Kasih adalah segalanya
Seorang sahabat menempel foto anaknya di dinding akun facebooknya dan menulis komentar kecil: “Engkaulah buah kasihku yang paling indah dan berharga, mmmuahhh”. Reaksi dari para sahabatnya adalah memberi jempol dan memberi lambang hati. Dua kata yang mengekspresikan diri sesama adalah menyenangi dan mengasihi. Ada yang memuji orang tuanya dengan mengatakan bahwa dari pohon yang baik kita mengenal buahnya. Kalau orang tuanya adalah orang baik maka mereka akan mendidik dan membentuk anaknya untuk menjadi orang terbaik. Orang tua yang baik akan bertanggung jawab terhadap hidup dan masa depan anak-anaknya.
Relasi antar pribadi yang penuh kasih ini kita temukan dalam diri Allah Tritunggal Mahakudus. Yesus bahkan mengajarkan logika kasih Tritunggal Mahakudus ketika mengatakan: “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikian juga Aku telah mengasihi kamu, tinggallah di dalam kasih-Ku itu”. Untuk dapat mengasihi dengan baik maka Yesus sudah lebih dahulu mengasihi kita dengan merelakan diri-Nya dalam peristiwa Paskah. Paskah adalah peristiwa Allah menunjukkan kasih-Nya tanpa batas bagi Yesus Putera-Nya dalam Roh Kudus. Sebuah kasih yang penuh dengan pengorbanan diri. Kasih menjadi segalanya ketika Yesus sadar untuk memberi diri-Nya dalam peristiwa Paskah yang kita kenal dalam Ekaristi kudus.
Mari kita memandang Yesus. Dia menunjukkan makna kasih yang sangat mendalam. Kasih adalah pemberian diri. Kasih adalah pengorbanan diri. St. Paulus bahkan membuat himne tentang kasih: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.” (1Kor 13:4-8).
Saya menutup permenungan ini dengan mengutip Helen Keller. Ia pernah berkata: “Dalam setiap keindahan, selalu ada mata yang memandang. Dalam setiap kebenaran, selalu ada telinga yang mendengar. Dalam setiap kasih, selalu ada hati yang menerima.” Apakah anda masih memiliki hati untuk menerima? Selidikilah batinmu sekarang juga.
PJSDB