Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXVI
Ayb 1:6-22
Mzm 17: 1.2-3.6-7
Luk 9: 46-50
Rendah hati itu perlu dan harus
Saya pernah mengikuti sebuah ibadat Oikumene. Ketika itu Pak Pendeta membawakan sebuah kotbah tentang kebajikan kerendahan hati. Ia mengilustrasikan kebajikan kerendahan hati dengan sebuah kisah tentang dua ekor kambing yang hendak melewati sebuah jurang yang sempit dan dalam dari arah berlawanan satu sama lain, di atas sebuah pohon yang tumbang.
Konon di sebuah pegunungan terdapat sebuah jurang yang sempit dan dalam. Di bawah jurang itu terdapat aliran sungai yang sangat deras. Tidak ada seorang manusia pun yang berani melewati jurang sempit itu. Pada suatu ketika ada sebatang pohon besar yang tumbang dan melintang dari atas bukit yang ada jurangnya ke bukit yang lain. Ini menjadi kesempatan bagi kambing-kambing yang berada di sebelah bukit untuk berpindah ke bukit yang satunya. Ketika itu ada dua ekor kambing yang tidak mau mengalah dari arah berlawanan untuk melewati pohon yang melintang itu. Mereka bertemu di tengah jurang dan situasinya tentu sangat menakutkan. Kalau mereka saling menyerunduk dengan tanduk kepalanya pasti ada satu yang tewas atau kedua-duanya tewas karena jatuh ke dalam jurang dan tenggelam di sungai yang deras. Namun hal yang menarik adalah salah seekor kambing rela merayap di atas batang kayu itu dan membiarkan kambing yang lain melewati tubuhnya dari atas. Mereka berdua masing-masing tiba dengan selamat di bukit yang dituju.
Ilustrasi ini memang sederhana untuk mengatakan bahwa kambing saja memiliki kesombongan dan berani mempertaruhkan harga dirinya. Tetapi di saat yang sulit itu mereka berani memilih untuk tetap bertahan dalam kesombongan sehingga membuahkan kematian atau berani mengalah, merendahkan diri supaya bisa hidup. Ternyata salah seekor kambing bisa merendahkan diri sehingga keduannya bisa hidup. Sekarang marilah kita pikirkan hidup kita masing-masing. Dalam sehari berapa sikap hidup, tutur kata yang menunjukkan bahwa kita adalah orang yang sombong karena mengesampingkan kebajikan kerendahan hati. Betapa sulitnya kita untuk melepaskan diri dari rasa gengsi yang besar, harga diri yang tinggi, popularitas, status sosial serta seribu satu ambisi lainnya. Ternyata kambing itu tidak jauh berbeda dengan manusia!
Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil tentang ambisi dan kesombongan di kalangan para murid Yesus yang sangat berlawanan dengan kebajikan kerendahan hati yang sedang ditunjukkan Yesus sendiri. Ketika itu timbul pertengkaran di antara mereka tentang siapakah yang terbesar di antara mereka. Lihatlah bahwa para murid Yesus ini, setiap hari tinggal bersama Yesus namun masih memiliki ambisi untuk berkuasa. Mereka masing-masing mempunyai gengsi besar dan ambisi terpendam untuk berkuasa. Tuhan Yesus mengetahui pikiran dan hati mereka sehingga Ia mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di samping-Nya. Ia meminta perhatian mereka dan berkata: “Barangsiapa menerima anak ini demi nama-Ku, dia menerima Aku. Dan barangsiapa menerima Aku, menerima Dia yang mengutus Aku. Sebab yang terkecil di antara kalian, dialah yang terbesar.” (Luk 9: 48).
Tuhan Yesus tidak memarahi para murid-Nya. Ini adalah kehebatan Tuhan kita. Ia malah mengambil contoh sederhana dengan kehadiran anak kecil di samping-Nya, supaya sambil mereka memandang anak kecil itu, mereka juga memandang Yesus yang lemah lembut dan rendah hati supaya menyerupai-Nya. Anak kecil adalah simbol orang yang polos, jujur, mengandalkan pertolongan dari orang dewasa. Demikianlah juga hidup kita di hadirat Tuhan. Kita perlu belajar untuk rendah hati dan mengandalkan Tuhan di dalam hidup kita seperti yang dilakukan anak kecil dengan orang tuanya. Kita juga memandang Yesus yang lemah lembut dan rendah hati untuk menyerupai-Nya.
St. Paulus berkata: “Yesus Kristus, walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp 2:6-8). Tuhan Yesus mengosongkan diri dan merendahkan diri-Nya. Ia tidak hanya berbicara tetapi menunjukkan diri-Nya sebagai pribadi yang lemah lembut dan rendah hati. Mari kita belajar dari Yesus sendiri, Anak Allah yang berkenosis, mengosongkan diri dan merendahkan diri-Nya.
Kerendahan hati juga nampak dalam cara kita menghargai sesama yang lain dan menerima mereka apa adanya. Yohanes dalam Injil mencegah seorang yang bukan murid Yesus mengusir setan dalam nama Yesus sendiri. Yesus mengingatkan Yohanes untuk tidak perlu mencegahnya karena orang itu tidak melawan melainkan memihak. Iman kita senantiasa diuji apakah benar-benar iman kristiani atau bukan kristiani. Iman kristiani berarti orang memilih untuk serupa dengan Yesus yang lemah lembut dan rendah hati dan menerima semua orang apa adanya.
Pada hari ini kita juga mendapat inspirasi dari kerendahan hati Ayub. Ia mengalami berbagai kemalangan dan penderitaan. Imannya kepada Tuhan benar-benar diuji. Namun dalam penderitaan dan kemalangannya yang datang silih berganti itu, ia tetap percaya kepada kuasa dan kehendak Tuhan. Ia masih memuji dan memuliakan Tuhan. Ini adalah tanda kerendahan hatinya di hadirat Tuhan. Apa yang Ayub lakukan saat itu? Ia mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujudlah ia dan menyembah sambil berkata: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut.” (Ayb 1:20-22).
Mari kita memandang Yesus dan belajar rendah hati daripada-Nya. Kita berdoa: “Hati Yesus yang lemah lembut dan rendah hati, jadikanlah hatiku seperti hati-Mu. Amen.” Mari kita memandang Ayub dan belajar menderita tetapi bertahan dalam iman kepada Tuhan. Kerendahan hati memang perlu dan harus dalam hidup kita.
PJSDB