Food For Thought: Keluargaku adalah segalanya

Keluargaku adalah segalanya!

Saya pernah memberi rekoleksi keluarga di sebuah paroki. Pada saat sharing bersama saya menemukan banyak inspirasi. Banyak di antara pasangan suami dan istri yang hadir mengakui bahwa keluarga adalah segalanya. Di dalam keluarga setiap orang menaburkan, menumbuhkan dan mengembangkan cinta bersama Tuhan. Keluarga adalah segalanya karena setiap pribadi rela berkorban untuk membahagiakan pasangannya dan berusaha untuk melupakan kelemahan-kelemahan pasangannya. Keluarga itu ibarat tuts piano, ada warna hitam dan putih, warna suaranya pun berbeda tetapi memberikan keindahan tersendiri saat dibunyikan dan mengiringi sebuah lagu. Semuanya beda tetapi menjadi serasi dan indah. Ada juga keluarga yang mengungkapkan kesulitannya yakni rasa ingat diri yang berlebihan dari pasangan, super protektif, mudah cemburu dan lain sebagainya. Semua ini lumrah dalam hidup bersama tetapi haruslah diperbaiki.

Saya mengingat Paus Fransiskus pernah berkata tentang satu tantangan besar dalam keluarga yakni: “Ketika seseorang tidak hidup sebagai sebuah keluarga, terutama dia yang selalu mengatakan: Aku, aku, saya, dengan saya, untuk saya. Artinya segalanya benar-benar berpusat pada dirinya sendiri, maka ia tidak pernah akan tahu tentang makna mendalam solidaritas atau persaudaraan sejati” Di tempat lain, Paus Fransiskus menekankan tentang pentingnya semangat saling mengampuni di dalam keluarga: “Tidak ada keluarga yang sempurna. Kita tidak punya orang tua yang sempurna, kita tidak sempurna, tidak menikah dgn orang yg sempurna, kita juga tidak memiliki anak yang sempurna. Kita memiliki keluhan tentang satu sama lain. Kita kecewa dengan satu sama lain. Oleh karena itu, tidak ada pernikahan yang sehat atau keluarga yang sehat tanpa olah pengampunan. Pengampunan adalah penting untuk kesehatan emosional kita dan kelangsungan hidup spiritual. Tanpa pengampunan keluarga menjadi sebuah teater konflik dan benteng keluhan. Tanpa pengampunan keluarga menjadi sakit.”

Keluarga memiliki tanggung jawab terhadap anggota keluarganya. Mari kita mengingat kembali Tuhan Yesus yang berziarah ke Yerusalem bersama orang tuanya ketika berusa 12 tahun, dan hilang di dalam bait Allah (Luk 2:41-52). Maria dan Yusuf menunjukkan diri mereka sebagai orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak, serta menunjukkan keindahan sebagai orang tua. Setelah tiga hari mereka menemukan Yesus. Bunda Maria berkata: “Nak, kenapa kamu buat kami khawatir? Ayah dan Ibu panik mencari-cari kamu.” (Luk 2: 48). Rasa tanggung jawab bukan dengan kemarahan, emosi yang meledak-ledak, kekerasan fisik dan verbal tetapi seperti Bunda Maria dan Yusuf yakni kesabaran untuk memenangkan hati Tuhan Yesus. Rasa tanggung jawab juga ditunjukkan ketika Yesus sangat sibuk melayani manusia sehingga lupa makan dan minum sehingga orang mengatakan bahwa Yesus sudah tidak waras lagi. Dalam waktu singkat keluarga Yesus menunjukkan tanggung jawabnya dengan datang untuk menjemput-Nya (Mrk 3:21). Keluarga kudus menunjukkan rasa tanggung jawabnya kepada Yesus sang Anak Allah.

Bagaimana dengan keluarga-keluarga kita? Bagaimana dengan komunitas-komunitas kita? Apakah kita masih mempunyai sense of belonging dalam keluarga dan komunitas? Apakah keluarga kita hanya sebuah kos atau asrama saja? Apakah kita mendoakan keluarga atau komunitas kita? Jangan pernah mengidolakan keluarga orang lain, idolakanlah keluargamu sendiri!

Tuhan memberkati, Bunda Maria mendoakan keluarga dan komunitas kita.

P. John Laba, SDB