Homili 7 Oktober 2020 – Maria Ratu Rosario

Hari Rabu, pekan Biasa ke-XXVII
PW. Santa Perawan Maria, Ratu Rosario
Gal. 2:1-2,7-14
Mzm. 117:1,2
Luk. 11:1-4

Merenung Tentang Rosario Suci

Pada hari ini seorang sahabat menulis kata-kata Santu Padre Pio ini kepada saya. Bunyi kata-kata orang kudus ini adalah: “Datanglah kepada Bunda Maria. Pandanglah dengan saksama dan cintailah dia! Berdoalah rosario setiap hari tanpa henti. Katakanlah dengan bijak dan sebisa mungkin! Jadikanlah Rosario sebagai jiwa dari doamu. Janganlah pernah lelah untuk berdoa, karena hal itu paling penting bagimu. Doa-doamu hendaklah mengguncangkan Hati Allah, dan doa berisikan rahmat-rahmat yang engkau diperlukan!” Dari beberapa kalimat ini yang ada, saya sangat tertarik dengan perkataan ‘Jadikanlah Rosario sebagai jiwa dari doamu’. Perkataan ini sangat sederhana tetapi sangat mengesankan.

Mengapa saya mengatakan Rosario suci ini sangat mengesankan? Rosario telah mengubah kehidupan banyak orang termasuk orang-orang kudus. Saya mengingat Paus Leo ke-XIII pernah berkata: “Rosario adalah bentuk doa yang paling bermutu dan sarana yang paling manjur untuk memperoleh kehidupan kekal. Ini adalah obat untuk semua kejahatan kita, akar dari semua berkat kita. Tidak ada sarana doa lain yang lebih bermutu dari Rosario suci.” St. Yohanes Paulus II sudah mengalami dan membuktikannya. Ketika masih kecil Karol Józef Wojtyła sering dibawa oleh ibunya Emilia Kaczorowska untuk berdoa rosario. Kadang-kadang ia merasa jenuh saat berdoa rosario tetapi karena ibunya sangat tekun berdoa Rosario maka ia merasa bahwa Rosario sungguh mengubah hidupnya. Kita mengenal orang kudus modern ini memiliki semboyan kepausan: “Totus Tuus (Sepenuhnya milik-Mu) yang menggambarka devosinya kepada Bunda Maria. Selama masa kepausannya, ia bahkan pernah menulis Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae (Rosario Perawan Maria), pada tanggal 16 Oktober 2002.

Sambil mengenang Bunda Maria Ratu Rosario, kita tidak bisa melupakan peristiwa masa lalu yang tetap diingat sebagai bagian dari sejarah Gereja. Gereja tidak akan melupakan tanggal 7 Oktober 1571, saat di mana Paus Pius ke-V meminta Gereja Katolik di Eropa untuk mendoakan doa Rosario untuk mendukung Don Yuan untuk memimpin pasukan Kristen untuk melawan pasukan Kesultanan Utsmaniyah yang dipimpin Halifasha. Don Yuan adalah orang Austria yang memiliki devosi yang besar kepada Bunda Maria. Bersama pasukannya mereka berangkat ke Lepanto, di pantai Yunani dengan bekal rosario di tangan kanan dan tangan kiri memegang senjata mereka berhasil mengalahkan pasukan Kesultanan Utsmaniyah. Halifasha bahkan tewas dalam pertempuran ini. Ini menjadi momen penting di mana Bunda Maria tidak hanya bergelar Ratu Rosario tetapi juga penolong umat Kristiani.

Pertempuran yang terjadi di Lepanto ini bukanlah sebuah perang agama, antara agama Kristen dan Islam. Ini adalah perang yang terjadi karena Kesultanan Utsmaniyah yang pemeluknya beragama Islam mau berekspansi ke Eropa yang mayoritas beragama Kristen. Banyak orang yang keliru dan gagal paham sehingga berpikir bahwa ini adalah perang agama. Bukan! Ini adalah perang yang diakibatkan oleh keinginan untuk berekspansi dalam kuasa politik ke negeri-negeri yang baru. Terlepas dari hal ini, focus kita adalah peran Bunda Maria untuk menghalau ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ini ke Eropa. Rosario Suci mengubah hidup manusia dan mengubah situasi sosial politik sebagaimana pernah dialami oleh Gereja.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini meneguhkan kita semua. Tuhan Yesus mengajar para murid untuk mendoakan doa Bapa kami. Doa Bapa kami merupakan bagian penting ketika kita mendoakan doa Rosario. Intensi-intensi dalam doa Rosario juga ada dalam intensi doa Bapa kami. Yesus mengajar doa ini: “Apabila kamu berdoa, katakanlah: Bapa, dikuduskanlah nama-Mu; datanglah Kerajaan-Mu. Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan dosa kami, sebab kamipun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan.” (Luk 11:2-4). Kita tidak henti-henti mendoakan Rosario untuk intensi-intensi dalam doa Bapa Kami yang mengubah hidup pribadi dan keluarga dan juga masyarakat kita.

Santu Paulus dalam bacaan pertama mengisahkan berbagai kesulitan dalam Gereja perdana. Ada pertentangan antara pandangan tentang bersunat dan tidak bersunat. Paulus juga berbeda pendapat dengan Petrus atau yang disapanya Kefas. Dalam situasi seperti ini, Paulus tetap berkomitmen dalam kerasulannya sesuai dengan semangat Yesus yakni pelayanan kepada kaum papa dan miskin. Ia berkata: “Hanya kami harus tetap mengingat orang-orang miskin dan memang itulah yang sungguh-sungguh kuusahakan melakukannya.”(Gal 2:10). Dalam situasi yang sulit, kerasulan tidak bisa dikurbankan. Orang-orang miskin selalu ada dan menjadi optio fundamental pelayanan Gereja.

Bunda Maria selalu dekat dengan kaum papa miskin. Padanya kaum papa miskin bersandar dan menyampaikan doa-doa permohonannya kepada Tuhan dalam Rosario melalui perantaraannya. Anda dan saya juga selalu mendoakan rosario untuk intensi-intensi yang sama. Mari kita melanjutkan doa dan devosi ini kepada Bunda Maria. Saya mengakhiri refleksi hari ini dengan mengutip perkataan Paus Benediktus ke-XVI berikut ini: “Dengan Rosario, kita membiarkan diri kita dibimbing oleh Maria, sang model iman, dalam merenungkan misteri-misteri Kristus, dan hari demi hari kita dibantu untuk mencerna Injil, sehingga Injil membentuk kehidupan kita semua.” Bunda Maria Penolong Umat Kristiani, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB