Homili 28 Januari 2021

Peringatan Wajib Tomas Aquino
Ibr. 10:19-25
Mzm. 24:1-2,3-4ab,5-6
Mrk. 4:21-25

Dengan pelita yang tetap menyala

Saya memiliki pengalaman masa kecil tentang pelita. Namun dalam homili kali ini saya tidak membagi pengalaman saya, tetapi membagi sebuah cerita bijaksana tentang pelita. Konon pada suatu malam, ada seorang buta yang berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat befrbaik hati sehingga membekalinya dengan sebuah pelita. Orang buta itu tertawa sambil berkata: “Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok.” Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu.” Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Dia mulai keluar dari rumah sahabatnya. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!” Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.

Dalam perjalanan selanjutnya, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!” Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!” Si buta tertegun.. Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.” Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.” Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.

Kisah tentang pelita ini sangat terkenal dalam masyarakat sebagai kisah yang mengajar kebijaksanaan dalam hidup kita. Pelita di sini dapat melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan). Maka kita memang memerlukan pelita untuk menerangi perjalanan hidup kita. Banyak kali kita adalah orang buta yang tidak sadar diri karena berpikir bahwa kita memiliki mata. Tuhan Yesus benar ketika mengatakan: “Kamu mempunyai mata, tidakkah kamu melihat dan kamu mempunyai telinga, tidakkah kamu mendengar.” (Mrk 8:18).

Pelita adalah kebijaksanaan. Pelita adalah Sabda Tuhan. Dalam kitab Mazmur kita membaca: “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” (Mzm 119:105). Sabda Tuhan yang oleh penulis surat kepada umat Ibrani: “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” (Ibr. 4:12) menjadi penuntun, kompas bagi hidup kita. Sebab itu kita harus rajin membaca, merenungkan dan menjadi pelaku firman dalam hidup kita. Santu Yakobus mengatakan: “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.” (Yak 1:22).

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang mengingatkan kita untuk membangun semangat misioner, khususnya dalam usaha untuk mewartakan sabda ke seluruh dunia. Tuhan Yesus, setelah memberi perumpamaan tentang penabur dan menjelalaskannya, Ia maju selangkah lagi untuk membantu para murid memahami tugas perutusan mereka dalam mewartakan Sabda. Para murid tidak hanya memandang Yesus sebagai sang Penabur dan benih adalah Sabda-Nya, kini mereka memiliki tugas untuk terus mewartakan Injil secara terang-terangan, tanpa rasa takut apapun. Tuhan Yesus berkata: “Orang membawa pelita bukan supaya ditempatkan di bawah gantang atau di bawah tempat tidur, melainkan supaya ditaruh di atas kaki dian. Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan tersingkap.” (Mrk 4:21-22)

Pelita itu harus tetap menyala dan diletakkan di tempat yang tinggi untuk menerangi seluruh ruangan. Sabda Tuhan yang kita baca, dengar, renungkan dan lakukan bukan untuk diri kita sendiri tetapi untuk semua orang. Sama seperti pelita yang bernyala, Sabda Tuhan haruslah menjadi memiliki daya transformatif yang luar biasa untuk mengubah kehidupan kita secara pribadi sebagai pewarta dan juga mereka yang mendapat pewartaan Sabda. Dalam mewartakan sabda, disampaikan dengan terus terang, dengan terang benderang, tanpa rahasia apapun sebab yang diwartakan adalah Sabda Allah bukan kata-kata manusia belaka. Pewarta sabda haruslah memberi maksimum bukan menjadi minimalis saja. Benar sekali perkataan Yesus pada akhir bacaan Injil hari ini: “Camkanlah apa yang kamu dengar! Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu, dan di samping itu akan ditambah lagi kepadamu. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.” (Mrk 4:24-25).

Saya mengakhiri Homili ini dengan mengutip Bapa Suci Paus Benediktus XVI dalam pesannya pada Hari Komunikasi sedunia pada bulan Mei 2010 yang lalu: “Imam diharapkan dapat hadir di dalam dunia komunikasi digital dalam memberikan kesaksian terhadap Sabda Tuhan, mempraktikkan peran utama mereka sebagai pemimpin komunitas yang mampu mengekspresikan diri mereka dengan suara-suara yang berbeda yang diberikan oleh pasar digital. Imam ditantang untuk mewartakan Sabda Tuhan dengan melayani genarasi masa kini yang dekat dengan sumber-sumber audiovisual (photo, video, gambar animasi, blog, website), di samping cara-cara tradisional, ini dapat membuat pandangan luar kita untuk berdialog, berevangelisasi dan berkatekese.” Imam membawa pelita yang terus menerus menyala bagi sesama melalui pewartaan sabda yang jelas, terang benderang.

St. Tomas Aquino, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB