Homili 20 Februari 2021

Hari Sabtu sesudah Rabu Abu
Yes. 58:9b-14;
Mzm. 86:1-2,3-4,5-6;
Luk. 5:27-32

Memaknai sebuah pertobatan

Joseph Joubert 1754-1824) adalah seorang Penulis dari Prancis. Tentang pertobatan, beliau pernah menulis: “Penyesalan adalah hukuman atas kejahatan; pertobatan adalah penebusan. Seseorang yang menyesal menjadi bagian dari hati nurani yang tersiksa; dia yang bertobat menjadi jiwa yang berubah dengan lebih baik.” Dalam hidup ini, rasa penyesalan dan pertobatan selalu mengisi ruang kehidupan kita. Namun demikian penyesalan saja belumlah cukup, harus disertai pertobatan. Bertobat berarti mengalami kasih dan kerahiman Tuhan sehingga tidak berhasrat lagi untuk mengulangi kembali dosa yang sama. Cinta kasih dn kebaikan Tuhan jauh lebih kuat sehingga dapat mengeluarkan orang itu dari kuasa kejahatan atau kuasa dosa.

Orang-orang kudus pernah mengalami perbuatan dosa dan melakukan pertobatan yang radikal. Sebut saja, Santu Paulus. Mulanya beliau adalah Saulus yang kejam dan berusaha untuk membunuh semua pengikut jakan Tuhan. Tetapi dalam perjalanan ke Damsyik, Tuhan memanggil dan mengubahnya. Dia menjadi Paulus yang berani berkata: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” (Flp 1:21). Di tempat lain Paulus menulis: “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Gal 2:20). Sosok lain yang mengubah dunia adalah santu Agustinus dari Hippo. Beliau memiliki masa lalu yang gelap. Berkat doa-doa Monika sang ibunda, Agustinus bertobat dan menjadi abdi Tuhan. Ia menyatakan pertobatannya dalam ungkapan ini: “Tardi ti ho amato, Bellezza tanto antica e tanto nuova; tardi ti ho amato!” (Betapa lambat aku akhirnya mencintai-Mu, Oh Keindahan lama yang selalu baru, betapa lambat Kau kucintai!).

Pada hari ini kita berjumpa dengan sosok Yesus yang datang untuk memanggil orang berdosa supaya bertobat. Ia menemui Lewi yang sedang bekerja sebagai pemungut cukai. Tuhan Yesus memanggilnya: “Ikutlah Aku”. Lewi segera berdiri dan meninggalkan pekerjaannya lalu mengikuti Yesus. Ia bahkan berkesempatan untuk mengadakan perjamuan besar bagi Yesus di rumahnya. Kehidupan Lewi itu seperti kisah tentang seekor domba yang hilang dari seratus ekor domba. Sang gembala rela meninggalkan yang sembilan puluh sembilan, mencari dan ketika menemukannya ada sukacita yang besar. Pengalaman ini menjadi nyata juga dalam diri Lewi. Tuhan berjalan dan menemukannya, memanggilnya untuk mengikuti dari dekat dan ia segera mengikuti Yesus. Rasa syukur Lewi di hadapan Yesus, ditemani oleh rekan-rekan sejawatnya yakni para pemungut cukai yang diabaikan oleh civil society saat itu.

Sikap baik Tuhan Yesus terhadap Lewi menjadi dasar kritikan bagi kaum Farisi dan para ahli Taurat. Mereka bersungut-sungut tidak langsung kepada Yesus tetapi malah kepada para murid-Nya, sambil membicarakan Yesus. Mereka berkata: “Mengapa kamu makan dan minum bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (Luk 5:30). Tuhan Yesus mengetahui isi hati mereka maka Ia berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.” (Luk 5:31-32). Kita melihat betapa bedanya pandangan manusia dan Tuhan. Manusia hanya melihat hal nampak dan memprediksi tentang kehidupan orang. Tentu hal ini tidak salah tetapi menjadi salah ketika disertai prasangka jelek terhadap orang lain. Sebab itu Yesus mengatakan orang berdosa dipanggil untuk bertobat bukan orang benar yang tidak membutuhkan pertobatan. Tuhan Yesus melakukannya dengan sempurna kepada orang-orang yang selalu berpikiran negatif kepada sesamanya.

Pertobatan sejati ditandai oleh kasih yang tiada batasnya. Tuhan mengasihi manusia, memanggil dengan namanya sendiri dan mengubah hidupnya. Tuhan juga melakukan hak yang sama kepada anda dan saya. Dia mau mengubah hidup kita untuk bertobat dan percaya kepada-Nya. Masa prapaskah merupakan masa khusus bagi kita untuk menghidupi dan menjalani pertobatan. Kita dipanggil untuk beramal, berdoa, berpuasa. Ketiga hal ini merupakan jalan yang pasti bagi kita untuk bertobat dan percaya kepada-Nya.

Nabi Yesaya dalam bacaan pertama memberikan insight kepada kita untuk menjalani masa pertobatan ini dengan baik. Sikap tobat yang diberikan kepada kita terungkap dalam perkataan ini: “Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari.” (Yes 58:9b-10). Berpuasa dan bertobat menjadi nyata dalam perbuatan kasih dan kerahiman kepada sesama. Pertobaan sejati berarti pengalaman kasih Tuhan yang selalu menuntun kita di jalan yang benar, memuaskan hati dan selalu memberi kekuatan. Tuhan tidak akan mengecewakan kita.

Pada hari ini kita bangga dengan Tuhan kita. Dia menyapa kita dan membaharui hidup kita dalam semangat pertobatan. Buah dari pertobatan kita dalam masa prapaskah adalah kita semakin mengasihi Tuhan dan sesama, semakin berempati dengan sesama yang sangat membutuhkan. Di masa pandemi ini, juga di musim hujan sehingga menimbulkan banjir, apakah kita peduli dengan sesama? Atau kita menutup mata dan membiarkan sesama mati kelaparan? Saya merasa yakin bahwa kita memiliki nurani untuk tetap mengasihi dan menolong. Semoga pertobatan kita berbuah melimpah.

P. John Laba, SDB