Da Mihi Animas Cetera Tolle

Buah permenungan filsafat, teologi dan psikologi, juga berisi homili harian berdasarkan bacaan harian Liturgi Gereja Katolik

  • Home
  • Renungan
  • Bible
  • Teologi
  • Filsafat
  • Psikologi
  • Don Bosco
  • Spiritualitas Pria Katolik
  • Saint a Day

Archives for June 2019

Food For Thought: Belajar dari Elisa

30/06/2019 by P. John Laba SDB Leave a Comment

Dari Elisa saya belajar…

Sosok yang sangat menginspirasi saya pada hari ini adalah Elisa. Dalam bahasa Ibrani: אֱלִישַׁע, ʾĔlîšaʿ berarti “Allah (Elohim)-ku adalah keselamatan”. Dalam bahasa Yunani: Ἐλισσαῖος, Elissaios, juga Ἐλισαιέ, Elisaie; Dalam bahasa Latin: Eliseus. Elisa sendiri merupakan putra Safat yang mengalami panggilan dan pengurapan menjadi murid dan nabi melalui nabi Elia. Dikisahkan dalam I Raja-Raja 19:16-19 bahwa, ia menikmati pekerjaannya dengan membajak lahan dengan menggunakan bantuan 12 pasang lembu di ladang ayahnya di Abel-Mehola. Ia sendiri mengemudikan ke-12 lembu.

Pada saat itu Elia berjalan di dekatnya, sambil melemparkan jubahnya ke bahu Elisa. Ia memahami perilaku nabi Elia dan meminta untuk berpamitan kepada ayah dan ibunya. Elia pun menyetujuinya. Ia masih sempat menyembelih sepasang lembu bajakannya dan memasak dagingnya dengan bajak lembu itu sebagai kayu api. Selanjutnya ia memberikan daging itu kepada orang-orangnya untuk dimakan. Sesudah itu bersiaplah ia, lalu mengikuti Elia dan menjadi pelayannya. Peristiwa ini terjadi sekitar 4 tahun sebelum matinya Ahab. Elisa mengikuti Elia selama lebih kurang 8 tahun, sampai Elia diangkat ke sorga.

Perhatikan baik-baik sikap Elisa ini: Dia membakar alat-alat bajaknya, menyembelih lembu-lembunya, dan mengabaikan warisan keluarganya. Dia meninggalkan semua yang dia kenal dan kasihi. Ia benar-benar menunjukkan kepada kita bahwa semangat pemuridan sejatiu adalah kemampuan untuk meninggalkan zona kenyamanan kita.

Kisah Elisa menjadi pelajaran berharga bagiku dalam mengikuti Yesus sebagai murid-Nya. Elisa memahami panggilan Tuhan melalui nabi Elia. Panggilan ini sifatnya urgen maka mau tidak mau ia harus menyanggupinya. Elisa memiliki komitmen untuk meninggalkan segalanya, katakanlah zona nyaman berupa harta kekayaan. Ia menyembeli, memasak dengan kayu bajak dan membagikan masakannya kepada para pekerjanya. Betapa luhurnya hati seorang murid dan pelayan nabi.

Elisa haruslah menjadi kita. Kita harus berani memahami panggilan Tuhan dan pemuridan. Kita butuh komitmen yang luhur untuk mengabdi Tuhan sebagai orang merdeka dan menunjukkannya dalam kasih yang agung dan luhur.

PJ-SDB

Homili Hari Minggu Biasa ke-XIII/C – 2019

30/06/2019 by P. John Laba SDB Leave a Comment

Hari Minggu Biasa XIII/C
1Raj. 19:16b,19-21
Mzm. 16:1-2a,5,7-8,9-10,11
Gal 5:1,13-18
Luk. 9:51-62

Menguji semangat pemuridan

Saya pernah menghadiri misa syukur pancawindu tahbisan seorang imam, beliau berkarya sebagai misionaris di tanah misi. Ia membagikan pengalaman-pengalaman pelayanannya di tanah misi bersama para petugas awam yang tangguh sebagai bagian dari rasa syukurnya atas panggilan imamat. Mereka benar-benar menjadi rekan kerja yang membentuk sebuah team kerja untuk melayani umat di sana. Hal yang sangat menguatkannya adalah semangat pemuridan dari para awam yang menjadi rekan kerjannya ini. Mereka siap melayani, mengurbankan dirinya untuk kemajuan Gereja di tanah misi. Mereka selalu menjadi orang nomor satu dalam melayani, meskipun banyak kali ada saja resiko yang harus mereka hadapi. Ada pengalaman-pengalaman pahit yang mereka alami bersama. Baginya, kunci dari semangat pemuridan ini adalah keteladanan hidup. Ia sebagai misionaris tak kenal lelah membaktikan dirinya untuk kemajuan Gereja, dan para rekan kerjanya melihat dan mengalamai keindahan sebuah pelayanannya. Ia menunjukkan semangat pemuridan sejati dengan rela berkorban, meninggalkan segalanya karena kasih kepada Tuhan dan sesama.

Pengalaman sang misionaris ini adalah pengalaman Gereja karena Gereja kita adalah Gereja Misioner. Seorang gembala tidak pernah bekerja sendiri tetapi selalu bekerja bersama umat selaku domba gembalaannya. Tentu saja ini bukanlah hal yang baru karena Yesus sang gembala baik benar-benar membaktikan diri bagi domba-domba-Nya. Yesus sang gembala baik membutuhkan manusia sebagai rekan kerja baik sebagai murid maupun rasul yang siap diutus. Seorang pribadi menjadi murid karena ada guru yang mengajar, membimbing dan mengarahkannya. Seorang pribadi menjadi rasul karena ada seorang yang siap untuk mengutusnya demi sebuah pelayanan tertentu. Dalam konteks hidup menggereja, kita memiliki Yesus sang Guru sejati yang siap untuk mengutus para murid dan utusan untuk tugas pelayanan tertentu. Para murid dan utusan ini tidak berjalan sendiri tetapi mereka mengikuti jejak sang guru yaitu Kristus sendiri. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan sang Guru.

Saya mengingat Paus Fransiskus. Ia pernah memberikan sebuah homili yang indah dan menarik pada tanggal 28 Mei 2013 yang lalu, tentang semangat pemuridan sejati. Ia mengatakan bahwa dalam konteks pemuridan sejati, kita dapat menemukan dua tipe murid di dalam Gereja katolik. Tipe murid pertama, orang-orang yang menjadi murid atau mengikuti Yesus karena faktor budaya. Mereka berpikir bahwa sudah turun temurun nenek moyang mereka mengikuti Yesus Kristus maka mereka pun memiliki status quo sebagai murid. Bagi Paus, tantangannya adalah murid tipe pertama ini cenderung untuk lebih mengejar status sosial dan kekuasaan yang lebih tinggi di dalam Gereja. Tipe murid kedua adalah ada ada orang yang berpikiran bahwa menjadi murid Kristus adalah kesempatan untuk berkarir di dalam Gereja. Berkaitan dengan hal ini Paus Fransiskus mengatakan, “Banyak orang Kristen, tergoda oleh roh dunia, berpikir bahwa mengikuti Yesus itu baik karena dapat menjadi sebuah karir, mereka bisa maju, namun ini ‘bukan roh-Nya’”. Murid Kristus bukanlah sebuah karier tetapi sebuah pelayanan dan pemberian diri tanpa pamrih.

Lalu apa yang paling penting dalam semangat pemuridan? Paus Fransiskus mengatakan: “Mengikuti Yesus hanya seperti ini: pergi bersama-Nya karena kasih, berada di belakang-Nya: dalam perjalanan yang sama, dan melewati sebuah jalan yang sama.” Sebab itu sebagai Gereja, Paus mengharapkan supaya Gereja menunjukkan semangat pemuridannya dengan memohon rahmat ini: “Mengikuti Yesus dalam jalan yang Dia telah tunjukkan kepada kita dan yang telah Dia ajarkan kepada kita. Ini memang indah, karena Dia tidak pernah meninggalkan kita sendirian. Tidak pernah! Dia selalu bersama kita”.

Bacaan–bacaan Kitab Suci pada Hari Minggu ini mengarahkan kita untuk menjadi murid sejati. Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini menunjukkan diri-Nya sebagai seorang murid sejati dari Bapa. Ia juga menjadi Rasul Bapa yang datang ke dunia untuk melakukan kehendak Bapa dengan sempurna yakni menghadirkan Kerajaan Allah dalam Sabda dan Karya-Nya. Sebab itu Lukas mengisahkan: “Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem” (Luk 9:51). Yesus mengarahkan pandangan ke Yerusalem, kota damai, tempat Ia menunjukkan kasih-Nya sampai tuntas bagi para murid-Nya. Dia tidak akan kembali lagi ke Galilea tetapi maju terus, apapun kesulitan dan tantangan bahkan kematian menantikan-Nya. Yesus benar-benar menjadi murid sekaligus rasul sejati dari Bapa. Ia meninggalkan kenyamanan dan kejayaan Galilea menuju Yerusalem. Maka ciri khas murid sejati adalah berani meninggalkan segala sesuatu.

Yesus menunjukkan teladan sebagai murid dan rasul kepada mereka semua yang mengikuti-Nya dari dekat. Ia menyiapkan para Rasul ke suatu desa di Samaria namun mereka mengalami penolakan karena orang-orang Samaria tahu bahwa Yesus sedang dalam perjalanan menuju ke Yerusalem. Tentu saja para murid-Nya menunjukkan reaksinya berupa ungkapan rasa marah atas sikap orang Samaria ini. Namun Yesus tetap mengarahkan mereka untuk pergi ke desa yang lain karena mereka akan diterima di sana. Lihatlah bahwa Yesus mengajarkan supaya kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan melainkan dengan kebaikan. Sikap para murid adalah sikap yang sangat manusiawi. Dan murid sejati itu harus berani berbuat baik bukan membalas kejahatan dengan kejahatan.

Selanjutnya, Yesus menunjukkan tiga sosok murid dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem. Sosok pertama menyatakan rasa sukanya untuk mengikuti Yesus. Ia berkata: “Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi.” (Luk 9:57). Namun Yesus mengetahui pribadi dan motivasinya untuk mengikuti Yesus sehingga Ia berkata kepadanya: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” (Luk 9:58). Harta kekayaan selalu menjadi penghalang dalam pemuridan sejati. Mengapa? Sebab di mana harta berada, hati juga berada di sana. Sosok kedua, Yesus melihat seorang dan mengajaknya untuk mengikuti-Nya dari dekat. Namun orang ini masih memberi alasan kelekatannya pada orang tuanya, terutama hendak menguburkan ayahnya yang meninggal dunia. Namun, Yesus dengan tegas mengatakan: “Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana.” Urgensinya kerajaan Allah menjadi alasan utama pemuridan sejati. Sosok ketiga, seorang yang berkeinginan untuk mengikuti Yesus namun ia masih hendak meminta ijin dari keluarganya. Kepada orang ini Yesus mengatakan bahwa ia tidak layak untuk Kerajaan Allah. Pemuridan sejati berarti berani meninggalkan segalanya, terutama hal-hal yang nyaman dan menyenangkan dan belajar untuk menerima hal yang ekstrim.

Kisah Injil tentang pemuridan sejati ini kiranya sejalan dengan kisah nabi Elia dan Elisa dalam bacaan pertama. Pada waktu itu Elisa sedang bekerja di ladangnya dengan mengemudi dua belas pasang lembu yang menggemburkan ladangnya. Nabi Elia tanpa banyak bicara, mendekatinya dan melemparkan jubahnya sebagai nabi kepada Elisa. Elisa berusaha untuk mengerti panggilan ini, mengejar nabi Elia sambil mengemukakan alasan-alasan tertentu tentang panggilan ini, namun Elia tetap pada pendiriannya: “Baiklah, pulang dahulu, dan ingatlah apa yang telah kuperbuat kepadamu.” (1Raj 19:20). Elisa menunjukkan semangat pemuridan sejatinya dengan ‘mengikuti Elia dan menjadi pelayannya.’ (1Raj 19:21). Semangat Elisa sebagai murid sejati dan pelayan adalah meninggalkan segala pekerjaannya, semua ternak dikurbankan bahkan kayu bajaknya dijadikan kayu api. Daging ternaknya itu diberikannya kepada para pekerjanya. Ini benar-benar radikal. Semangat pemuridan itu berarti kemampuan untuk meminggalkan segalanya untuk kemuliaan nama Tuhan. Di sini kita belajar dari Elisa yang mengikuti nabi Elia, dan para murid yang mengikuti Yesus untuk meninggalkan segalanya demi mengabdi bagi Allah seorang diri saja.

Seorang murid sejati perlu menyadari dirinya sebagai seorang yang merdeka, bebas dalam mengikuti Yesus dari dekat. Kemerdekaan adalah sebuah panggilan. Semangat ini akan menjadi nyata dalam pelayanan kasih kepada Tuhan dan sesama. Seorang murid sejati akan mencari hal-hal yang terbaik di dalam diri sesama manusia. Roh Kudus memampukannya untuk menjadi murid sejati yang mampu mengasihi seperti Tuhan mengasihi. Semangat pemuridan bukan untuk mencari kuasa dan karier tetapi berani meninggalkan segalanya untuk mengasihi. Bagaimana dengan kita?

PJ-SDB

Food For Thought: Tentang hati…

28/06/2019 by P. John Laba SDB Leave a Comment

Tentang hati itu tidak dapat dibohongi

Saya pernah diundang untuk merayakan misa syukur di sebuah lingkungan. Ketua seksi liturgi lingkungan menyiapkan buku-buku tertentu untuk dipakai seperti Tata Perayaan Ekaristi, Puji Syukur dan Alkitab. Di dalam buku Puji Syukur saya menemukan sebuah pembatas buku dengan gambar hati, dan di bawah gambar hati itu terdapat sebuah tulisan tangan: “Tentang hati itu tidak dapat dibohongi”. Saya hanya tersenyum sambil menyiapkan perayaan misa. Saya menduga, sang penulis hendak menjelaskan tentang hati sebagai simbol kasih. Memang orang tidak dapat dapat berbohong ketika dia sedang jatuh cinta dan mengekspresikannya dengan ikon hati atau gambar hati.

Sebagai pengguna WhatsApp, kita juga sering melihat dan menggunakan emoji hati dalam aneka warna yakni merah, hijau, kuning, oranye, biru, ungu, dan hitam. Masing-masing emoji ini memiliki arti tertentu dan perlu kita pahami karena mewakili emosi jiwa kita: Hati berwarna merah melambangkan cinta penuh persahabatan. Hati berwarna oranye melambangkan rasa cinta setengah hati, relasi hanya sebatas teman biasa saja. Hati berwarna kuning menunjukkan cinta itu laksana emas, sebab itu hati berwarna kuning melambangkan cinta kasih dan kemurnian hati. Ada rasa bahagia, penuh sukacita. Hati berwarna hijau melambangkan gaya hidup dan kedekatan dengan alam, juga hati penuh harapan. Hati berwarna biru melambangkan keyakinan penuh dan kesetiaan dalam hidup. Hati berwarna ungu melambangkan kasih sayang penuh kepedulian. Hati berwarna hitam melambangkan kesedihan dan penderitaan. Emoji aneka warna hati merupakan ungkapan perasaan atau emosi jiwa kita kepada sesama manusia. Kita adalah bagian dari hidup mereka dan mereka adalah bagian dari hidup kita.

Pada hari ini kita merayakan Hari Raya Hati Amat Kudus Yesus. Tentu saja Hati Yesus adalah segalanya, melebihi emoji dan ungkapan apapun. Yesus adalah cinta kasih yang benar bukan cinta palsu. Dia memberi dirinya secara total bagi kita. Tuhan Yesus pernah menampakkan diri-Nya kepada Santa Margaret Mary Alacoque dan berkata: “Lihatlah Hati itu, yang telah mengasihi umat manusia dan memberikan segala- galanya kepada mereka, bahkan menyerahkan dirinya sediri sebagai jaminan kasih-Nya, tetapi menerima dari sebagian besar umat manusia, bukan balasan kasih, melainkan rasa tidak berterimakasih, dan penghinaan kepada Sakramen Kasih.” Yesus mengasihi sampai tuntas meskipun manusia hanya mengasihi setengah hati kepada-Nya karena selalu diselimuti dosa dan salah. Yesus mengasihi kita sampai tuntas maka kita hendaknya serupa dengan-Nya.

Pada hari ini kita mengulangi doa ini: “Yesus yang lemah lembut dan rendah hati, jadikanlah hatiku seperti hati-Mu. Amin.”

PJ-SDB

Food For Thought: Kejujuran laksana kompas

27/06/2019 by P. John Laba SDB Leave a Comment

Kejujuran itu laksana kompas

Kita mengakhiri hari ini dengan Food For Thought berjudul ‘Kejujuran sebagai kompas’. Pada saat menulis FFT ini, Mahkamah Konstitusi sedang membacakan keputusan sidangnya tentang sengketa hasil pemilihan Presiden dan wakil Presiden Republik Indonesia. Semua mata dan telinga terarah pada peristiwa nasional ini. Kita semua seakan sedang berhadapan dengan sebuah pertanyaan besar: “Apakah hidup jujur itu?”

Kita mengingat kata-kata yang menghiasi semua media, termasuk di dalam ruang sidang MK sendiri adalah ‘ada kecurangan yang Terstruktur, Sistematif, Massif dan Brutal’ (TSMB). Semua dalil dan alat bukti memang disertakan pemohon namun para Hakim dengan jujur dan adil tidak menemukan bukti yang jelas tentang kecurangan dimaksud. Kata kunci para hakim adalah: “Dalil pemohon tidak beralasan”. Pada akhirnya pikiran kita kembali diarahkan kepada perkataan tentang kejujuran. Nah, siapakah yang paling jujur di tengah suasana yang dikatakan penuh dengan kecurangan.

Hidup sebagai pribadi yang jujur itu baik dan luhur. Pada saat ini memang sangat sulit untuk menemukan seorang yang benar-benar jujur. Ada saja ketidakjujuran yang berjalan bersama kejujuran. Para pasutri bisa saja tidak jujur satu sama lain dalam relasi dan juga dalam hal keuangan, meskipun mereka berusaha mengedapankan sikap jujur. Para imam, biarawan dan biarawati juga bisa tidak jujur dalam menghayati nasihat-nasihat injil untuk menjadi pribadi yang taat, miskin dan murni, meskipun mereka berusaha untuk hidup jujur. Orang muda, anak-anak dan remaja juga tidak jujur dengan orang tua dan gurunya, meskipun mereka berusaha untuk menjadi jujur. Maka kita semua sedang berada di dalam bahtera yang sama.

Saya mengingat William Faulkner (1897-1962). Beliau adalah seorang penulis dan peraih nobel sastra dari Amerika Serikat. Beliau pernah mengatakan: “Jangan pernah takut untuk mengangkat suara anda untuk kejujuran dan kebenaran serta kasih sayang melawan ketidakadilan, kebohongan dan keserakahan.” Kejujuran itu laksana kompas yang membimbing kita ke jalan yang benar.

Kejujuran sebagai kompas mengantar kita untuk berjumpa dan bersatu dengan sesama yang lain. Kita berusaha untuk membahagiakan sesama kita. Khalil Gibran pernah berkata: “Kejujuran adalah sebuah kebaikan terdalam yang mengajarkan kita untuk bersyukur pada hidup kita sendiri dan membagi kebahagiaan tersebut dengan orang-orang.”

Hidup sebagai pribadi yang jujur itu indah dan baik adanya sebab ketika kita jujur, dengan sendirinya kita mengubah hidup sesama manusia yang tidak jujur.

PJ-SDB

Homili 27 Juni 2019

27/06/2019 by P. John Laba SDB Leave a Comment

Hmm Kalkulasi Melulu…

Banyak di antara kita yang memiliki kebiasaan melakukan ‘reuni angkatan’ atau ‘temu kangen’ angkatan ke sekian dari sebuah sekolah tertentu. Konon ada satu angkatan yang melakukan acara yang sama. Di sela-sela acara penuh sukacita selama weekend itu, mereka juga sempat memperbincangkan kehidupan seorang teman seangkatan yang tidak sempat hadir. Perhatikan sharing bersama dalam kata berikut ini: “Hidupnya serba perhitungan ya”, demikian kesan dari seorang teman seangkatan dalam acara temu kangen atau reuni angkatan ini. Seorang yang lain menambahkan: “Ia dari dulu belum berubah juga, sebab itu ia tidak rela mengikuti reuni angkatan kita”. Mereka yang lain hanya mengangguk, menyimak dan memilih no comment. Mungkin ini salah satu kebiasaan yang keliru dalam reuni angkatan karena tanpa sadar mereka menceritakan hidup pribadi seorang teman yang tidak hadir bersama mereka. Sebenarnya itu dosa!

Namun, poin saya adalah kebiasaan membuat perhitungan atau kalkulasi tertentu di dalam hidup ini. Tentu saja ada yang membuat kalkulasi karena melihat kemampuan dirinya dan juga dukungan ekonomi yang tidak memadai sehingga ia tidak berpartisipasi. Ada juga yang mungkin memiliki alasan lain yang menghalanginya untuk berpartisipasi dalam acara temu kangen seperti ini. Tetapi ada juga kebiasaan orang tertentu yang suka menghitung-hitung apa yang sudah diberikannya, disumbangkannya bagi lembaga atau pribadi tertentu. Bahkan lebih dari itu ada yang membuat perhitungannya dengan Tuhan.

Perhatikan ekspresi ini dalam Injil: “Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?” (Mat 7:22). Ekpresi ini menandakan bahwa orang sering lupa Tuhan. Apa yang diterimanya berasal dari Tuhan bukan berasal dari dirinya. Reaksi Tuhan terhadap orang seperti ini adalah: “Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Mat 7:23).

Pada hari ini kita belajar untuk menjadi murah hati seperti Tuhan sendiri. Hitung-hitungan itu baik adanya tetapi murah hati itu jauh lebih baik. Hidup kita bermakna bukan karena kita adalah orang kaya melainkan karena kita murah hati sehingga membuat orang lain menjadi kaya. Hanya dengan demikian Tuhan Yesus yang meskipun kaya tetapi rela menjadi miskin sehingga membuat kita semakin kaya di hadirat-Nya.

Tuhan memberkati.

PJ-SDB

Next Page »

Tentang Saya

Saya seorang hamba Tuhan yang melayaniNya siang dan malam, anggota Serikat Salesian Don Bosco yang bergabung sejak tahun 1989. Kini saya dipanggil Pater John dan melayani di Jakarta

Artikel Terbaru

  • Food For Thought: Kultur kehidupan bukan kematian 10/12/2019
  • Food For Thought: Menghibur dan Membahagiakan 10/12/2019
  • Food For Thought: Dari Kekosongan menuju Kepenuhan 09/12/2019
  • Homili Hari Minggu Adventus ke-II/A – 2019 08/12/2019
  • Food For Thought: Dari Maria Kita Belajar 07/12/2019

Situs Lainnya

  • Salesian Don Bosco
  • Vatican
  • Renungan Audio – Daily Fresh Juice
  • Renungan Pria Katolik

Arsip

  • December 2019 (10)
  • November 2019 (33)
  • October 2019 (28)
  • September 2019 (14)
  • August 2019 (23)
  • July 2019 (25)
  • June 2019 (22)
  • May 2019 (40)
  • April 2019 (24)
  • March 2019 (21)
  • February 2019 (24)
  • January 2019 (34)
  • December 2018 (32)
  • November 2018 (40)
  • October 2018 (26)
  • September 2018 (22)
  • August 2018 (41)
  • July 2018 (28)
  • June 2018 (17)
  • May 2018 (13)
  • April 2018 (17)
  • March 2018 (14)
  • February 2018 (8)
  • January 2018 (17)
  • December 2017 (23)
  • November 2017 (31)
  • October 2017 (29)
  • September 2017 (38)
  • August 2017 (28)
  • July 2017 (18)
  • June 2017 (24)
  • May 2017 (33)
  • April 2017 (18)
  • March 2017 (40)
  • February 2017 (23)
  • January 2017 (22)
  • December 2016 (23)
  • November 2016 (31)
  • October 2016 (24)
  • September 2016 (36)
  • August 2016 (36)
  • July 2016 (32)
  • June 2016 (27)
  • May 2016 (42)
  • April 2016 (25)
  • March 2016 (41)
  • February 2016 (45)
  • January 2016 (31)
  • December 2015 (26)
  • November 2015 (24)
  • October 2015 (60)
  • September 2015 (44)
  • August 2015 (49)
  • July 2015 (56)
  • June 2015 (56)
  • May 2015 (57)
  • April 2015 (46)
  • March 2015 (52)
  • February 2015 (51)
  • January 2015 (58)
  • December 2014 (46)
  • November 2014 (43)
  • October 2014 (49)
  • September 2014 (46)
  • August 2014 (42)
  • July 2014 (39)
  • June 2014 (39)
  • May 2014 (38)
  • April 2014 (44)
  • March 2014 (41)
  • February 2014 (46)
  • January 2014 (55)
  • December 2013 (43)
  • November 2013 (42)
  • October 2013 (46)
  • September 2013 (31)
  • August 2013 (33)
  • July 2013 (32)
  • June 2013 (36)
  • May 2013 (33)
  • April 2013 (34)
  • March 2013 (40)
  • February 2013 (33)
  • January 2013 (33)
  • December 2012 (36)
  • November 2012 (33)
  • October 2012 (50)
  • September 2012 (40)
  • August 2012 (41)
  • July 2012 (35)
  • June 2012 (30)
  • May 2012 (33)
  • April 2012 (36)
  • March 2012 (47)
  • February 2012 (42)
  • January 2012 (38)
  • December 2011 (35)
  • November 2011 (31)
  • October 2011 (2)

Bulan

  • December 2019
  • November 2019
  • October 2019
  • September 2019
  • August 2019
  • July 2019
  • June 2019
  • May 2019
  • April 2019
  • March 2019
  • February 2019
  • January 2019
  • December 2018
  • November 2018
  • October 2018
  • September 2018
  • August 2018
  • July 2018
  • June 2018
  • May 2018
  • April 2018
  • March 2018
  • February 2018
  • January 2018
  • December 2017
  • November 2017
  • October 2017
  • September 2017
  • August 2017
  • July 2017
  • June 2017
  • May 2017
  • April 2017
  • March 2017
  • February 2017
  • January 2017
  • December 2016
  • November 2016
  • October 2016
  • September 2016
  • August 2016
  • July 2016
  • June 2016
  • May 2016
  • April 2016
  • March 2016
  • February 2016
  • January 2016
  • December 2015
  • November 2015
  • October 2015
  • September 2015
  • August 2015
  • July 2015
  • June 2015
  • May 2015
  • April 2015
  • March 2015
  • February 2015
  • January 2015
  • December 2014
  • November 2014
  • October 2014
  • September 2014
  • August 2014
  • July 2014
  • June 2014
  • May 2014
  • April 2014
  • March 2014
  • February 2014
  • January 2014
  • December 2013
  • November 2013
  • October 2013
  • September 2013
  • August 2013
  • July 2013
  • June 2013
  • May 2013
  • April 2013
  • March 2013
  • February 2013
  • January 2013
  • December 2012
  • November 2012
  • October 2012
  • September 2012
  • August 2012
  • July 2012
  • June 2012
  • May 2012
  • April 2012
  • March 2012
  • February 2012
  • January 2012
  • December 2011
  • November 2011
  • October 2011

Copyright © 2019 · Beautiful Pro Theme on Genesis Framework · WordPress · Log in