Homili 28 Januari 2017

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-III
St. Thomas Aquinas
Ibr 11:1-2.8-19
Luk 1:69-70.71-72.73-75
Mrk 4:35-41

Memang Kamu Beriman?

Memang kamu masih beriman? Ini adalah ucapan dari seorang pemuda kepada teman di sampingnya di dalam gereja sebelum perayaan misa berlangsung di dalam Gereja. Temannya hanya terdiam sebentar setelah itu ia tersenyum dengan wajah memerah tanda ia merasa malu. Ia jujur mengatakan bahwa ia masih beriman meskipun tidak sebaik dan sekuat sebelumnya. Selanjutnya mereka mengikuti perayaan Ekaristi seperti biasa sampai selesai. Pertanyaan sederhana di atas memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Memang kamu masih beriman atau sudah tidak beriman? Memang kamu mengaku beriman kepada Tuhan tetapi apakah kamu dapat menunjukkan iman melalui perbuatan-perbuatanmu yang nyata? Masih banyak pertanyaan lain seputar iman dalam hidup pribadi dan komunitas.

Gereja mengajarkan bahwa iman adalah pemberian dari Tuhan Allah kepada kita melalui Roh Kudus. Iman merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah kepada kita secara gratis. Karena iman sebagai sebuah anugerah cuma-cuma dari Tuhan maka sebagai ciptaan kita perlu menjawabinya. Jawaban atas anugerah Tuhan ini menjadi nyata dalam segala perbuatan-perbuatan kita. Penulis surat kepada umat Ibrani menambahkan pemahaman kita bahwa iman adalah dasar dari segala yang kita harapkan dan bukti dari segala yang tidak kita lihat (Ibr 11:1). Tuhan menganugerahkan iman kepada semua orang dalam sejarah peradaban manusia. Apa yang dirasakan oleh manusia? Iman tetaplah menjadi dasar dalam berelasi dengan Tuhan sekaligus bukti bagi sesuatu yang tidak kita lihat.

Di dalam Kitab Suci kita menemukan sosok tertentu yang dapat menjadi model iman kita kepada Tuhan. Abraham adalah Bapa bagi kaum beriman yang percaya kepada Tuhan Allah. Ia menunjukkan imannya melalui perbuatan-perbuatan nyata. Misalnya ia dipanggil oleh Tuhan untuk meninggalkan kampung halamannya di Ur-Kasdim untuk pergi tanah Kanaan, sebuah negeri baru yang kaya dengan susu dan madu. Di negeri baru itu hidup Abraham dan keturunannya akan lebih baik lagi di bandingkan dengan hidupnya ketika berada di Ur-Kasdim. Tentu saja Abraham juga merasakan banyak kesulitan karena negeri baru yang dijanjikan Tuhan itu masih dalam bayangan saja. Abraham memiliki iman sehingga dia taat kepada kehendak Tuhan. Ia pergi dan mendiami negeri baru yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Keturunannya akan mendiami negeri asing yang diberikan Tuhan sesuai dengan janjinya.

Iman Abraham membawa dampak dalam relasinya dengan Tuhan. Sara istri Abraham sudah memasuki usia lanjut tetapi Tuhan menghendaki supaya mereka memiliki keturunan. Ishak lahir dari rahim Sara yang saat itu dianggap Rahim yang sudah mati. Abraham dan Sara percaya bahwa Tuhan berjanji akan memberikan keturunan dan janji Tuhan pasti akan terlaksana. Keturunan Sara akan menjadi seperti bintang di langit dan pasir di laut.

Meskipun Tuhan memberikan negeri asing penuh dengan kekayaan tetapi Abraham dan keturunannya adalah orang asing atau pendatang di bumi ini. Mereka akan meninggalkan segala-galanya dan kembali kepada Tuhan sebagai sumber kehidupan. Surga adalah kerinduan dan harapan dari semua orang yang percaya kepada Tuhan. Pengalaman Abraham dan keturunannya adalah pengalaman kita semua. Pada saat yang tepat, kita juga akan meninggalkan segala sesuatu di dunia ini dan kembali ke surga sebagai tanah air kita. Untuk itulah iman adalah anugerah yang benar-benar kita butuhkan. Iman menjadi dasar bagi segala sesuatu dalam hidup kita. Kita patut berseru: “Terpujilah Tuhan Allah Israel, sebab Ia telah mengunjungi dan membebaskan umat-Nya” (Luk 1:68).

Iman kepada Tuhan akan melepaskan kita dari berbagai kesulitan hidup. Ada saja angin sakal yang dapat mengguncang kehidupan kita. Di saat-saat seperti itu banyak kali kita putus asa dan menjauh dari Tuhan. Tuhan Yesus memang menyertai kita tetapi kadang kita tidak menyadarinya sehingga kita harus berteriak histeris meminta tolong, atau lebih ekstrim meminta tolong dari kuasa-kuasa dunia ketika sedang mengalami kesulitan. Pengalaman para murid di dalam perahu bersama Yesus juga merupakan pengalaman kita yang mengaku beriman tetapi seolah-lah belum beriman. Mari kita mengingat pengalaman Abraham dan petualangan hidupnya di dunia ini. Dalam situasi apapun, ia berpasrah kepada Tuhan karena iman.

Pada hari ini Tuhan Yesus menegur kita yang kurang beriman: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (Mrk 4:40).

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply