Homili Hari Minggu Biasa ke-VI/B – 2021

Hari Minggu Biasa ke-VI/B
Im. 13:1-2,44-46;
Mzm. 32:1-2,5,11;
1Kor. 10:31-11:1;
Mrk. 1:40-45

Kasih Allah sungguh nyata

Di Lewoleba Lembata, NTT terdapat sebuah Rumah Sakit swasta bernama RS. Santu Damian. Rumah sakit ini terkenal karena di sinilah para suster dari Tarekat CIJ membaktikan diri untuk melayani para penderita Lepra/kusta dari berbagai daerah di daerah Lembata, Solor, Adonara, beberapa tempat dari daratan Flores dan Alor. Para suster CIJ berhasil menyelamatkan banyak orang kusta yang tadinya diasingkan masyarakat, dan pada akhirnya menjadi orang yang sehat dan membaur dengan masyarakat. Meskipun mereka tentu masih memiliki tekanan psikologis karena label ‘pasien kusta yang sudah sembuh’ pada diri mereka. Rumah sakit Santu Damian berasal dari nama orang kudus yakni Pater Damian. Beliau adalah seorang imam dari Tarekat Imam-imam Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC), berkebangsaan Belgia dan menjadi misionaris di pulau Molokai, Hawai. Gereja menghormatinya sebagai “rasul para penderita kusta”. Ada bagian kisah hidupnya yang menarik yakni ketika beliau baru tiba di perkampungan kusta pada tanggal 10 Mei 1873. Uskup Maigret memperkenalkan memperkenalkan Pater Damian kepada 816 orang penderita kusta sebagai dengan berkata: “Beliau adalah seorang yang akan menjadi ayah bagi kalian, yang mencintaimu sedemikian besarnya hingga dia tidak ragu untuk menjadi salah satu dari kalian; hidup dan mati bersama kalian.” Damian terjangkit kusta dan meninggal bersama orang kusta di Molokai.

Santo Damian adalah salah satu dari banyak sosok pengikut Kristus yang membaktikan diri bagi orang-orang yang tidak diakui eksistensinya di dalam masyarakat. Sejak zaman dahulu orang-orang kusta diasingkan dari keluarga sendiri. Konon ada pulau tertentu yang dinamai pulau Lepra karena menjadi tempat pembuangan orang-orang lepra atau kusta di sana. Tentu kita tidak bisa berpikir tentang hak-hak asasi manusia, kultur dan ketakutan juga kesulitan pengobatan yang membatasi cara orang menerima sesama manusia yang sakit kusta. Kehidupan Santu Damian sangat dipengaruhi oleh sosok Tuhan Yesus. Tuhan Yesus berani melawan arus dengan menerima orang-orang kusta apa adanya, menjamah dan menyembuhkan mereka. Pada zaman Yesus, orang-orang kusta juga diasingkan. Mereka tinggal sendirian, kalau mereka berjalan di jalan raya, mereka berpakaian compang-camping, rambut tidak diurus dan harus berteriak bahwa mereka orang kusta yang najis sehingga orang-orang sehat bisa segera menjauh dari mereka. Hal ini dilakukan secara mutlak di dalam dunia perjanjian Lama (Im 13: 45-46)

Pada hari ini kita berjumpa dengan seorang kusta yang unik. Dia sudah tahu dirinya sebagai orang kusta dan harus mengisolasikan dirinya, namun ketika mendengar bahwa Yesus lewat maka ia datang kepada Yesus dan memohon anugerah kesembuhan. Yesus mendengar perkataannya dan tergerak hati-Nya oleh belas kasih. Ia mengulurkan tangan-Nya yang kudus, menjamah dan menyembuhkannya. Orang kusta ini mengalami kesembuhannya secara ajaib. Ia diminta oleh Yesus supaya menunjukkan diri-Nya kepada imam dan mempersembahkan persembahan sesuai hukum Taurat. Dengan jalan ini maka dia dapat bergabung dengan sesama yang lain dalam peribadatan mereka di dalam rumah ibadat. Tuhan Yesus memang sempat melarangnya untuk tidak menceritakan proses penyembuhannya ini namun ia menyatakan syukurnya dengan menyebarkan berita bahwa Yesuslah yang menyembuhkannya.

Tuhan Yesus memang beda! Dia berani melawan arus dalam masyarakat pada zaman-Nya. Orang berani menolak sesamanya karena kusta yang mereka derita, tetapi Tuhan Yesus malah mendekati, menjamah dan menyembuhkan. Inilah bukti kerahiman Allah bagi manusia. Dia memiliki kuasa menyembuhkan dan menghancurkan dosa-dosa manusia. Dia tidak memilih siapa yang hendak disembuhkan atau diselamatkan, tetapi Ia menyembuhkan semua orang. Tuhan Yesus menunjukkan teladan kepada Gereja untuk melakukan hal yang sama. Gereja terbuka untuk melayani semua orang dan membawa kepada keselamatan. Gereja harus memiliki hati Yesus yang berbelas kasih kepada orang-orang selevel orang kusta, yang selalu disingkirkan dalam masyarakat.

Sikap Yesus ini saya katakan di atas bahwa Ia berani melawan arus. Di dalam Kitab Imamat kita membaca ketakutan yang akut dari orang-orang zaman dahulu kepada para pengidap kusta. Penyakit ini juga dianggap najis karena merupakan hukuman atas dosa yang dibuat manusia. Jadi kusta bukan sebagai penyakit apa adanya tetapi merupakan hukuman dari Tuhan akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Orang kusta sangat diharapkan untuk sadar diri sebagai orang kusta dan mengasingkan dirinya karena dia najis. Label najis ini masih ada sampai saat ini. Berapa kali kita menganggap orang lain najis sementara kita sebenarnya jauh lebih najis dari orang-orang lain. Kita menajiskan orang lain dengan sikap dan tutur kata kita dan pikiran-pikiran kita. Ini lebih najis dari yang sebenarnya najis.

Apa yang harus kita lakukan?

St. Paulus dalam bacaan kedua mengajak kita untuk menjadi pribadi yang merdeka dan siap untuk melayani. Prinsip kita adalah melakukan setiap karya pelayanan untuk kemuliaan Tuhan Allah bukan kemuliaan kita sendiri. Untuk itu kita mencari kesenangan dan kebahagiaan di dalam diri orang dan dengan demikian mereka juga memperoleh keselamatan. Paulus tidak hanya berbicara tetapi menjadi role model bagi kita semua. Itulah sebabnya dia mengatakan: “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.” (1Kor 11:1).

Pada hari ini kita benar-benar mengalami kekuatan dari Tuhan. Ia Maharahim. Di masa pandemi ini memang masih banyak orang kusta, tetapi kita juga tidak boleh mengabaikan para saudara dan saudari yang terpapar covid-19. Mari kita tetap mendoakan semua orang sakit dan biarlah Tuhan menjamah dan menyembuhkan mereka. Saya menutup homili ini dengan mengutip perkataan Paus Fransiskus dalam pesannya pada hari orang sakit sedunia: “Penyakit selalu memiliki wajah, dan bukan hanya satu: ia memiliki wajah setiap orang yang sakit, pria dan wanita, bahkan mereka yang merasa diabaikan, dikucilkan, korban ketidakadilan sosial yang menyangkal hak-hak esensial mereka (bdk. FT 22). Pandemi saat ini telah menyingkap banyak kekurangan sistem kesehatan dan kekurangan bantuan bagi orang sakit. Akses kesehatan tidak untuk orangtua, mereka yang paling lemah dan paling rentan tidak selalu tersedia, dan itu tidak selalu secara adil. Ini tergantung pada pilihan politik, cara pengelolaan sumber daya, dan komitmen dari mereka yang memegang posisi tanggung jawab. Menginvestasikan sumber daya bagi perawatan dan bantuan orang sakit merupakan prioritas yang terkait dengan prinsip bahwa kesehatan adalah kebaikan bersama yang utama.” Tuhan memberkati kita semua dan Happy Valentin 14022021.

P. John Laba, SDB