Food For Thought: Di atas langit masih ada langit!

Jangan senang dulu bro!

Saya pernah mendengar teguran persaudaraan dari seorang yang selalu ‘dituakan’ kepada seorang saudara muda yang selalu banyak bicara, serasa dia adalah ‘ensiklopedi berjalan’. Teguran persaudaraan itu sederhana, bunyinya: ‘Jangan senang dulu bro!’ Memang kata-kata ini biasa saja seakan tanpa arti tetapi sebenarnya sangat berarti dan dapat mengubah secara total hidup seseorang di hadapan Tuhan dan sesama. Manusia cepat merasa puas dengan pencapaiannya padahal setiap pencapaian itu sebenarnya masih merupakan awal untuk sebuah keberhasilan yang konstan. Mengapa demikian? Sebab hari ini anda berhasil, belum tentu besok anda tetap dalam posisi berhasil dan lebih berhasil lagi.

Tuhan Yesus mengetahui titik kelemahan manusia maka Ia selalu tampil sebagai educator ulung. Ketika para murid kembali dari perutusannya mereka begitu bangga. Tanpa malu-malu mereka berkata kepada Yesus: “Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu.” (Luk 10:17). Mereka berpikir sudah hebat karena dengan hanya menyebut nama Yesus, setan-setan kewalahan bahkan kalah total. Mereka lupa bahwa Yesuslah yang hebat bukan mereka sebagai manusia. Mereka hanya utusan, hamba-hamba yang melakukan apa yang harus mereka lakukan.

Tuhan Yesus meluruskan pikiran mereka dengan berkata: “Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit. Sesungguhnya Aku telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kamu. Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga.” (Luk 10:18-20). Nah sukacita dan rasa bangga yang benar adalah kesetiaan melakukan tugas pelayanan dan perutusan sebab hanya dengan demikian maka pintu surga juga terbuka bagi kita. Maka prioritas pertama dalam pelayanan adalah Tuhan bukan diri kita.

Seharusnya kita belajar untuk malu ketika kita merasa bahwa diri kita adalah pusat segalanya. Bukan diri kita melainkan Tuhan. Dia harus semakin besa dan kita hanya abdi-Nya semakin kecil. Kejatuhan seorang pelayan umat adalah ketika dipuji-puji sebagai sosok yang bertanggung jawab dan mempersatukan umat. Sebenarnya Tuhan yang mempersatukan bukan pelayan umat. Pelayan umat itu abdi Tuhan. Kejatuhan seorang gembala adalah ketika terlalu percaya pada pujian umat bahwa homilinya bagus, misa kudusnya cepat, karya sosialnya luar biasa. Umat harus di antar gembalanya kepada Tuhan bukan kepada dirinya sebagai sang gembala. Maka baik pelayan Tuhan maupun para gembala, yang selalu menjadi nomor satu adalah Tuhan. Sungguh terlalu dan tidaklah bijaksana ketika pelayan Tuhan dan para gembala merasa sudah ada di dalam surga. Jangan bangga dulu bro, di atas langit sana masih ada langit!

Hal yang sama terjadi ketika ada persekutuan doa tertentu. Sang worship leader dan rekan-rekannya berpikir bahwa mereka sudah menjadi serupa dengan ‘malaikat’ yang bernyanyi di surga dalam persekutuan doa. Pembawa firman juga berapi-api membawakannya dan berpikir bahwa semua yang hadir belum atau tidak memahami firman yang dibawakannya. Dan yang terjadi seakan anggota persekutuan doa bersatu dengan Dia yang disembah, ternyata setelah persekutuan doa, nama Tuhan tidak disebutkan lagi, hanya ‘saya dan saya saja!’ Betapa lemahnya dan rapuhnya hidup dan pelayanan kita di hadirat Tuhan. Ingat bro, jangan bangga dulu, di atas langit masih ada langit! Pada hari ini kita perlu berubah secara radikal.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply