Homili 16 Juni 2018

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-X
1Raj. 19:19-21
Mzm. 16:1-2a,5,7-8,9-10
Mat. 5:33-37

Aku setia kepada Tuhan

Saya memiliki kebiasaan memeriksa buku catatan para siswa-siswi dan memberi nilai tertentu yang berhubungan dengan ketertarikan dan keaktifan siswa terhadap mata pelajaran yang saya ajarkan. Saya menemukan banyak hal di dalam buku catatan para siswa. Saya dapat mengenal karakter setiap siswa melalui tulisan tangan mereka. Saya juga menemukan ungkapan-ungkapan tertentu yang menunjukkan jati diri, harapan dan cita-cita mereka. Misalnya ada seorang siswa yang kemudian melanjutkan pembinaannya hingga menjadi seorang pastor. Ia pernah menulis di dalam bagian awal buku catatannya: “Aku berusaha untuk setia kepada Tuhan”. Pada waktu itu saya sendiri belum yakin apakah dia memang memiliki cita-cita dan harapan untuk menjadi seorang pastor. Namun rencana Tuhan selalu indah pada waktunya. Siswa tersebut menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan Yesus sebagai abdi atau hamba Tuhan di dalam Gereja.

Pada hari ini Tuhan mengajak kita untuk membangun kesetiaan kepada-Nya. Di dalam bacaan pertama kita mendengar kisah Elisa yang bersiap-siap untuk mengikuti nabi Elia. Dikisahkan bahwa nabi Elia menemui Elisa, putera Safat yang sedang membajak kebunnya dengan dua belas pasang lembu. Elisa bekerja bersama para pekerja, dengan mengendalikan ternaknya yang sedang membajak kebunnya ini. Ketika itu Elia melihat Elisa sedang bekerja dan tanpa basa-basi melemparkan mantelnya kepada Elisa. Elisa menyadari bahwa ini adalah sebuah panggilan dan ia sendiri yang merasa terpanggil berusaha untuk menjawabi panggilan ini dengan setia. Elisa menunjukkan sikapnya ini dengan meninggalkan lembu-lembunya sambil mengejar Elia untuk memohon supaya ia meminta ijin kepada ayah dan ibunya terlebih dahulu. Elia melihat kesetiaan Elisa maka ia pun mengijinkannya, sambil mengingatkannya untuk melakukan apa yang sudah diperbuatnya kepada Elisa.

Elisa melakukan komitmen kesetiaannya kepada nabi Elia dengan kembali ke rumahnya untuk meminta ijin kepada orangtuanya. Ia sempat menyembeli pasangan lembu, menyiapkan hidangan lezat bagi para pekerjanya. Setelah melakukan perbuatan kasihnya ini, ia meninggalkan segalanya dan mengikuti Elia sebagai seorang pelayannya. Elisa sadar diri bahwa ia akan menjadi pelayan seorang utusan Tuhan maka ia meninggalkan segala-galanya supaya lebih bebas dalam mengabdi. Ia meninggalkan segalanya supaya lebih setia lagi dalam mengabdi.

Kisah Elisa ini mengingatkan kita pada kisah panggilan di danau dan di gunung dalam Injil Markus. Ketika itu Tuhan Yesus berjalan-jalan di pantai danau Galilea. Ia melihat para nelayan yakni Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes sedang bekerja sebagai nelayan. Ia memanggil mereka untuk mengikut-Nya dari dekat. Mereka meninggalkan segala pekerjaan sebagai nelayan, orang tua, keluarga dan rumah untuk segera mengikuti Yesus. Mereka menjadi penjala manusia. Tuhan Yesus memanggil Lewi sang pemungut cukai dan ia segera meninggalkan meja, dan harta yang diperoleh dari pekerjaannya. Banyak orang dari gunung-gunung di sekitar Galilea meninggalkan kampung halamannya untuk mengikuti Yesus dari dekat, mendengar sabda dan merasakan keselamatan. Sama seperti Elia memanggil Elisa dan ia segera meninggalkan pekerjaan, pekerja dan keluarganya untuk mengikuti Elia sebagai pelayan, demikian juga para murid perdana ini. Mereka mendapat panggilan Tuhan Yesus dan siap untuk mengikuti-Nya dari dekat. Di sini, kita melihat bahwa orang yang merasakan panggilan dari Tuhan akan menunjukkan kebebasan, siap meninggalkan segalanya supaya lebih setia dalam mengikuti-Nya.

Untuk menjadi pribadi yang setia maka butuh komitmen pribadi yang jelas. Komitmen pribadi untuk setia melakukan pekerjaan dan tuntutan profesi yang berlaku. Seorang ibu atau bapa di dalam keluarga memiliki komitmen untuk setia dalam hidup perkawinan dan pendidikan anak-anak. Seoran guru atau dosen dituntut untuk menjadi profesional dalam pekerjaannya. Seorang imam, biarawan dan biarawati dituntut untuk memiliki komitmen dalam panggilannya. Panggilan hidup itu bukanlah sebuah profesi. Imam itu bukan sebuah profesi tetapi sebuah panggilan dari Tuhan. Ia harus menjalani panggilan Tuhan ini sepanjang hidupnya. Profesi bisa di terima atau ditolak kalau tidak sesuai dengan selera. Imam, melalui sakramen imamat, berusaha mewujudkan komitmen dan kesetiaanya dalam panggilan hidupnya. Ia menunjukkan komitmennya sebagai orang yang taat, miskin dan murni. Ini adalah janji setia yang diungkapkan di hadapan Tuhan. Komitmen dan kesetiaan membuat panggilan menjadi semakin kuat dari saat ke saat.

Komitmen hidup dalam sebuah profesi ditunjukkan dengan mengungkan sumpah jabatan atau sumpah profesi. Pada dasarnya sumpah jabatan dan sumpah profesi mengingatkan orang yang bersumpah untuk setia dalam hal-hal kecil sampai ke hal-hal besar dalam menjalani profesinya. Kalau ia menyimpang dari profesinya maka hukuman akan menjadi ganjaran baginya. Sebab itu ia perlu disiplin diri. Para imam, biarawan dan biarawati mengungkapkan janji imamat dan kaul-kaul kebiaraan untuk menjadi pribadi terpanggil yang taat, miskin dan murni. Setiap pribadi yang taat pasti miskin dan murni. Setiap pribadi yang murni pasti taat dan miskin. Setiap pribadi yang miskin pasti dia taat dan murni. Pribadi yang terpanggil untuk hidup taat, miskin dan murni harus berusaha untuk setia hari demi hari. Tentu saja sumpah jabatan, profesi dan kaul kebiaraan haruslah menggambarkan komitmen pribadi untuk melakukannya dengan setia. Kalau tidak ada komitmen maka akan menjadi sumpah atau janji palsu.

Tuhan Yesus mengingatkan banyak orang di atas bukit sabda bahagia bahwa nenek moyang mereka sudah mendengar tentang larang untuk bersumpah palsu, tetapi mereka harus memegang sumpah mereka di hadapan Tuhan. Tuhan Yesus mengajarkan hal baru dengan menuntut komitmen kesetiaan pada sumpah atau janji bukan hanya sekedar mengucapkan kata-kata yang muluk-muluk di hadapan Tuhan dan sesama. Komitmen kesetiaan itu ditunjukkan dengan mengatakan ‘Ya’ kalau memang ‘Ya’ atau ‘Tidak’ kalau memang ‘Tidak’ sebab bagi Yesus, apa yang lebih dari ‘Ya’ dan ‘Tidak’ itu berasal dari iblis. Makanya tak perlulah bersumpah demi langit, bumi dan Yerusalem. Cukuplah setia dalam menjalani komitmen dengan ‘Ya’ atau ‘Tidak’.

Banyak kali kita tidak setia dalam menjalani sumpah jabatan, profesi dan menjalani janji imamat serta kaul-kaul kebiaraan. Kadang kita harus mengatakan Ya tetapi masih ragu-ragu, sebab kita takut kehilangan relasi. Demikian juga sulit untuk mengatakan tidak supaya kita dianggap orang baik dan murah hati. Pada hari ini Tuhan menghendaki supaya kita juga berani berkata ‘Ya’ dan ‘Tidak’. Orang yang setia kepada Tuhan akan menunjukkan komitmennya untuk mengatakan ‘Ya’ atau ‘Tidak’, sebab selebihnya itu berasal dari iblis.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply