Inikah gambaran diri kita di hadapan Tuhan?
Saya tertarik dengan kisah nenek moyang manusia di dalam Kitab Kejadian. Manusia pertama (Adam) dan perempuan (Hawa) yang diciptakan dari tulang rusuknya, mendapat anugerah kebebasan yang luar biasa dari Tuhan. Namun keduanya menyalahgunakan kebebasan yang Tuhan Allah berikan kepada mereka, dengan tidak taat kepada-Nya. Mereka justru taat pada ular (setan) dan godaannya yakni dengan memakan buah dari pohon terlarang. Konsekuensinya mereka bukan sama seperti Tuhan Allah, melainkan menjadi manusia yang hina di hadapan sang penciptanya. Manusia yang berdosa di hadapan sumber segala kebaikan.
Apa yang terjadi setelah manusia pertama jatuh dalam dosa?
Ketika itu Tuhan melakukan pendekatan pertama dengan berjalan-jalan di taman Eden, mencari, memanggil dan menemukan manusia yang sudah jatuh dalam kehinaan karena dosa. Tuhan Allah berseru: “Adam, di manakah engkau?” Manusia pertama yang hina menjawab: “Ketika aku mendengar bahwa Engkau berada di dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang, sebab itu aku bersembunyi.” Lihatlah bahwa di hadapan Tunan Allah, manusia baru sadar dan mengerti tentang dosa, merasa malu dan bersembunyi. Semua terjadi saat Tuhan berinisiatif untuk mencari dan menyelamatkan. Wah aku, engkau, kita banget!
Tuhan Allah tidak tinggal diam. Ia bertanya lagi: “Apakah engkau makan dari buah pohon yang Kularang engkau makan itu?” Manusia pertama beraksi lagi. Mereka tidak memberi jawaban “Ya” atau “Tidak”. Manusia pertama ternyata sudah mulai belajar bersilat lida. Inilah jawabannya: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah itu kepadaku, maka kumakan.” Tuhan Allah memandang perempuan dan menanyakan kebenaran pengakuan sang manusia pertama ini. Perempuan itu juga tidak mau kalah sama manusia pertama. Ia berkata: “Ular itu yang memperdaya aku, maka kumakan buah itu.” Lihatlah manusia pertama sudah mengalihkan beban dosa kepada pasangannya. Mereka tidak mau menerima kesalahan pribadi. Hmm aku, engkau, kita banget!
Selanjutnya, Tuhan Allah memang luar biasa. Ia memberi kutukan kepada ular sebagai yang terkutuk di antara segala ternak dan di antara segala binatang di hutan. Dia hanya memakan debu tanah dan menjalar, juga bermusuhan dengan sang perempuan dan keturunannya. Tuhan berpaling kepada manusia tanpa memberikan kutukan apapun. Ia hanya mengatakan bahwa Adam harus bekerja keras dan makan dari hasil keringatnya sendiri. Hawa sendiri akan mengalami penderitaan dalam hidupnya. Semua ini terjadi sampai saat ini!
Mari kita masuk lebih dalam lagi pada kisah nenek moyang ini. Saya berani mengatakan sebelumnya bahwa hmmm aku, engkau dan kita banget karena ternyata saya menemukan bahwa kisah ini tidak jauh berbeda dengan kisah hidup kita zaman now. Ada orang tertentu yang berlutut di depan sakramen Mahakudus sambil menghujat Yesus: “Hai Yesus, kalau Engkau benar-benar ada di dalam Sakramen Mahakudus, silakan keluar dan tunjukanlah wajah-Mu kepadaku!” Ada yang berdoa sambil memukul-mukul kaki patung Hati Kudus Yesus, memaksa-Nya untuk membayar utangnya kepada orang lain. Masih banyak lagi tindakan orang katolik yang aneh di hadapan Tuhan. Apakah iman kita kepada Tuhan hanya sebatas ini saja? Sungguh dangkal, picik dan tidak Kristiani. Tuhan Yesus tidak pernah mengajar kita seperti ini dalam Injil.
Kebiasaan yang menjadi kultur semua orang adalah memindahkan beban dosa kepada orang lain. Adam tidak merasa bersalah karena memakan buah maka ia mengatakan bahwa Hawa yang bersalah. Hawa tidak merasa bersalah maka ia mengatakan bahwa ular yang bersalah. Tuhan memang mahabaik bagi manusia maka kutukan diberikan Tuhan kepada ular yang menggoda manusia. Tapi lihatlah bahwa sikap tidak jujur manusia pertama ini masih ada sampai sekarang ini. Misalnya, anak-anak sekolah yang ribut di dalam kelasnya akan mengorbankan orang lain dengan mengatakan “dia” yang ribut bukan aku. Orang suka melempar batu dan sembunyi tangannya. Ketika mengaku dosa saja orang masih mengakui dosa orang lain bukan dosanya sendiri. Misalnya: “Romo, saya marah anak saya karena anak saya nakal”. Marah itu dosa, dan tak perlu menjelaskannya. Kalau menjelaskannya berarti membenarkan diri sebagai orang yang tidak berdosa. Maka Adam dan Hawa adalah kita banget… Apakah ini benar-benar merupakan gambaran diri kita di hadirat Tuhan?
Mari kita berubah dengan melakukan kehendak Allah bukan kehendak kita sendiri. Hanya dengan demikian kita benar-benar menjadi Adam dan Hawa yang baru di dalam Kristus.
PJ-SDB