Homili 11 Agustus 2020

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XIX
St. Klara
Yeh. 2:8-3:4
Mzm. 119:14,24,72,103,111,131
Mat. 18:1-5,10,12-14

Merenungkan spiritualitas sang Pewarta Sabda

Sejak kemarin, Hari Senin, Pekan Biasa yang ke-XIX, kita membaca, mendengar dan merenungkan sabda Tuhan dalam Bacaan Pertama dari Kitab Nabi Yehezkiel. Dia berasal dari keluarga imam sehingga disapa Imam Yehezkiel. Beliau adalah anak Busi dari negeri Kasdim, di tepi sungai Kebar. Ia mendapat panggilan Tuhan untuk bernubuat pada masa pemerintahan Raja Yoyakhin. Perlu kita ketahui bahwa nama Yehezkiel (dalam Bahasa Ibrani: Y’khezqe’l) berarti Allah itu kuat. Beliau dikenal sebagai salah satu nabi Yahudi yang bernubuat pada masa pembuangan sekitar tahun 593-571 SM. Dari namanya ini, kita menemukan bagaimana ia berusaha untuk menegur, menasihati dan menghiburkan bangsa Israel dalam pembuangan sebab Allah itu kuat dan akan menguatkan mereka.

Kita mendengar dalam bacaan pertama hari ini, Tuhan menghendaki agar Yehezkiel sebagai nabi perlu taat dan tetap berani untuk mewartakan sabda Tuhan apapun situasinya. Tentu saja ini bukan hal yang gampang bagi sang nabi sebab situasi pewartaannya adalah bagi orang-orang Israel yang berada di pembuangan, mereka yang saat itu disebut sebagai kaum pemberontak. Untuk itu Yehezkiel harus bertobat sehingga mampu mewartakan Sabda Tuhan. Proses transformasi radikal ini akan membantu Yehezkiel untuk mewartakan Sabda Tuhan.

Apa yang dilakukan dengan pertobatannya di hadapan Tuhan? Kita mendengar Tuhan berkata kepadanya: “Hai anak manusia, dengarlah apa yang Kufirmankan kepadamu; janganlah memberontak seperti kaum pemberontak ini. Ngangakanlah mulutmu dan makanlah apa yang Kuberikan kepadamu.” (Yeh 2:8). Yehezkiel disapa sebagai anak manusia untuk membedakan dirinya sebagai manusia yang fana di hadirat Tuhan yang abadi. Tuhan memintanya supaya jangan memberontak seperti bangsa Israel yang memberontak melawan Tuhan. Untuk mewujudkan pertobatannya itu, Yehezkiel diminta Tuhan untuk membuka dirinya kepada Sabda Tuhan. Ketika itu Yehezkiel melihat tangan yang terulur kepadanya dengan memegang dua gulungan kitab. Kedua gulungan Kitab itu ditulisi timbal balik dengan isinya adalah ratapan, keluh kesah dan rintihan.

Tuhan meminta Yehezkiel untuk menyantap sabda dan mewartakannya kepada bangsa Israel yang memberontak kepada-Nya. Tuhan berkata: “Hai anak manusia, makanlah apa yang engkau lihat di sini; makanlah gulungan kitab ini dan pergilah, berbicaralah kepada kaum Israel.” (Yeh 3:1). Sabda Tuhan haruslah menjadi santapan yang menguatkan pribadinya untuk dapat mewartakannya kepada orang lain. Hal yang sama terjadi dalam hidup kita. Apabila Sabda Tuhan tidak mandarah daging dalam hidup kita maka kiat tidak akan dapat mewartakannya kepada orang lain. Yehezkiel mengalami dan mengakui bahwa sabda Tuhan itu sungguh mengubah seluruh hidupnya. Ia bersaksi: “Aku memakannya dan rasanya manis seperti madu dalam mulutku.” (Yeh 3:3). Sabda yang manis dan memiliki daya transformatif ini menguatkan Yehezkiel supaya mewartakan Sabda kepada bangsa Israel atau yang dilabel sebagai kaum pemberontak.

Dari pengalaman pribadi Yehezkiel ini kita melihat nilai-nilai yang ditunjukkannya kepada kita. Yehezkiel sebagai keturunan imam menunjukkan kebajikan kerendahan hati untuk menjalani panggilan Tuhan sebagai pewarta Sabda. Spiritualitas yang ditunjukkanya adalah merendahkan diri untuk menerima sabda Tuhan dan siap sedia untuk mewartakannya kepada kaum pemberontak. Tentu saja hal ini tidaklah mudah. Yehezkiel harus bertobat supaya bisa mengubah hidup kaum pemberontak. Tanpa pertobatan Yehezkiel tidak mampu mengubah kehidupan kaum pemberontak. Yehezkiel juga terbuka untuk menerima sabda dan mewartakannya. Tanpa keterbukaan hati, ia tidak dapat mewartakan sabda yang berisi nyanyian ratapan, keluh kesah, dan rintihan yang sifatnya transformatif terhadapan bangsa Isarel.

Dari Yehezkiel, kita belajar untuk rendah hati. Penginjil Matius menghadirkan sosok Yesus yang menunjukkan diri-Nya lemah lembut dan rendah hati. Sosok Yesus ini yang harus menjadi bagian dari hidup kita. Kita belajar untuk rendah hati supaya bisa membaktikan diri kepada sesama, dan dalam situasi yang sama kita dapat mengubah hidup mereka. Kerendahan hati dapat terjadi kalau kita dapat bertobat. Berkaitan dengan ini, Yesus mengatakan dengan jelas dalam Injil hari ini: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” (Mat 18:3-5).

Di samping spiritualitas pewarta sabda yang berakar pada kerendahan hati dan pertobatan, Tuhan Yesus mengajar kita untuk menjadi gembala yang baik. Spiritualitas pewarta sabda haruslah menjadi serupa dengan gembala baik. Bahwa sabda yang diwartakan itu dapat mengubah hidup orang-orang yang tersesat untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan. Spiritualitas pewarta sabda yang serupa dengan gembala baik akan senantiasa mencari satu yang tersesat untuk diselamatkan. Sabda Tuhan tidak hanya diwartakan kepada orang benar yang tidak memerlukan pertobatan tetapi lebih-lebih kepada ‘satu’ yang tersesat supaya selamat. Optio fundamental sang pewarta sekaligus gembala baik adalah mencari dan menyelamatkan satu yang tersesat sebab Tuhan tidak menghendaki seorang anakpun hilang.

Tuhan kita sungguh baik dan luar biasa. Dia selalu mencari dan menyelamatkan ‘kaum pemberontak’ dengan para utusan dan melalui sabda-Nya. Para utusan sendiri diharapkan bertobat karena kuasa Sabda supaya dapat mempertobatkan dan menyelamatkan ‘satu’ yang tersesat. Kita sebagai Gereja haruslah demikian, optio fundamental pelayanan Gereja adalah jiwa sang gembala baik yang selalu siap untuk mencari satu yang tersesat untuk menyelamatkannya. Mari kita memohon semoga nabi Yehezkiel selalu menginsiprasi kita untuk bertobat, menjadi gembala baik yang setia mewartakan sabda kepada semua orang dan mengubah hidup mereka. Sabda Tuhan sungguh mengubah hidup kita. Kita memohon supaya Santa Klara mendoakan kita untuk patuh dan setia kepada Sabda Tuhan dan menjadi rendah hati.

P. John Laba, SDB