Homili Hari Jumat, Pekan Biasa XXIII
1Tim. 1:1-2,12-14
Mzm. 16:1,2a,5,7-8,11
Luk. 6:39-42
Aku berubah, sungguh kuberubah!
Banyak di antara kita tentu masih mengingat lagu rohani berjudul “Aku berubah”. Inilah sebagian liriknya: “Aku berubah, sungguh ‘ku berubah, waktu kus’rahkah hatiku. Aku berubah, sungguh ‘ku berubah, waktu kus’rahkah semua…” Saya mengambil kata-kata dalam lagu tempo doeloe ini untuk mengatakan kepada kita semua bahwa Tuhan juga menghendaki supaya kita berubah. Tuhan mau menjadikan kita sebagai agen perubahan bagi sesama yang lain. Caranya adalah kita bersedia, setia, membuka diri, mengubah hati kita supaya selaras dengan kehidupan Tuhan sendiri. Hanya dengan pertolongan Tuhan kita bisa berubah secara radikal.
Pada hari ini kita semua mendapat kekuatan rohani dari sharing St. Paulus. Ia merasakan kasih Tuhan yang besar dan mau berubah secara radikal di dalam hidupnya. Dalam suratnya kepada Timotius, Paulus mula-mula menyebut dirinya sebagai rasul Yesus atas perintah Allah sang Penyelamat dan Yesus dasar harapan kita. Ia menyapa Timotius sebagai putra rohaninya. Ia berkata kepada Timotius: “Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa dan Kristus Yesus, Tuhan kita, menyertai engkau.” (1Tim 1:2).
Kata-kata Paulus ini menarik perhatian kita. Ia berbicara tentang “kasih karunia”. Dalam bahasa Ibrani disebut: חן (khen) yang berarti perbuatan luhur dari Allah bagi manusia. Jadi, meskipun manusia itu tidak layak menerimanya namun Tuhan tetap berkuasa untuk memberinya kepada manusia. Dalam bahasa Yunani disebut χαρις (kharis) yang menunjuk pada pengampunan. Dalam tulisan-tulisan Paulus, manusia dinyatakan berdosa, tapi oleh kasih karunia dibenarkan (Roma 3:21-4:25), yaitu Allah dalam kasih karunia-Nya memperlakukan dia, walaupun bersalah, seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa.
Paulus memilih kata rahmat. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK), rahmat dipahami sebagai kemurahan hati, pertolongan sukarela yang Allah berikan kepada kita agar dapat menjawabi panggilan-Nya (KGK, 1996). Rahmat adalah keikutsertaan dalam kehidupan Allah, masuk dalam kehidupan Tritunggal yang paling dalam (KGK,1997). Rahmat adalah bantuan yang Allah berikan kepada kita, supaya kita dapat menjawabi panggilan kita menjadi anak-anak angkat (KGK, 2021). Paulus memilih kata damai sejahtera. Damai sejahtera adalah kalimat yang sering muncul dalam hidup kita. Tuhan Yesus bangkit mulia dan menyapa para murid-Nya: “Damai sejahtera bagi kamu” (Yoh 20:21). Damai adalah titipan Tuhan (Yoh 14:27) dan kalau kita membawanya, kita juga berhak untuk disebut anak-anak Allah (Mat 5:9). Kristus adalah damai kita!
Selanjutnya Paulus mengatakan rasa syukurnya kepada Kristus Yesus karena Ia senantiasa menguatkannya. Yesus juga menganggap Paulus setia dan mempercayakan pelayanan kepadanya. Ini merupakan ungkapan iman yang luhur dari Paulus di hadapan Timotius dan komunitasnya. Mengapa Paulus bersyukur kepada Tuhan Yesus? Ia mengingat kembali masa lalunya, penuh dengan kekejaman terhadap para pengikut Kristus, tetapi kini ia berubah menjadi rasul yang sedang berjalan menuju garis akhir (2Tim 4:7). Dengan jiwa besar Paulus bersaksi: “Aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman. Malah kasih karunia Tuhan kita itu telah dikaruniakan dengan limpahnya kepadaku dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus.” (1Tim 1:13-14).
Perkataan Paulus ini mempertegas kehendak Allah bagi manusia untuk berubah menjadi lebih baik dari hari ke hari. Paulus berkata: “Jika aku harus bermegah, maka aku harus bermegah atas kelemahanku.” (2Kor 11:30). Allah melalui Yesus Kristus menghendaki sebuah perubahan dalam diri Paulus. Paulus benar-benar berubah menjadi bagian dari Kristus. Ia lalu menjadi agen perubahan dalam pelayanannya, khususnya dalam mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa.
Perubahan yang radikal juga diminta oleh Tuhan Yesus dalam Injil. Banyak kali orang buta secara jasmani dan rohani tetapi mau membimbing orang lain yang sederajat dengannya. Akibatnya tidak ada perubahan apa pun di dalam diri mereka. Mereka akan tetap menjadi orang buta. Yesus adalah guru yang baik. Ia membentuk para murid-Nya dan pada saatnya yang tepat mereka akan berubah menjadi Kristus yang lain (alter Christus). Persoalan dalam kebersamaan adalah pada kemampuan untuk menerima sesama apa adanya dan kemampuan untuk berpikiran positif terhadap sesama. Kita cenderung melihat kelemahan sesama, laksana selumbar di dalam mata saudara-saudari kita tetapi balok yang lebih besar di mata kita tidak kelihatan. Ini adalah kemunafikan kita. Perubahan yang diharapkan adalah beralih dari pikiran yang serba negatif kepada sesama menjadi pikiran positif untuk menerima saudara-saudari apa adanya.
Mari kita melihat diri kita. Setiap hari selalu ada pikiran negatif terhadap sesama. Sulit sekali membangun pikiran positif. Apa manfaatnya anda berpikiran negatif terhadap sesama? Apa manfaat anda selalu melihat selumbar di mata saudaramu dan anda lupa bahwa padamu justru sebuah balok? Prinsip kita pada hari ini adalah: “Aku berubah, sungguh kuberubah”.
PJSDB