Homili 27 November 2018

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XXXIV
Why 14:14-20
Mzm 96:10-13
Luk 21:5-11

Awas, masih ada penyesatan!

Saya pernah diajak bicara oleh seorang umat di sebuah paroki, setelah merayakan Ekaristi hari Minggu. Kebetulan saat itu saya diminta mengganti para Romo di Paroki itu untuk merayakan misa hari Minggu sebab mereka sedang mengadakan Rapat Karya di luar kota bersama para pengurus Gereja. Umat itu memperkenalkan diri sebagai mantan pengurus Gereja selama beberapa periode. Kini dia sudah tidak aktif karena masalah usia dan perlu adanya regenerasi kepengurusan di dalam parokinya. Ia merasa senang karena para romo di paroki itu memiliki ide yang cemerlang untuk menjadikan Gereja atau paroki sebagai sebuah persekutuan yang mengikat gembala dan umatnya. Namun, ia juga mengingatkan saya supaya selalu waspada dalam membawa diri di tengah umat, dan membangun relasi yang baik dengan mereka sebagai gembala umat. Ia belajar dari pengalaman masa lalunya sehingga ia berani mengatakan, “Awas, masih ada penyesatan!” Saya tidak mengerti makna kata penyesatan yang keluar dari mulutnya, karena pikiran saya masih ada dalam suasana yang positif. Ia mengulangi untuk kedua kalinya: “Awas, masih ada penyesatan! Maka harus selalu berhati-hati dalam hidupmu sebagai gembala.” Saya bertanya kepadanya maksud pernyataan: “Awas, masih ada penyesatan”. Ia mengatakan maksudnya adalah bahwa di paroki itu masih ada banyak umat yang suka mengadu domba sesama umatnya di depan gembalanya, suka mencari muka di depan gembalanya sehingga apabila gembala itu tidak matang, maka ia akan cenderung memihak lingkungan, wilayah atau kelompok kategorial tertentu dan mengabaikan yang lainnya. Ini adalah penyesatan umat kepada gembalanya.” Saya tersenyum sejenak dan mengajaknya untuk mendoakan intensi ini kepada Tuhan supaya melindungi Gereja dari bahaya saling menyesatkan satu sama lain.

Penginjil Lukas melaporkan bahwa Yesus sudah tiba di Yerusalem dan menyucikan Bait Suci dari orang-orang yang Yahudi yang mengotorinya, juga mengobservasi orang-orang yang datang untuk beribadan dan mempersembahkan persembahannya kepada Tuhan. Selanjutnya dikisahkan bahwa ada beberapa orang yang berbicara tentang bait Allah dan mengagumi keindahan bangunannya. Ada batu-batu yang indah yang membentuk temboknya, ada berbagai macam persembahan yang juga indah-indah. Semua kesan tentang keindahan bait Allah ini hanya sekedar kesan terhadap bangunan fisiknya. Dan ini satu aspek yang selalu ada di dalam hidup kita yakni selalu pandai menilai hal-hal yang lahiriah dalam diri seseorang atau barang yang kelihatan dan lupa menilai kedalaman batiniahnya. Tuhan Yesus mengoreksi mereka supaya mengubah mindset mereka dalam menilai Bait Allah. Bait Allah itu bukan semata-mata batu-batu yang indah dan aneka perhiasan dan persembahannya. Dalam sejarah Israel, Bait Allah sudah pernah dihancurkan, dan nantinya akan dihancurkan lagi. Bait Allah yang diagungkan itu akan runtuh dan tidak aka nada satu batu pun yang dibiarkan terletak di atas batu yang lain.

Proses perubahan mindset yang diharapkan Yesus bagi orang-orang yang datang ke Bait Allah adalah mereka tidak melihat Bait Allah semata-mata sebagai Gedung melainkan sebagai Bait atau Rumah bagi Tuhan. Tuhanlah yang bersemayam di dalamnya. Maka seharusnya yang dipuji dan dibanggakan adalah Tuhan sebagai penghuni Bait Suci itu. Bahwa pada saatnya nanti bait itu akan diruntuhkan tetapi Tuhan yang bersemayam itu tidak akan dihancurkan. Mengapa karena Dialah Tuhan Allah, pencipta segala sesuatu. Hanya pada-Nya kita percaya dan berharap. Dia mengasihi kita sampai tuntas dan tidak akan menghancurkan kita semua.

Para murid Yesus juga masih berpikir dengan kategori manusiawi. Sebab itu mereka tentu merasa heran dan mempertanyakan pernyataan Yesus tentang runtuhnya bait Allah di Yerusalem. Pertanyaan yang lumrah kepada Yesus adalah tentang kapan bait Allah akan diruntuhkan sehingga tidak ada satu batupun terletak di atas satu dengan yang lainnya. Apakah ada tanda-tandanya sehingga orang-orang dapat mawas diri? Tuhan Yesus menunjukkan kesabaran-Nya yang tinggi kepada mereka. Maka pertama-tama Ia meminta mereka untuk berhati-hati terhadap segala macam penyesatan. Tanda-tanda umum penyesatan adalah munculnya orang-orang tertentu yang mengakui dirinya sebagai Mesias. Para penyesat itu tidak hanya mengakui dirinya sebagai Mesias atau Kristus tetapi menerangkan juga tentang ‘saat kehancuran’ atau ‘akhir zaman’. Orang-orang seperti ini adalah nabi palsu dan anti Kristus! Para penyesat hanya akan menertawakan orang-orang beriman karena mereka memang bukan berasal dari dunia. Sebab itu sikap mawas diri, berjaga-jaga harus selalu dimiliki oleh kaum beriman.

Selanjutnya Tuhan Yesus memberikan pemahaman kepada mereka supaya tidak membingungkan. Misalnya, para murid dan orang kebanyakan diajak untuk membaca tanda-tanda zaman seperti adanya perang, dan pemberontakan. Bangsa akan bangkit melawan bangsa, kerajaan melawan kerajaan. Ada gempa bumi yang dahsyat, ada penyakit sampar dan kelaparan. Ada juga hal lain yang mengejutkan dan dahsyat dari langit. Bagi Yesus, semuanya ini akan terjadi lebih dahulu, namun tidak berarti kesudahannya akan datang segera. Mengapa demikian? Sebab yang mengetahui saatnya bukan para malaikat yang siang dan malam melayani Tuhan, bukan juga Yesus sang Anak Manusia melainkan hanya Bapa sang Pencipta yang mengetahuinya (Mat 24:36). Maka sikap bathin yang perlu dimiliki adalah selalu mawas diri dan berjaga-jaga di dalam hidup ini.

Apa yang harus kita miliki di dalam menjalani hidup ini untuk menyambut harinya Tuhan? Tuhan memang akan datang untuk menghakimi bumi (Mzm 96:13b). Ini adalah pengakuan iman kita bahwa Tuhan Yesus sendiri akan datang untuk mengadili orang yang hidup dan mati. Yohanes dalam bacaan pertama juga mengatakan bahwa sudah tiba saatnya untuk menuai buah anggur yang sudah masak di bumi. Sebab itu, di samping kita bersikap mawas diri dan berjaga-jaga senantiasa, Tuhan juga menghendaki supaya kita menjadi orang beriman yang setia. Ini adalah pesan Yohanes dalam Kitab Wahyu kepada kita: “Hendaknya engkau setia sampai mati, Sabda Tuhan, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan” (Why 2:10c).

Kesetiaan hidup bermakna ketika segala penyesatan diri itu diolah sedemikian rupa menjadi rahmat dan berkat. Dalam hidup bersama ini selalu ada kata penyesatan. Hubungan sebagai pasangan hidup selalu ada penyesatan. Relasi para suami dan istri berada di ambang kehancuran ketika Handphone memberitakan adanya SMS, WA dan VC gelap. Relasi kaum berjubah di dalam komunitas menyesatkan ketika ada kasak kusuk dan gossip dalam hidup membiara. Penyesatan akan berakhir kalau setiap pribadi menyadari makna kesetiaan. Kesetiaan hidup itu berakar dalam kasih dengan hati yang tidak terbagi selamanya, maka penyesatan hanyalah warna-warni yang semakin menguatkan kesetiaan itu sendiri. Kuatlah dalam kasih maka anda akan setia selamanya, penyesatan pun akan meninggalkanmu dengan sukarela.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply