Homili 7 Maret 2019

Hari Kamis setelah Rabu Abu
Perpetua dan Felisitas
Ul. 30:15-20
Mzm. 1:1-2,3,4,6
Luk. 9:22-25

Kesetiaan sebagai Murid Kristus

Perpetua adalah puteri seorang bangsawan. Ia menikah dan memiliki seorang putera. Ia bersama pelayannya Felisitas mengikuti katekese dan berniat untuk menjadi pengikut Kristus. Mereka hidup pada masa penganiayaan terhadap umat Kristen di bawah pimpinan Septimus Severus. Mereka ditahan bersama Sto. Revocatus, Sto. Saturus, Sto. Saturninus, dan Sto. Secundulus. Sebelum dipenjara Perpetua dan Felisitas sempat dibaptis lebih dahulu. Ketika berada di dalam penjara hingga diadili, ayah Perpetua selalu membujuknya untuk meninggalkan imannya, namun ditolak oleh Perpetua. Mereka mengalami siksaan dengan dimasukkan ke dalam sebuah arena melawan binatang buas dan mengalami luka parah karena digigit hewan buas. Dikisahkan bahwa ketika Felisitas akan diterkam oleh binatang buas, Perpetua melemparkan jubahnya ke arah binatang buas tersebut, seketika itu juga binatang tersebut mundur dan tidak ingin melawan mereka lagi. Mereka lalu menjalani penderitaan terakhir, yaitu dipancung dengan pedang pada 7 Maret 203. Keduanya menjadi martir dan dikenang sebagai santa sampai saat ini oleh umat Kristiani. Kemartiran mereka sejalan dengan perkataan Yesus dalam Injil hari ini: “Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?” (Luk 9:24-25). Tertulianus, seorang Bapa Gereja berkata: “Darah para martir adalah benih yang baik bagi iman kristiani”. Perkataan ini memang sangat tepat. Gereja kita tetap kokoh karena darah segar para martir. Tuhan Yesus sendiri menjadi martir agung yang membuat Gereja kokoh sepanjang masa.

Pada hari ini kita mendengar kisah Injil tentang kemartiran Yesus dan para pengikut-Nya. Penginjil Lukas menceritakan bahwa pada suatu kesempatan Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.” (Luk 9:22). Ia sedang mengatakan kemartiran-Nya dengan terus terang karena Ia setia kepada Bapa dan setia kepada manusia yang ditebus dengan darah-Nya yang mulia. Ia menanggung banyak penderitaan karena kasih. Ia mengalami penolakan, dibunuh dengan keji di atas salib. Ia menunjukkan keilahian-Nya dengan bangkit mulia dari antara orang mati. Yesus sendiri berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13).

Selanjutnya Tuhan Yesus berkata: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku” (Luk 9:23). Perkataan Yesus ini sifatnya imperatif kategoris. Pengikut Yesus Kristus atau orang Kristen sejati harus menyadari panggilannya. Pokoknya dalam bahasa sehari-hari dikatakan ‘mau atau tidak mau, harus mau!’ Perkataan ini juga merupakan urgensi atau keharusan bagi seorang pengikut Kristus. Ada tiga kata kunci yang menjadi urgensinya:

Pertama, Menyangkal diri. Orang Kristen menyangkal diri berarti ia tidak mengindahkan dirinya sendiri. Tentu saja hal ini bukan berarti ia tidak menghargai nilai hidupnya. Ia menghargai nilai hidupnya sebagai sebuah kebaikan tertinggi, bukan bagi dirinya sendiri melainkan bagi kebaikan banyak orang. Misalnya, Tuhan Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia. Caranya adalah dengan sebuah kerelaan untuk mengurbankan diri-Nya bagi semua orang. Ia rela menderita dan wafat di kayu salib. Ini adalah teladan Yesus dalam menyangkal diri-Nya di hadapan manusia. Yesus adalah sang Anak Allah menunjukkan teladan menyangkal diri bagi kita. Bagaimana cara kita menyangkal diri saat ini?

Kedua, memikul salib setiap hari. Salib bagi orang Kristen adalah pengalaman pribadi setiap hari yang berat, bisa diobservasi orang lain tetapi mereka sendiri tidak dapat merasakan apa yang kita rasakan secara pribadi, dan tujuannya adalah demi kebaikan dan kebahagiaan orang lain. Salib adalah penderitaan pribadi setiap hari untuk membahagiakan orang. Salib harian itu tidak dapat diungkapkan tetapi dihayati secara pribadi dan dirasakan oleh orang lain. Tuhan Yesus memikul salib-Nya untuk keselamatan kita. Bagaimana kita menyikapi salib-salib harian?

Ketiga, Mengikuti Yesus. Kita berbangga sebagai orang Kristen. Ini adalah gelar kehormatan bagi semua orang yang mengikuti Yesus Kristus dari dekat. Kata Kristen berarti Kristus kecil, orang yang dikuduskan, diurapi, Mesias kecil di tengah dunia. Ini berarti melalui sakramen pembaptisan kita semua dipanggil untuk menjadi Kristus kecil di dunia saat ini. Apakah kita benar-benar Mesias kecil zaman now dan di tengah dunia?

Ketiga keharusan Kristiani ini turut membimbing kita di dalam masa Prapaskah ini. Hidup kita semakin Kristen ketika kita berusaha hari demi hari semakin serupa dengan Yesus dalam segala hal. Nafasnya Yesus haruslah menjadi nafas kita saat ini di dalam Gereja. Kata-kata Yesus haruslah menjadi kata-kata kita di dalam Gereja. Meminjam perkataan St. Paulus: “Adapun hidupku ini bukannya aku lagi, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku; tetapi hidup yang sekarang aku hidup di dalam tubuh ini, aku hidup di dalam iman kepada Anak Allah, yang mengasihi aku dan yang menyerahkan diri-Nya karena aku.” (Gal 2:20). Kita harus tetap percaya bahwa Yesus beserta kita dan bahwa Dialah yang melakukan segala sesuatu di dalam diri kita.

Kesetiaan kepada Tuhan sebagai seorang murid itu penting dan harus. Hal ini dapat dilakukan melalui jalan kemartiran atau kesaksian hidup. Dasar kemartiran kristiani adalah kasih kepada Tuhan dan sesama manusia. Musa berkata kepada umat Israel: “Karena pada hari ini aku memerintahkan kepadamu untuk mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-Nya, supaya engkau hidup dan bertambah banyak dan diberkati oleh Tuhan, Allahmu, di negeri ke mana engkau masuk untuk mendudukinya.” (Ul 30:16). Orang yang setia kepada Tuhan akan mendapat berkat, sedangkan orang yang tidak setia akan jauh dari berkat Tuhan.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengambil kata-kata yang meguatkan dalam bagian terakhir bacaan pertama: “Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi Tuhan, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya, sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan Tuhan dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni kepada Abraham, Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepada mereka.” (Ul 30:19-20). Mari kita berusaha untuk menjadi pribadi yang setia.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply