Uomo di Dio: Selalu Melewati Terowongan

Selalu Melewati Terowongan

P. John SDBSaya mengenal dan melewati terowongan yang cukup panjang untuk pertama kalinya ketika masih berada di Israel tahun 1997. Ketika keluar dari Yerusalem menuju ke daerah yang disebut Beit Gialla pasti melewati terowongan sepanjang satu setengah kilo meter. Pengalaman kedua, ketika melakukan perjalanan di Italia dengan Kereta Api, sering melewati terowongan yang panjang. Secara pribadi saya merasa takut sebab terowongan itu menerobos bukit dan gunung yang tinggi. Bisa saja terowongan itu runtuh, kalau kurang oksigen bisa berbahaya bagi manusia, gelap dan menakutkan bagi mereka yang mengalami phobia gelap. Tetapi hal yang menguatkan dan membahagiakan adalah suatu kepastian bahwa diujung terowongan selalu ada terang. Wajah orang yang berkerut akan berubah menjadi wajah penuh senyum.

Saya membayangkan terowongan ini dengan pengalaman hidup setiap hari dan berani mengatakan bahwa setiap orang pasti mengalami dan melewati terowongan hidupnya. Setiap orang pasti masuk terowongannya, berteriak ketakutan, tidak tahu kemana harus pergi dan tentu lupa bahwa memang di dalam terowongan itu gelap dan menakutkan tetapi diujungnya selalu ada terang dan membahagiakan. Diujung terowongan panjang dan menakutkan itu ada jalan keluar yang membahagiakan. Nah, banyak kali kita hanya menikmati terowongan yang gelap dan lupa bahwa ada ujung terowongan yang memberikann jalan kepada kebahagiaan.

Saya teringat pada sebuah ungkapan Albert Einstein. Ia pernah berkata: “We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them.” (Kita tidak dapat menyelesaikan segala permasalahan kita dengan segala pemikiran yang sama ketika kita membuat masalah itu.” Perkataan Einstein ini sangat tepat karena banyak kali kita terjebak dan hanya berhenti pada awal terowongan kita yakni segala permasalahan atau persoalan hidup kita. Mengapa kita hanya berhenti pada masalah-masalah dan mengeluh kepada Tuhan dan sesama karena segala permasalahan yang kita hadapi? Jawabannya adalah karena kita tetap menggunakan kategori pemikiran kita yang sama ketika kita menciptakan masalah tersebut. Kita masih menikmati saat awal masuk di dalam terowongan gelap itu. Seandainya kita keluar dari pemikiran yang sama itu maka segala permasalahan, segala persoalan dapat kita atasi dengan baik. Dengan kata lain, seandainya kita sadar bahwa diujung terowongan ada terang, ada jalan keluar maka kita akan berusaha menggunakan potensi hidup kita untuk keluar dengan selamat dan bahagia.

Saya juga teringat pada nasihat St. Paulus kepada jemaat di Efesus. Ia berkata: “Hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasaNya. Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat iblis” (Ef 6:10-11). Kita harus jujur mengatakan rasa malu kita kepada Tuhan karena ketika mengalami masalah tertentu kita lebih percaya pada diri kita. Kita merasa mampu menyelesaikan segala permasalahan hidup tanpa perlu orang lain bahkan Tuhan sendiri pun kita tidak butuhkan. Kita keliru! St. Paulus mengatakan kepada kita supaya kita kuat di dalam Tuhan. Kita kuat di dalam kekuatan kuasaNya. Kita harus menggunakan seluruh perlengkapan senjata Allah.

Paulus melihat bagaimana kuasa iblis juga sangat kuat. Banyak orang mudah sekali jatuh dalam dosa yang satu dan sama. Sudah ada niat untuk menyesal dan bertobat tetapi selalu hanya niat saja. Mengapa demikian? Karena diri kita lebih kuat dari pada Tuhan. Ingat, mengandalkan diri adalah awal keretakan relasi kasih dengan Tuhan.

Lalu apa kata Yesus, sang Maestro Pria Katolik? Ketika orang masuk dalam terowongan hidup, Yesus berseru dengan suara nyaring: “Tenanglah, Aku ini, Jangan takut!” (Yoh 6:20). Andaikan setiap Pria Katolik yang melewati terowongannya menyadari kehadiran Tuhan Yesus maka Ia tidak akan merasa takut di dalam hidupnya. Pria Katolik, anda pasti bisa keluar dari terowonganmu itu!

P.John, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply