Mengagumi Yesus

MENGAGUMI YESUS

Apakah anda mengagumi Yesus? Ini adalah sebuah pertanyaan sederhana namun dapat menembus jiwa dan raga kita yang sedang mengikuti-Nya dari dekat. Pertanyaan ini mungkin bersumber pada perasaan dan keyakinan kita sebagai orang yang sedang akrab dengan Tuhan Yesus. Alasannya adalah status hidup bakti yang sedang kita jalani dan tugas perutusan yang sedang kita emban saat ini. Maka satu jawaban pasti adalah kita pasti mengagumi Yesus, mengikuti jejak-Nya dan berusaha untuk hidup semakin serupa dengan-Nya dari saat ke saat. Jadi perasaan kagum harus menjadi nyata dalam hidup kita yang semakin serupa dengan-Nya.

Tuhan Yesus dalam Injil Matius, menunjukkan diri-Nya di hadapan umum. Ia berbicara tentang Sabda Bahagia dan menjelaskannya dengan-contoh yang konkret. Misalnya, Ia mengharapkan supaya masing-masing kita menjadi Garam dan Terang dunia. Kita mampu mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kedirian kita. Kita menjalani hidup kristiani dengan beramal kasih, berpuasa dan berdoa dengan baik. Kita menjauhkan diri dari berbagai rasa kuatir yang selalu menghantui hidup pribadi kita. Kita diingatkan untuk taat kepada hukum-hukum Tuhan. Semua ini patutlah kita lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Ia selalu bersama dengan kita. Dia mendampingi kita untuk bertumbuh sebagai anak-anak dari Bapa yang satu dan sama.

Hal-hal yang kiranya menarik perhatian kita adalah aneka teguran Yesus, koreksi yang perlu kita lakukan untuk menjadi pribadi yang terbaik. Mari kita merenungkan perkataan-perkataan-Nya:

Pertama, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21). Kita mengagumi Yesus, tetapi apakah kita masih sama saja seperti banyak orang yang berdatangan untuk mengikuti Yesus saat itu dan berseru ‘Tuhan, Tuhan’ saja? Ternyata ekspektasi Yesus dari kita bukan hanya sekedar memanggil nama-Nya, tetapi lebih dari itu kita harus berusaha untuk melakukan kehendak Bapa di Surga. Apakah kita mentaati kehendak Bapa di Surga?

Kedua, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?” (Mat 7:22). Tuhan Yesus tahu persis bahwa di antara para murid-Nya, ada yang suka menghitung-hitung jasanya bagi Tuhan dan sesama. Mereka sungguh lupa bahwa Tuhan sendiri yang menganugerahkannya gratis! Apakah anda suka menghitung-hitung jasa dan kebaikanmu di hadirat Tuhan? Kalau saja kita berlaku demikian maka Tuhan juga akan mengatakan bahwa Ia tidak mengenal kita. Apa jadinya kalau Tuhan tidak mengenal kita?

Ketiga, Sikap bathin yang perlu kita miliki adalah membangun dan memupuk kemampuan untuk mendengar dengan baik semua perintah Tuhan dan melakukannya dalam hidup yang nyata. Hal ini mengandaikan iman yang kuat. Tuhan Yesus mengumpamakan manusia yang membangun rumah di atas batu wadas. Apapun tantangannya, baik hujan dan angin juga matahari, rumah itu akan terlindungi. Kita juga akan tetap berdiri kokoh karena wadas adalah iman dan kasih kepada Tuhan dan sesama. Hal ini tentu akan berbeda dengan orang dungu yang membangun rumah di atas pasir. Ketika hujan dan banjir datang maka rumah itu juga akan roboh.

Hal yang menarik perhatian adalah bahwa semua murid-Nya mengagumi Yesus. Inilah perkataan yang mengumpamakan rasa kagum ini: “Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.” (Mat 7:28-29). Mari kita kembali ke pertanyaan semula: “Apakah kita mengagumi Yesus dalam hidup kita? Apakah kita masih mampu mendengar Sabda-Nya, merenungkannya dalam-dalam dan menjadikan Sabda benar-benar menjadi daging dan tinggal bersama kita?

Lalu apakah yang harus kita lakukan dalam menghayati hidup bakti?

Pertama, Tuhan haruslah menjadi andalan kita. Banyak kali kita lebih banyak mengandalkan diri kita sendiri. Kita keliru. Tuhanlah yang harus menjadi andalan kita satu-satunya. Raja Daud pernah berdoa begini: “Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu.” (Mzm 90: 5-6). Hidup kita tidak jauh berbeda dengan rerumputan yang memiliki saat untuk mekar bunganya dan di saat lain layu bunganya.

Kedua, Tantangan bagi kita adalah kekuatan harta kekayaan dan kekuasaan. Ini adalah dua kekuatan yang selalu menantang hidup kita. Dalam Kitab Perjanjian Lama, ternyata kekayaan dan kekuasaan sering menjerumuskan bangsa Israel sehingga mereka akhirnya mengalami pembuangan di Babel. Kita memiliki contoh raja Yoyakhin, raja di daerah Yudea. Ia berlaku jahat di hadapan Tuhan. Raja Nebukhadnezar pun datang dan menguasai Yerusalem. Semua kekayaan di dalam Bait Suci yang terbuat dari emas dirampas, penduduk Yerusalem dipaksa untuk meninggalkan Yerusalem supaya menjadi pekerja di Babel (2Raj. 24:8-17). Lihatlah bahwa kekuasaan dan harta kekayaan telah menghancurkan relasi Israel dengan Tuhan. Harta kekayaan dan kekuasaan ternyata membuat kita tidak mampu mengagumi sang pencipta sendiri.

Ketiga, Paus Fransiskus mengatakan bahwa kita tidak mampu mengagumi Yesus manakala hidup kita sedang dikuasai oleh gnostisisme dan pelagianisme. Kedua hal ini ikut menghalangi kita untuk mencapai kekudusan.

Apa itu Gnostisisme? Kata Gnostisisme berasal dari bahasa Yunani: gnōsis, artinya: Pengetahuan. Gnostisisme adalah suatu paham atau aliran tentang penyelamatan melalui pengetahuan. Pada akhir abad ke II, penganut Gnostik mengutip “kata-kata Yesus dalam Injil yang dipakai umat Kristiani” demi mendukung ajaran-ajaran mereka. Tokoh-tokoh Gnostik mengarang “injil-injil” baru, antara lain “Injil Thomas” yang mengajarkan ajaran dualistik: materi bertentangan dengan Roh, dan alam semesta merupakan suatu wujud yang buruk dari Pencipta. Gnostisisme menyangkal wahyu objektif yang terpenuhi pada zaman para rasul. Gnostisisme menolak kenyataan bahwa Kristus telah menetapkan kuasa mengajar dalam gereja-Nya, untuk menafsirkan dengan tepat arti sabda Allah yang diwahyukan.

Pelagianisme. Dinamakan sama dengan rahib dari Inggris, Pelagius, sebaya dengan St. Agustinus dan St. Hironimus. Pada awal abad ke 5, ia menolak dosa asal serta kebutuhan rahmat penyelamatan dari Allah. Menurut kesesatannya, kesalahan dosa Adam tidak diturunkan pada kita. Dosa Adam hanya melukai Adam dan tidak melukai kita. Itu hanya contoh dari kejahatan saja. Demikian juga, Penebusan dari Kristus hanya instruksi dan contoh untuk kita, untuk mengikuti dalam rangka mengkounter contoh kejahatan dari Adam. Pelagius mengajarkan bahwa dengan cara alamiah, seperti gaya hidup yang keras (perbuatan), kita bisa mengatasi dosa-dosa pribadi kita. Kita bisa mendapatkan pahala surga oleh iman dasar tanpa bantuan supranatural Allah–yaitu rahmat. Menurut dia, hukum Musa adalah efektif sama seperti Injil untuk keselamatan. Keduanya St. Agustinus dan St. Hironimus menentangnya. Sebagai hasil dari kerjanya melawan Pelagius, St. Agustinus dikenal sebagai “Doktor dari Rahmat.” Pelagius akhirnya dikutuk pada tahun 418 di Konsili Carthage disetujui oleh Paus Zosimus. Konsili ini mengajarkan:

1. Kematian Adam adalah sebagai hasil dari dosa
2. Sebagai hasil dari Dosa Asal, bayi yang baru lahir perlu untuk dibabtis
3. Oleh Rahmat Allah, kita tidak hanya tahu perintah-Nya tapi juga memiliki kekuatan untuk mematuhinya
4. Tanpa rahmat, perbuatan baik adalah tidak mungkin bagi kita
5. Dan akhirnya, kita dan semua orang kudus mengakui diri kita sebagai orang berdosa didalam kejujuran dan tidak hanya keluar dari kerendahan hati. Kita dibenarkan (diselamatkan) oleh rahmat Allah (Kis 15:11; 18:27; Rom 3:24; Gal 2:21; Fl 1:7; 2:5; 2:8; 2Tim 1:9; Titus 3:7; Ibr 4:16).

Iman dan perbuatan baik adalah respon positif kita atau bekerja sama dengan rahmat. “Digerakaan oleh rahmat, manusia berpaling kepada Allah dan berpaling dari dosa, dan dengan demikian ia mendapat pengampunan dan kebenaran dari atas.” (KGK 2018)

Dalam hidup kita saat ini, gnostisisme dan pelagianisme juga semi pelagianisme dapat menghalangi kita untuk mengagumi Yesus.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply