Homili 28 Oktober 2019

St. Simon dan St. Yudas
Ef. 2:19-22
Mzm. 19:2-3,4-5
Luk. 6:12-19

Kekuatan sebuah panggilan

Saya selalu mengingat sharing seorang bapa tentang kehidupan keluarganya dalam sebuah acara rekoleksi bersama keluarga. Ia bercerita: “Ada satu hal yang selalu saya ingat sepanjang hidup saya sebagai seorang ayah bagi anak-anak dan suami bagi istri saya, yakni selalu berpegang teguh pada komitmen pribadi pernikahan saya.” Ia menjelaskan bahwa apa yang merupakan kesepakatan bersama di dalam keluarga tetaplah ia pegang teguh dan setia menjalaninya. Misalnya, kesepakatan untuk saling berjabatan tangan sebagai pasutri, baginya merupakan sebuah komitmen setiap hari. Ia tidak pernah merasa bosan untuk menjabat tangan istrinya sebelum dan sesudah bekerja. Kontak antar tangan memiliki kekuatan untuk mencairkan situasi yang beku di dalam keluarga sebagai pasutri. Ia merasa bahwa kadang-kadang sangat sulit untuk berjabatan tangan, namun karena komitmen pribadi terhadap pasangan maka ia setia melakukannya. Pengalaman sederhana yaitu saling berjabatan tangan ini sangat memiliki daya transformatif yang luar biasa. Ia merasa selalu diperbaharui setiapa saat menyentuh tangan istrinya. Ini sebuah pengalaman sederhana tetap sungguh bermakna.

Pada hari ini kita merayakan pesta Santu Simon dan Santu Yudas, Rasul Yesus Kristus. Simon adalah seorang Kanaan. Ia dikenal dengan sapaan orang Zelot yang berarti orang yang rajin, orang yang tekun, orang yang semangatnya meluap-luap. Ia memiliki komitmen dan integritas yang tinggi dalam mempelajari dan menaati hukum Taurat, dan dalam mengikuti Tuhan Yesus Kristus. Ia wafat sebagai martir di Persia pada tahun 107M. Yudas dikenal sebagai Tadeus, saudara dari Yakobus muda. Namanya Tadeus berarti yang berani. Namanya juga menunjukkan integritas dan komitmennya dalam mengikuti Tuhan Yesus Kristus. Kita dapat mengenal jati dirinya dalam suratnya yang singkat (hanya 25 ayat). Ia memberi motivasi, peneguhan kepada Gereja muda untuk setia Tuhan Yesus Kristus. Ia meninggal dunia sebagai martir pada abad pertama di Persia. Kedua Santu ini merupakan bagian penting dalam panggilan dan pilihan Tuhan Yesus sebagaimana kita dengar dalam bacaan Injil hari ini. Mereka mewujudkan panggilan mereka dalam kesetiaan untuk mengasihi Yesus dan Gereja-Nya sampai tuntas.

Bagaimana Tuhan memanggil dan memilih para Rasul atau Utusan-Nya? Para penginjil memberi kesaksian yang sama bahwa Yesus mendaki sebuah bukit, sebuah tempat yang lebih tinggi untuk berdoa. Ia berdoa dalam waktu yang tidak singkat, tetapi berdoa semalam-malaman kepada Allah. Sikap doa Yesus ini menunjukkan persekutuan-Nya yang begitu mendalam dengan Allah Bapa di Surga. Ia benar-benar mengangkat hati dan pikiran-Nya supaya tertuju hanya kepada Bapa di dalam Surga. Doa ini memang penting bagi Yesus sebelum mengambil keputusan-keputusan yang penting untuk menyelamatkan manusia. Misalnya ketika Dia hendak memilih kedua belas Rasul-Nya dari banyak orang yang berbondong-bondong mengikuti-Nya. Buah dari doa-Nya semalam-malaman-Nya adalah memilih nama-nama ini sebagai Rasul-Rasul-Nya: “Simon yang juga diberi-Nya nama Petrus, dan Andreas saudara Simon, Yakobus dan Yohanes, Filipus dan Bartolomeus, Matius dan Tomas, Yakobus anak Alfeus, dan Simon yang disebut orang Zelot, Yudas anak Yakobus, dan Yudas Iskariot yang kemudian menjadi pengkhianat.” (Luk 6:14-16).

Satu hal yang penting di sini adalah, Yesus tidak hanya memanggil dan memilih para rasul-Nya dan selesai. Ia selalu mendampingi dan berjalan bersama mereka. Ada perjumpaan yang menyelamatkan yang nantinya terus-menerus akan diwartakan oleh para Rasul. Tawaran kerasulan yang dikehendaki Yesus adalah ‘menyelamatkan semua orang’. Tuhan Yesus sendiri menunjukkan kuasa-Nya dalam kata dan karya. Orang yang datang kepada-Nya mengalami keselamatan. Tuhan melepaskan mereka dari belenggu dosa dan memberikan keselamatan dan keabadian. Pengalaman indah ini nantinya menjadi kerasulan dari para pilihan Yesus. Mereka akan mengajar dan menyembuhkan. Mereka akan menyelamatkan seperti Yesus sendiri karena mereka sungguh-sungguh melakukan pekerjaan Allah yang sudah dimulai oleh Yesus sendiri.

St. Paulus dalam Bacaan Pertama mempertegas misi Yesus yakni menyelamatkan semua orang. Dia tidak memilah-milah para pengikut-Nya. Lebih jelas Paulus mengatakan: “Kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.” (Ef 2:19-20). Dalam Yesus kita semua bersaudara. Memang masih banyak orang yang masih melihat perbedaan-perbedaan di dalam hidup menggereja. Mereka masih berpegang teguh pada suku, bangsa, bahasa, ras, agama, dan budaya. Padahal sesungguhnya di dalam Yesus, tidak ada lagi perbedaan di antara kita. Setiap perbedaan adalah pintu masuk kepada persekutuan dan persaudaraan.

Santu Paulus juga mengatakan: “Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.” (Ef 2:21-22). Tuhan Yesus membangun Gereja sebagai Tubuh Mistik-Nya bukan sekedar sebuah bangunan tanpa makna. Gereja sebagai Bait Allah yang kudus, bukan sekedar susuan batu-batu buatan tangan manusia. Sebagai Gereja, Tuhan juga membentuk kita sebagai tempat kediaman Allah dan Bait Roh Kudus. Konsekuensinya adalah kita sadar diri sebagai Bait Roh Kudus. Sebab itu kita perlu dan harus menghargai diri kita dan dengan demikian dapat menghargai hidup sesama di hadapan Tuhan. Kita menguduskan diri kita dan dengan demikian dapat menguduskan sesama manusia. Kekuatan sebuah panggilan terungkap dalam kemampuan kita untuk mengubah diri kita menjadi kudus dan menguduskan sesama yang lain dalam kata dan tindakan nyata kita. Hidup Kristiani bermakna ketika kita berusaha untuk semakin serupa dengan Yesus Kristus dalam kata dan tindakan nyata hidup kita.

Apa yang kita lakukan untuk menunjukkan kekuatan sebuah panggilan hidup? Kita mengingat pada hari istimewa ini kita merayakan hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 untuk menjadi satu Nusa, satu Bangsa dan satu Bahasa yaitu Indonesia. Saya teringat pada sebuah tulisan inspiratif: “Indonesia adalah satu Nusa, satu Bangsa dan satu Bahasa bukan satu Agama.” Kekuatan panggilan kita terletak pada kemampuan untuk menjadi satu dalam persaudaraan sejati.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply