Homili 15 Februari 2021

Hari Senin, Pekan Biasa ke-VI
Kej 4: 1-15.25
Mzm 50: 1.8.16bc-17.20-21
Mrk 8:11-13

Kerahiman Allah selalu nomor satu

Selama beberapa hari terakhir ini kita membaca Kitab Kejadian. Di awal Kitab Kejadian ini kita semua merasakan sosok Allah yang kita imani sebagai Bapa Pencipta. Dia menciptakan segala sesuatu baik adanya. Dia menciptakan manusia sebagai ciptaan yang paling mulia karena sesuai dengan wajah-Nya sendiri. Namun manusia menyalahgunakan kasih dan kebaikan Tuhan. Mereka jatuh ke dalam dosa pertama dengan memakan buah dari pohon yang tidak diperbolehkan untuk dimakan. Sejak saat itu manusia mulai menderita dan sebagai akibat dari dosa adalah kematian. Apakah dengan jatuh ke dalam dosa, manusia mendapat kutukan dari Tuhan? Tidak ada kutukan. Tuhan mengutuk ular dan tanah. Manusia pertama mendapat teguran keras yakni kesakitan dan akhirnya kematian. Manusia dari debu dan akan kembali menjadi debu.

Pada hari ini kita mendengar kisah Kain dan Habel. Tuhan menunjukkan kerahiman-Nya kepada manusia pertama dengan memberikan mereka keturunan. Hawa mengatakan kepada Adam bahwa Tuhan menolongnya sehingga mendapatkan seorang anak laki-laki. Ia menamainya anak pertamanya Kain dan anak keduanya Habel. Kedua anak ini mengikuti jejak ayah mereka Adam sebagai petani. Kain lebih fokus bercocok tanam sedangkan Habel menjadi seorang peternak. Kain dan Habel saudaranya mempersembahkan hasil karya mereka kepada Tuhan. Kain mempersembahkan hasil pertaniannya yang tidak berkenan di hati Tuhan. Sedangkan Habel mempersembahkan anak sulung kambing dombanya. Tuhan menerima persembahan Habel. Hal ini tentu menimbulkan amarah, iri hati dan dendam Kain. Kain pun meluapkan amarahnya dengan membunuh Habel.

Di dalam keluarga dan komunitas kita, kita selalu mengalami kehidupan keluarga Adam dan Hawa. Kita menemukan dalam diri anak-anak kita perilaku Kain dan Habel. Ada perasaan marah, iri hati dan dengki yang meluap-luap meskipun terhadap saudara kandung. Ada yang bahkan sampai meninggal dunia pun mereka tidak sempat berdamai karena masih ada serpihan-serpihan rasa dendam. Padahal mereka berasal dari satu bapa dan satu ibu yang sama. Kadang-kadang harta yang memisahkankan persaudaraan manusia. Sama seperti Kain dan Habel, hanya karena hasil karya mereka yang dipersembahkan kepada Tuhan di mana persembahan Kain tidak layak dibandingkan persembahan Habel maka terjadilah penumpahan darah saudara sendiri.

Di saat-saat kita marah kepada saudara kita, Tuhan seakan menegur kita tetapi kita kurang menyadarinya: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” (Kej 4:6-7). Pikirkanlah saat-saat hidup kita ketika kita marah dan berbuat jahat kepada saudara kandung kita. Dosa selalu mengintip di depan pintu, mencari kesempatan untuk menguasai kita. Kalau kita lemah maka kita akan berlaku seperti Kain.

Kain masih menjadi bagian dalam hidup kita. Ketika kita berbuat jahat kepada saudara kita, selalu saja ada usaha untuk membela diri dna bertahan dalam kesalahan. Kain bereaksi kepada Tuhan ketika Tuhan bertanya tentang adiknya Habel: “Di mana Habel, adikmu itu?”. Kain menjawab Tuhan: “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku“ (Kej 4:9). Kain membela diri dan melawan Tuhan. Maka Tuhan mengatakan kepadanya bahwa darah adiknya berteriak kepada Tuhan dari tanah. Karena secara terang-terangan Kain berbuat jahat dan tidak jujur maka Tuhan mengutuk Kain. Ia berkata: “Terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu.” Apabila engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi.” (Kej 4: 11-12).

Apakah dengan demikian Tuhan benar-benar mengutuk Kain karena dia berbuat jahat? Tuhan tetap menunjukkan kasih dan kerahiman-Nya kepada Kain. Tuhan memberi tanda untuk melindungi Kain dari bahaya. Tidak ada seorang pun yang akan membunuh Kain karena kalau ada yang melakukannya akan mendapat balasan hukuman sebanyak tujuh kali lipat. Kain tetap mendapat perlindungan dari Tuhan. Adam dan Hawa tetap dikasihi Tuhan sehingga Tuhan memberika kepada mereka Set sebagai pengganti Habel yang sudah dibunuh Kain.

Kisah Adam dan Hawa adalah kisah kehidupan kita setiap hari. Mereka jatuh ke dalam dosa asal satu kali untuk selama-lamanya. Kita saat ini jatuh ke dalam dosa berkali-kali. Kisah Kain dan Habel juga merupakan kisah hidup kita. Kita hidup dalam keluarga, memiliki orang tua dan saudara-saudara. Tidak semuanya rukun dan bersatu sebagai saudara. Pasti ada yang ‘aneh’ yang mengganggu persekutuan keluarga. Kalau saja para saudari dan saudara begitu kompak, pasti ada sosok lain yang hadir dalam keluarga dan membuat perbedaan. Mungkin saja pasangan hidup dalam pernikahan yang bukannya mendekatkan dengan keluarga malah menjauhkan karena ‘lidah’.

Raja Daud pernah berkata kepada Tuhan: “Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun” (Mzm 133:1). Itu sebuah harapan yang harus kita capai dalam hidup kita. Di dalam keluarga kita mencari persekutan dan persaudaraan bukan perpecahan. Kita membutuhkan Tuhan untuk membaharui iman kita supaya tetap bersatu sebagai saudara.

PJ-SDB