Homili 11 Juli 2020

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XIV
Peringatan Wajib St. Benediktus
Yes. 6:1-8
Mzm. 93:1ab,1c-2,5
Mat. 10:24-33

Kita lebih berharga di mata Tuhan

Pada hari ini kita mengenang santu Benediktus. Kita mendoakan semua orang yang memakai nama Benediktus. Lebih khusus lagi kita mengenang Paus Emeritus, Benediktus ke-XVI (Latin: Papam Emeritum Benedictus PP. XVI). Semoga dengan doa-doa santu Benediktus, dapat member berkat berlimpah kepada Paus Emeritus Benediktus ke-XIV dan Benediktus yang lainnya. Nama Benediktus berarti diberkati. Santo Benediktus dikenal luas ketika mendirikan biaranya yang sederhana pada abad ke enam. Biaranya itu laksana surga yang penuh kedamaian, dihiasi dengan doa dan kerja. Beliau menulis aturan hidup bersama yang dikenal sebagai Regula Sancti Benedicti yang ditulisnya pada tahun 516. Regula ini bertujuan untuk menolong para saudara yang mengikuti jalan kebijaksanaan Tuhan berdasarkan pada tiga kaul yaitu ketaatan, stabilitas dan pertobatan hidup. Ia berkata kepada setiap anggota komunitasnya: “Untuk berkembang secara spiritual kita harus berhenti dan mendengar tidak saja dengan telinga kita, tapi juga dengan hati kita.” Para anggota komunitas harus seimbang dalam hidup doa dan karya. Ia mengatakan: “Kemalasan adalah musuh terbesar jiwa.” Sebab itu orang harus tekun berdoa dalam hidupnya. Cita-cita dan perjuangan hidupnya adalah supaya ada kesungguhan supaya untuk menghargai martabat manusia. Manusia itu berharga di mata Tuhan.

Pada hari ini kita mendengar bacaan-bacaan Kitab Suci yang sangat menginspirasi kita untuk menghargai nilai hidup manusia. Di bacaan pertama kita mendengar kisah panggilan nabi Yesaya. Dikisahkan bahwa pada suatu kesempatan, Yesaya melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang. Ujung jubahnya memenuhi bait suci. Dalam penglihatannya itu terdapat para Serafim yang berseru: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” (Yes 6:3). Yesaya merasa takut dan juga merasa tidak layak di hadapan Tuhan Yang Kudus. Ia berkata: “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam.” (Yes6:5). Namun Tuhan menyempurnakannya dan ia siap untuk diutus untuk mewartakan sabda dan karya Tuhan.

Kisah panggilan nabi Yesaya adalah kisah hidup kita. Masing kita juga berbibir najis. Kita orang berdosa namun Tuhan memiliki rencana untuk menguduskan kita sebab kita amat berharga di hadirat-Nya. Dia menguduskan dan mengutus kita juga untuk mewartakan Sabda-Nya. Banyak kali kita merasa minder, tidak layak di hadirat Tuhan sebab kita orang berdosa. Perasaan seperti ini memang harus kita miliki supaya kita juga dapat sadar diri dan bertobat. Tanpa ada perasaan sebagai orang berdosa maka kita pun akan tetap menikmati dosa yang sama. Dengan demikian, kita juga tidak layak untuk menjadi utusan. Kita tetap tinggal sebagai pribadi berbibir najis. Kita berbibir najis ketika kita salah menggunakan lidah kita. Dalam bertutur kata kita sering berbicara lebih dahulu baru berpikir. St. Yakobus mengatakan: “Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.” (Yak 3:6).

Dalam bacaan Injil Tuhan Yesus mengingatkan kita untuk menghargai nilai kehidupan manusia. Ia mengungkapkan dalam perumpamaan: “Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya. Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya.” (Mat 10:24-25). Lihatlah dalam kehidupan kita setiap hari. Betapa banyak orang menilai dari isi dompetnya, dari profesinya dan lupa harkat dan martabat manusia. Cukuplah seorang murid sama dengan gurunya, seorang hamba sama dengan tuannya ‘sebab yang lebih itu berasal dari si jahat’ (Mat 5:37). Yang lebih adalah pembohongan publik, keserakahan, menganggap rendah dan kesombongan lainnya.

Nilai kehidupan manusia itu menjadi kekuatan dalam mewartakan sabda. Kalau saja orang merasa diri dihargai maka ia dapat mengaktualisasikan dirinya dalam mewartakan Sabda. Dia akan berani, percaya diri dan mewartakan Sabda secara terang-terangan. Kalau tidak ada penghargaan terhadap diri manusia maka dengan sendirinya orang itu tidak akan berani untuk melayani. Yang ada hanyalah rasa minder dan malu untuk bersaksi tentang Tuhan dan Sabda-Nya. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah.” (Mat 10:27). Keberanian untuk mewartakan Sabda membawa kita kepada kemampuan untuk bersaksi tentang Tuhan yang satu dan sama. Berkaitan dengan ini Yesus berkata: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 10:32-33).

Pada hari ini kita patut bersyukur karena kita berharga di mata Tuhan dan hendaknya kita berharga juga di mata sesama. Salin menghargai sebagai sesama manusia itu perlu dan harus. Tuhan mengatakan: “Karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit” (Mat 10:31), tetapi kita menganggap sesama setingkat dengan isi kandang. Pikirkanlah sepanjang hari ini, ada di antara kita yang sudah mengatakan kepada sesamanya: ‘monyet, bangsat, burung, anjing, kuda…” Padahal Tuhan mengatakan bahwa kita itu lebih berharga dari burung pipit. Mintalah maaf kepada orang yang disakiti hari ini karena disamakan dengan hewan. St. Benediktus, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB