Homili 15 Agustus 2020

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XIX
Yeh. 18:1-10,13b,30-32
Mzm. 51:12-13,14-15,18-19
Mat. 19:13-15

Berkat bagimu anakku

Saya memulai homili hari ini dengan mengutip perkataan Marthin Luther King, seorang pejuang berkulit hitam di Amerika Serikat tempo doeloe. Ia pernah berkata begini: “Aku punya mimpi bahwa empat anak-anakku suatu hari akan hidup di sebuah bangsa dimana mereka tidak akan dipandang dari warna kulit mereka, tapi dari karakter mereka. Saya juga mempunyai mimpi dimana suatu hari anak laki-laki dan perempuan kulit hitam akan bergandengan tangan dengan anak laki-laki dan perempuan kulit putih.” Kita dapat membayangkan situasinya saat itu. Betapa sulitnya memiliki warna kulit yang berbeda dengan orang-orang lain padahal ketika lahir ke dunia, seorang anak tidak pernah meminta atau melakukan tawar menawar tentang warna kulit kesukaannya. Di masa kini orang tua bukan lagi khawatir tentang warna kulit. Salah satu yang menjadi kekhawatiran orang tua adalah kebebasan beragama pada diri anak-anak. Betapa tidak anak-anak mulai dibunuh karakter dan semangat toleransinya ketika orang seenaknya mempertentangan lagu balonku, naik-naik ke puncak gunung, dan sekarang ini ‘salib’ tersamar dalam simbol HUT kemerdekaaan RI ke-75. Hal-hal seperti ini membuat anak-anak tidak berani menggunakan simbol keagamaan seperti salib karena pasti akan dibully habis-habisan oleh orang-orang tertentu yang tidak menggunakan dengan baik akal budinya.

Politikus dan Presiden ke-35 dari Amerika Seikat John F. Kennedy (1917-1963) pernah berkata, “Anak-anak adalah sumber daya dunia yang paling bernilai, dan mereka harapan terbaik untuk masa depan.” Kesadaran seperti ini yang memotivasi banyak orang tua untuk memperhatikan masa depan anak-anaknya. Para orang tua bekerja keras untuk menolong anak-anaknya sehingga memiliki masa depan gemilang. Satu hal yang ada di dalam pikiran para orang tua adalah kesenangan dan kebahagiaan ketika melihat anak-anaknya sukses dalam hidup dan karier. Bahwa semua pekerjaan mereka sebagai orang tua mencapai hasil yang baik yang tercermin dalam diri anak-anak. Anak-anak harus memiliki masa depan yang baik karena mereka adalah sumber daya dunia yang paling bernilai.

Pada hari ini kita berjumpa dengan Yesus yang sedang berada di tengah-tengah para murid-Nya. Ketika itu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus dan memohon supaya Yesus memberkati, dengan meletakkan tangan-Nya atas mereka serta mendoakan. Saya mengagumi orang-orang yang merasa membutuhkan Yesus sehingga membawa anak-anak untuk diberkati dan didoakan. Saya mengagumi para orang tua sepanjang zaman yang menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik pertama sehingga membawa anak-anaknya untuk menjadi lebih dekat lagi dengan Tuhan Yesus, seraya memohon berkat dan doa-Nya. Saya bangga dengan para orang tua yang berusaha supaya anak-anaknya selalu bersama Yesus satu kali untuk selama-lamanya. Orang tua menjadi jembatan antara anak-anak dan Tuhan. Luar biasa!

Selanjutnya, ketika itu para murid Yesus memarahi orang-orang itu. Tentu saja kita yang membacanya merasa kaget dengan sikap para murid ini. Mereka berpikir bahwa Yesus adalah milik mereka dan orang-orang lain berada di luar. Para murid adalah gambaran diri kita saat ini yang sadar tetapi masih sengaja menghalangi orang lain untuk bertemu dengan Yesus. Bisa saja para murid adalah para orang tua yang melarang anak-anaknya untuk bertemu dengan Yesus dalam berbagai kegiatan keagamaan. Para murid adalah pengurus Gereja yang seakan melebihi para gembala dengan birokrasi yang berbelit-belit dan menjadikan gereja seperti supermarket karena politik uang. Akibatnya anak-anak yang miskin tidak bisa menerima sakramen tertentu di dalam Gereja. Banyak anak-anak yang mengalami pelecehan seksual, korban pedofilia dan tindakan lainnya yang sangat menghalangi mereka untuk bertemu dengan Yesus.

Lalu apa reaksi dari Yesus?

Tuhan Yesus mengamati orang-orang yang tidak ragu-ragu mempercayakan anak-anak mereka kepada-Nya, dan melihat tindakan para murid yang menghalangi anak-anak itu dengan memarahi orang-orang yang mengantar anak-anak itu kepada Yesus. Di saat seperti ini Tuhan Yesus menunjukkan kuasa-Nya dengan membentuk oara murid untuk sadar akan pemuridan mereka. Ia berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 19:14). Tuhan Yesus mengingatkan bahwa anak-anak itu memiliki kebebasan dan mana tak seorang pun berhak untuk menghilangkan atau menguranginya. Anak-anak itu polos, masih transparan dan patut diikuti oleh orang dewasa untuk tetap tulus kepada Tuhan. Setiap orang harus merasa diri sebagai anak-anak Tuhan, membuka dirinya kepada Tuhan dan membiarkan dirinya dibimbing, diberkati dan didoakan Tuhan Yesus. Sikap bathin seperti ini yang turut menjadikan kita sebagai pemilik Kerajaan Sorga. Tuhan Yesus juga meletakkan tangan-Nya atas mereka. Ini adalah berkat melimpah bagi anak-anak.

Dari Yesus kita belajar supaya memberkati dan menjadi berkat bagi anak-anak. Saya senang dan bangga melihat para orang tua yang memberi tanda salib di dahi anak-anaknya sebelum tidur atau saat keluar dari rumah. Mereka tidak hanya memeluk dan mencium anak, tetapi memberkati. Ini adalah kebiasaan yang baik yang dialami di rumah sendiri. Sebagai imam, saya juga memberkati anak-anak setelah perayaan Ekaristi. Kadang anak-anak maunya disentuh dahinya dan pastor membuat tanda salib. Kalau tidak seperti itu mereka tetap berdiri di tempat. Ini menjadi tantangan di masa covid-19, di mana dengan social distancing dan tidak ada kegiatan di gereja maka tidak ada berkat bagi anak-anak.

Kita juga belajar bagaimana Yesus sangat menghargai anak-anak yang datang kepada-Nya. Dia meletakan tangan dan mendoakan mereka. Ini menjadi teguran bagi para orang tua dan siapa saja yang selalu menggunakan kekerasan, represif dalam mendidik anak-anak. Mereka menggunakan tangan bukan untuk memberkati tetapi untuk memukul, mencubit dan menampar. Mereka menggunakan mulut bukan untuk memberikan kata peneguhan tetapi untuk mencaci maki anak sendiri dan anak orang. Miris dan menyedihkan! Yesus tidak mengajar kita seperti ini.

Apa yang harus kita lakukan?

Kita butuh pertobatan radikal. Kita ibarat kaum Israel yang diberi label ‘kaum pemberontak’. Namun melalui nabi Yehezkiel, Tuhan berkata: “Bertobatlah dan berpalinglah dari segala durhakamu, supaya itu jangan bagimu menjadi batu sandungan, yang menjatuhkan kamu ke dalam kesalahan. Buangkanlah dari padamu segala durhaka yang kamu buat terhadap Aku dan perbaharuilah hatimu dan rohmu!” (Yeh 18:30-31). Tugas kita di hadapan anak-anak masa kini adalah mengusahakan keadilan dan kebenaran dan menjauhkan diri dari noda dosa. Prinsip yang terbaik adalah memberkati dan mendoakan anak-anak bukan menyakiti mereka. Para orang tua, berlakulah adil terhadap anak-anakmu. Berkatilah anak-anamu sekarang dan selamanya.

P, John Laba, SDB