Homili 24 Juli 2020

Hari Jumat Pekan Biasa ke-XVI
Yer. 3:14-17
MT Yer. 31:10,11-12ab,13
Mat. 13:18-23

Panggilan untuk bertobat

Saya teringat pada Marie Von Ebner-Eschenbach (1830-1916). Penulis berkebangsaan Austria ini pernah berkata tentang pertobatan: “Apakah pertobatan itu? Kesedihan mendalam atas kenyataan bahwa kita adalah kita sebagaimana adanya.” Pertobatan sejati itu kiranya seperti ini. Ada perasaan sedih secara mendalam karena kenyataan bahwa kita memang orang berdosa. Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengajarkan bahwa dalam diri setiap orang, perasaan bersalah menghasilkan kerinduan untuk menjadi lebih baik; inilah yang disebut penyesalan. Kita mengalami penyesalan ketika melihat pertentangan antara cinta Allah dan dosa-dosa kita. Kita mengalami kepedihan hati oleh ingatan akan dosa-dosa yang telah kita lakukan; lalu kita berniat untuk mengubah hidup menjadi lebih baik dan menaruh harapan kita kepada pertolongan Allah. (KGK, 1430-1433, 1490). Pertobatan sejati itu selalu berhubungan dengan perasaan dalam hati bahwa kita ini benar-benar orang berdosa dan mau merasakan kerahiman Tuhan.

Nabi Yeremia tampil dengan menghadirkan wajah Allah Yang Maharahim kepada orang-orang berdosa. Kerahiman Tuhan ditunjukkan dengan mengingatkan umat Israel di tanah asing supaya mereka bertobat, sebab Tuhan sendiri yang akan mengembalikan mereka ke Yerusalem. Melalui Yeremia Tuhan bersabda: “Bertobatlah, hai anak-anak yang murtad, karena Aku telah menjadi tuan atas kamu! Aku akan mengambil kamu, seorang dari setiap kota dan dua orang dari setiap keluarga, dan akan membawa kamu ke Sion.” (Yer 3:14) Bangsa Israel mengalami pengasingan di Babilonia karena perbuatan dosa mereka. Pertobatan menjadi pintu masuk bagi keselamatan, dalam hal ini mereka siap untuk diantar kembali ke Yerusalem.

Tuhan tidak hanya meminta mereka untuk bertobat. Ia siap untuk mengangkat para gembala sesuai dengan hati Tuhan. Para gembala mampu mengasihi dengan kasih Tuhan, siap untuk menaburkan benih-benih sabda yang terbaik di lahan yang baik pula sebab mereka itu menggembalakan dengan pengetahuan dan pengertian. Situasi ini akan mengubah wajah Yerusalem yang suram menjadi ceriah dan penuh kemuliaan. Tuhan berkata: “Pada waktu itu Yerusalem akan disebut takhta Tuhan, dan segala bangsa akan berkumpul ke sana, demi nama Tuhan ke Yerusalem, dan mereka tidak lagi akan bertingkah langkah menurut kedegilan hatinya yang jahat.” (Yer 3:17).

Panggilan kepada pertobatan membuka wawasan kita akan tujuan akhir hidup kita. Pada saat ini kita semua adalah orang berdosa yang sedang berziarah di dunia menuju ke rumah Bapa. Tuhan memberi kepada kita begitu banyak kesempatan untuk bertobat. Kita memiliki sakramen tobat sebagai sakramen penyembuhan hanya kesadaran orang untuk mengaku dosa semakin rendah. Tidak ada lagi perasaan sebagai orang berdosa. Kebiasaan mengulangi dosa yang sama dirasa biasa-biasa saja. Menyedihkan! Ada keengganan untuk mendekati seorang gembala yang berpengetahuan dan pengertian untuk mengakui dosa. Ada kecenderungan untuk mau mengakui dosa secara langsung kepada Tuhan, bukan melalui seorang imam. Mungkin orang-orang ini lupa akan perkataan Yesus yang bangkit mulia kepada para murid-Nya: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:21-23) Para imam dengan tahbisan imamatnya menerima Roh Kudus untuk melayani sakramen sebagai tanda keselamatan, salah satunya adalah sakramen tobat. Mengapa anda malu atau enggan mengakui dosa-dosamu? Bukankah Tuhan kita Maharahim?

Apa yang harus kita lakukan untuk mewujudkan pertobatan sejati?

Pertama, Butuh keterbukaan hati kita kepada Tuhan untuk mendengar, merenung dan melakukan Sabda-Nya. Sabda Tuhan adalah pelita bagi Langkah kaki kita (Mzm 119:105). Sabda Tuhan mengubah totalitas hidup kita. Sebab itu kita berusaha untuk menjadi lahan yang baik bagi pertumbuhan benih sabda sehingga berbuah melimpah.

Kedua, sikap mawas diri. Tuhan selalu menasihati kita untuk berjaga-jaga dalam hidup kita. Kita berjaga-jaga sebab musuh yakni iblis seperti singa yang mengaum. St. Petrus berkata: “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama.” (1Ptr 5:8-9).

Ketiga, Yang paling penting adalah hati yang bersih. Tuhan Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.” (Mat 5:8). Supaya benih Sabda Tuhan jangan jatuh di pinggir jalan, di tanah yang berbatu dan di antara semak duri maka butuh hati yang tembus pandang, suci dan murni supaya dapat melihat Allah sebagai kasih.

Pada hari ini kita boleh bertanya dalam diri kita masing-masing: Apakah kita sungguh mau bertobat? Kalau mau bertobat, maka silakan bertobatlah dan baharuilah dirimu. St. Theresia dari Kalkuta pernah berkata: “Beberapa orang kudus menggambarkan diri mereka sebagai penjahat yang mengerikan karena mereka melihat Tuhan, mereka melihat diri mereka sendiri dan mereka melihat betapa berbedanya mereka dengan Tuhan.” Bagaimana dengan anda? Anda juga dipanggil untuk bertobat!

PJ-SDB