Homili 10 November 2020

Hari Selasa, pekan Biasa ke-XXXII
Peringatan Wajib S. Leo Agung
Tit. 2:1-8,11-14
Mzm. 37:3-4,18,23,27,29
Luk. 17:7-10

Hamba tak berguna!

Adalah St. Agustinus. Dalam bukunya Confessiones ia menyebut ibunya Santa Monika sebagai ‘Serva servorum tuorum’ artinya ‘Pelayan hamba-hamba-Mu’ (Conf IX,9.22). Agustinus mau mengenang ibunya sebagai hamba-hamba Allah. Perkataan Agustinus ini mirip dengan ucapan Paus Gregorius I (menjabat 590-604). Beliau yang menggunakan gelar Servus Servorum Dei. Paus menggunakannya sebagai wujud kerendahan hatinya bagi Uskup Agung Konstantinopel, Yohanes IV Nesteutes atau Yohanes Sang Ahli Puasa, yang dianugerahi gelar “Batrik Oikumene” (Batrik Sejagat) oleh Kaisar Bizantium: gelar “Hamba Segala Hamba Allah” yang sangat merendah ini menjadi penawar klaim kekuasaan dan keutamaan dari pihak-pihak yang hendak menandingi Uskup Roma. Para paus yang menjabat sesudah Paus Gregorius sesekali menggunakan gelar ini. Sejak abad ke-IX, penggunaan gelar ini mulai teratur.

Semangat mengabdi atau semangat sebagai hamba. Santa Monika adalah pelayan para hamba Tuhan. Para Paus adalah hamba segala hamba Allah. Mereka adalah gembala-gembala yang dipilih untuk melayani semua orang. Pelayanan yang dimaksud pelayanan lintas batas, diperuntukkan bagi semua orang. Pelayanan tanpa menghitung untung dan rugi atau bahkan mencari keuntungan. Pelayanan yang tulus menggambarkan semangat sang hamba yang menghamba atau mengabdi tanpa membuat suatu perhitungan apapun.

Pada hari ini saya tertarik dengan perkataan dalam Injil: “Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17:10). Saya mendapat insight yang menarik yang mendorong saya untuk setia dalam panggilan dan pelayanan. Kesetiaan dalam panggilan ditunjukkan dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harus kita kerjakan sampai tuntas. Setelah menyelesaikannya kita tetap berprinsip sebagai hamba-hamba yang tidak berguna, yang melakukan apa yang harus dilakukan. Hamba ini benar-benar hamba yang merdeka dan tulus hati.

Menjadi pertanyaan bagi kita adalah, apakah kita sudah menjadi hamba yang tulus? Banyak kali umat takut untuk melayani di Gereja. Ketakutan itu ada dasarnya yakni faktor pribadi, keluarga, pekerjaan dan lain sebagainya. Ada orang yang seolah-olah menghamba atau mengabdi tetapi ternyata menjadi parasit. Melayani untuk mendapat keuntungan, melayani untuk korupsi di dalam kelompok kategorial atau territorial. Orang-orang ini tentu lupa akan perkataan Tuhan: “Seorang pekerja itu patut mendapat upahnya” (Luk 10:7). Ada orang melayani untuk mencari nama dan popularitas.

Mari kita memandang Yesus. Dia adalah Hamba yang sungguh-sungguh mengabdi: Kristus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp 2:5-8). Tuhan Yesus adalah Anak Allah yang mengambil rupa seorang hamba. Mengapa kita begitu sulit untuk memiliki hati sebagai hamba? Tuhan kasihanilah kami yang lemah dan rapuh ini.

P. John Laba, SDB