Homili 25 September 2018

Hari Selasa, Pekan XXV
Ams 21:1-6.10-13
Mzm 119:1.27.30.34.35.44
Luk 8:19-21

Melaksanakanlah Sabda Tuhan dalam kemajemukan

Kita sedang berada di hari-hari terakhir bulan Kitab Suci Nasional tahun 2018. Selama hampir sebulan ini fokus perhatian kita semua adalah bagaimana mewartakan Kabar Gembira dalam kemajemukan. Kita semua tentu tidak dapat menutup mata terhadap realitas kehidupan ini bahwa kita tidak hidup sendirian. Kita sedang tinggal berdampingan dengan sesama manusia yang tentunya berbeda dalam banyak hal, termasuk iman dan kepercayaan kita kepada Tuhan. Sebab itu Sabda Tuhan dapatlah menjadi terang yang menerangi kehidupan bersama di dalam kemajemukan. Sabda Tuhan dapat mengubah cara pandang kita yang mungkin selalu berbeda bahkan negatif terhadap sesama.

Ada dua pengalaman rohani yang saya rasakan selama bulan Kitab Suci Nasional ini: Pertama, dalam sebuah pertemuan di lingkungan, seorang umat yang hadir membagikan pengalamannya bagaimana ia mendengar Sabda dan melaksanakannya dalam kemajemukan. Ia mengaku baru sadar bahwa ternyata ada begitu banyak orang yang membutuhkan bantuannya dalam hidup bersama di lingkungannya, tetapi selama bertahun-tahun ia tidak bersedia untuk menolong. Ia terlalu banyak melihat perbedaan dan lupa bahwa perbedaan itu harusnya menyatukan bukan memisahkan.

Ia juga mengakui bahwa Paus Fransiskus adalah inspiratornya. Ia mengutip perkataan Paus Fransiskus dalam perayaan Natal tahun 2016 berikut ini: “Perayaan Natal tahun ini seharusnya dimaknai dengan meningkatkan kepedulian terhadap orang-orang yang sedang diliputi kesedihan. Kita mengingat anak-anak yang tidak diberi kesempatan untuk lahir, anak-anak yang menangis karena kelaparan, anak-anak yang di tangannya tidak menggenggam mainan namun sebuah senjata. Jangan sampai kita terlalu memikirkan hadiah Natal namun acuh kepada orang yang termarjinalkan. Sifat materialistis telah menyandera kita pada Natal kali ini. Kita harus mampu membebaskan diri kita (dari belenggu tersebut). Perkataan Paus Fransiskus ini turut mengubah hidupnya sejak tahun 2016 silam. Kini ia belajar untuk bersikap sosial terhadap sesama di lingkungannya. Semua umat yang hadir mengakui perubahan radikalnya dalam hidup bersama, terutama empatinya dengan kaum miskin dan yang menderita.

Kedua, Saya sendiri menemukan sebuah pesan istimewa dalam buku karya Thomas A. Kempis yakni “De Imitatione Christi”. Inilah pesannya: “Di dalam Kitab Suci kita harus mencari kebenaran dan bukanlah kata-kata yang indah. Kitab Suci seluruhnya hendaknya dibaca dalam semangat yang sama seperti pada saat Kitab Suci tersebut ditulis. Lebih baik di dalam Kitab Suci kita mencari apa yang berfaedah bagi kita daripada mencari keindahan Bahasa. Kesukaan membaca Kitab-Kitab keagamaan dan bersahaja hendaklah sama dengan kesukaan kita membaca Kitab-Kitab yang luhur-luhur dan dalam-dalam isinya. Janganlah kita pedulikan apakah penulisnya itu banyak ilmunya ataupun sedikit; hanya cinta kepada kebenaranlah hendaknya yang mendorong kita untuk membaca. Janganlah kita bertanya siapa yang mengatakan, tetapi perhatikanlah apa yang dikatakannya.” (V:1). Bagi saya pesan ini sangat aktual dalam melanjutkan peziarahan kita membaca Kitab Suci, mendengar, merenungkan dan melaksanakan Sabda Tuhan di dalam hidup kita.

Bacaan Injil hari ini membantu kita untuk merenung lebih dalam lagi relasi kita dengan Tuhan Yesus sebagai Sabda kehidupan kita. Penginjil Lukas mengisahkan bahwa pada suatu hari Bunda Maria dan saudara-saudara Yesus datang untuk bertemu dengan-Nya. Pada saat yang sama banyak orang mengitari-Nya untuk mendengar pengajaran-Nya. Tentu saja hal ini menyebabkan Bunda Maria dan saudara-saudara Yesus tidak mencapai-Nya. Orang-orang itu menyampaikan Yesus bahwa ibu dan saudara-saudara-Nya hendak menjumpai-Nya. Namun Ia berkata: “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka yang mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya” (Luk 8:21).

Kisah Injil ini mungkin membuat banyak orang merasa heran dan bingung dengan Yesus. Pertama-tama tentang saudara-saudara Yesus. Ada yang berpikir secara harafiah bahwa ada kemungkinan Yesus memiliki saudara-saudara kandung. Dalam budaya Yahudi, saudara-saudara itu dapat bermakna luas, dalam hal ini saudara-saudara sepupuh dari Yesus. Penginjil Markus misalnya, menulis nama-nama mereka yakni Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon (Mrk 6:3). Mengapa mereka datang untuk melihat Yesus? Memang Penginjil Lukas tidak memberikan alasan kedatangan mereka, namun penginjil Markus memberi alasan bahwa keluarga Yesus datang untuk mengambil-Nya, sebab kata mereka Ia sudah tidak waras lagi (Mrk 3:21). Namun yang pasti, Tuhan Yesus Kristus tetap mewartakan Injil dan menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-tengah banyak orang.

Hal lain yang penting adalah, Sabda Tuhan menjangkau semua lapisan dalam kehidupan. Orang-orang yang menjadi saudara-saudara Yesus, tidak harus memiliki hubungan darah namun mereka yang setia mendengar, merenungkan dan melakukan Sabda Tuhan dalam hidupnya. Menjadi saudara-saudara Yesus zaman now berarti siap untuk mewartakan Kabar Sukacita dalam kemajemukan kita saat ini. Maka sungguh berbahagialah orang yang mendengarkan Sabda Tuhan dan melakukannya. Pertanyaan buat kita semua adalah apakah kita merasa bahagia saat mendengar Sabda Tuhan? Apakah kita bahagia untuk merenungkan dan melakukan Sabda Tuhan dalam hidup kita?

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply