, licin seperti belut. Mereka mencari berbagai cara untuk berlaku curang terhadap sesama manusia. Mereka melakukan korupsi tanpa malu-malu, menerima uang suap tanpa malu-malu. Lebih parah lagi orang melakukan korupsi uang rakyat miskin. Artinya perkataan Amos ada benarnya bahwa orang miskin saja dijual seharga sandal jepit. Orang melakukan korupsi karena mereka tidak setia dalam hidupnya, mulai dari hal-hal kecil dan dianggap sepeleh. Lama kelamaan korupsi membudaya dan berjamaah. Di Republik ini betapa banyak anggota parlamen yang tertangkap tangan oleh KPK karena menerima suap. Mafia pengadilan semakin menjadi-jadi. Hati nurani mereka seakan tumpul, tak berdaya di hadapan manusia yang lain.

Apa yang harus kita lakukan?

St. Paulus dalam bacaan kedua menasihati kita untuk berdoa tanpa jenuh hati. Paulus meminta supaya Timotius dan rekan-rekannya memanjatkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur kepada Allah bagi semua orang, bagi pemerintah dan penguasa supaya kita hidup aman, tentram dalam kesalehan dan kehormatan. Sikap seperti ini patut dipertahankan karena berkenan kepada Allah. Memang pemerintah kita banyak yang suka korupsi dan terima suap. Hati nurani mereka sudah tumpul. Kita perlu mendoakan mereka supaya bertobat dan kembali ke jalan Tuhan, jalan yang benar.

St. Paulus juga menyadarkan kita bahwa doa yang benar kepada Allah yang esa hanya melalui satu-satunya pengantara kita yaitu Yesus Kristus. Yesus adalah Mediator dengan Bapa surgawi. Para kudus adalah perantara doa kita yang nunut pada Yesus satu-satunya Pengantara kita kepada Bapa. Yesus menjadi Pengantara satu-satunya karena kerelaan-Nya untuk mengabdi bagi manusia. Ia menyerahkan diri-Nya secara total bagi keselamatan manusia. Yesus adalah hamba Tuhan. Dia adalah Anak Allah yang rela menjadi hamba bagi manusia. Nah, Tuhan saja memilih menjadi hamba, mengapa kita selalu sulit untuk menghambakan diri?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply