Homili 9 Januari 2021

Hari Sabtu setelah penampakan Tuhan
1Yoh. 5:14-21
Mzm 149:1-2.3-4.5-6a.9b
Yoh. 3:22-30

Sukacitaku penuh

Adalah Alan Cohen. Beliau adalah seorang penulis berkebangsaan Amerika. Ia pernah berkata: “Janganlah egois untuk bahagia. Ini adalah tujuan tertinggi Anda. Sukacita Anda adalah kontribusi terbesar yang dapat Anda buat untuk hidup di planet ini. Hati yang damai dengan pemiliknya memberkati semua orang yang disentuhnya.” Perkataan sang penulis ini memang sangat sederhana tetapi sangat aktual dalam hidup kita setiap hari. Ada pribadi-pribadi tertentu yang egois untuk bahagia. Bagi mereka, bahagia itu milik pribadi dan tidak perlu dibagikan kepada sesama manusia. Pribadi-pribadi itu kelihatan bahagia tetapi sebenarnya mereka tidak bahagia. Kebahagiaan itu haruslah kita bagikan kepada sesama yang lain. Sukacita dan rasa bahagia juga bukan milik pribadi. Sukacita dan rasa bahagia adalah sumbangan terbesar setiap orang bagi orang lain yang menghuni planet ini. Barangkali hal inilah yang sering kita lupakan.

Dalam masa pandemi ini kita semua terpanggil untuk mewujudkan sukacita bersama orang lain. Apa yang dapat kita lakukan? Sikap saling berbagi sebagai wujud kepedulian terhadap sesama yang sangat menderita. Gerakan-gerakan kemanusiaan untuk menolong sesama manusia itu lintas batas, artinya tidak memandang latar belakang suku, agama, ras dan golongan. Semua manusia itu sama dan bersaudara. Saya teringat pada Joseph Campbell (1904-1987). Beliau adalah seorang penulis Amerika Serikat, pernah berkata: “Masuklah dengan sukacita ke dalam kesedihan dunia. Kita tidak bisa menyembuhkan kesedihan dunia, tapi kita bisa memilih untuk hidup dalam kebahagiaan.” Dunia kita sedang bersedih dengan covid-19 maka tugas kita adalah membawa kebahagiaan bukan kecemasan, sukacita bukan dukacita.

Sosok inspiratif bagi kita hari ini adalah Yohanes Pembaptis. Dia tidak hanya menyiapkan kedatangan Mesias dengan seruan tobat dan pembaptisan di sungai Yordan. Diri Yohanes juga menjadi sebuah kesaksian hidup yang luar biasa. Apa yang ditunjukkannya kepada kita? Dia sosok yang rendah hati di hadapan Yesus sang Mesias. Ia sendiri berkata: “Tidak ada seorangpun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari sorga. Kamu sendiri dapat memberi kesaksian, bahwa aku telah berkata: Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya. Yang empunya mempelai perempuan, ialah mempelai laki-laki; tetapi sahabat mempelai laki-laki, yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh. Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” (Yoh 3:27-30).

Hal yang menarik perhatian kita tentang kerendahaan hati Yohanes Pembaptis adalah sukacitanya menjadi penuh. Sukacitanya menjadi penuh karena perutusannya mencapai puncak kesempurnaan. Sejak ia melonjak kegirangan dalam rahim ibunya, kini sukacitanya penuh karena ia dapat membaptis Yesus sang Mesias, Putera Allah. Dialah yang memperkenalkan Yesus kepada para muridnya bahwa Yesus adalah Anak Domba Allah. Dialah yang merelakan para muridnya untuk mengikuti Yesus dan menjadi murid-murid Yesus yang pertama.Hanya orang rendah hati seperti Yohanes Pembaptis yang sukacitanya menjadi penuh. Segala sukacitanya hanya bagi Tuhan. Mari kita berusaha untuk mewujudkan sukacita kita menjadi penuh dalam Tuhan di era pandemi ini.

Tuhan memberkati kita semua.

P. John Laba, SDB