Homili 5 Maret 2021

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-II
Kej. 37:3-4,12-13a,17b-28;
Mzm. 105:16-17,18-19,20-21;
Mat. 21:33-43,45-46

Kita menjadi saudara

Pada tahun 2001, saya mendapat penugasan untuk melayani di sebuah komunitas Salesian di Don Bosco Fuiloro sebagai pastor muda. Di ruang makan komunitas terdapat sebuah spanduk di mana tertulis doa dari raja Daud: “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun.” (Mzm 133:1). Perkataan ini, bagi saya berbicara sangat kuat kepada semua konfaraterku selama bersantap bersama supaya bisa hidup bersaudara tidak hanya saat bersantap bersama tetapi sebagai satu komunitas. Persaudaraan sejati tidak hanya selama bersantap bersama tetapi sebagai satu komunitas dalam suka dan duka.

Persaudaraan sejati ini harapan yang harus dicapai dalam merajut kebersamaan dalam hidup kita. Sebuah keluarga dan komunitas memang harus berusaha untuk membentuk sebuah persaudaraan sejati. Para imam, biarawan dan biarawati membangun persaudaraan sejati di dalam komunitas karena memiliki panggilan yang sama, menghayati spiritualitas tarekat yang sama, mengikrarkan nasihat-nasihat Injil yang sama sesuai semangat tarekat, Menjalani tugas perutusan yang sama. Kaum berjubah gagal membangun persaudaraan sejati ketika hal-hal yang menjadi kekhasan tarekat tidak dijalani dan dihayati dengan baik. Hal yang sama terjadi dalam hidup berkeluarga. Anak-anak lahir dari satu rahim yang sama tetapi tetap berjuang untuk membangun persaudaraan sejati. Bahkan kita mengalami sendiri di dalam keluarga masing-masing betapa konflik yang bisa terjadi kapan saja antara kakak dan adik. Kakak dan adik berebut warisan peninggalan orang tua dan aneka konflik lain.

Persaudaraan sejati itu fondasi utamanya di dalam keluarga. Orang tualah yang menjadi pendidik nomor satu kepada anak-anak untuk hidup sebagai saudara. Pikirkanlah sikap orang tua saat anak-anak berebut makanan, apakah lebih pro kepada adik atau kakak? Apakah orang tua lebih pro anak perempuan atau anak laki-laki? Setiap keluarga memiliki pengalaman-pengalaman bagaimana membentuk persaudaraan sejati. Ketika orang tua tidak bisa mengoreksi sikap anak-anak sejak usia dini maka sangat sulit ketika mereka mulai menjadi dewasa. Rasa benci di antara anak-anak akan semakin besar karena orang tua tidak bisa mengontrol mereka.

Pada hari ini kita berjumpa dengan sosok Yusuf anak Yakub dalam Kitab Kejadian. Yusuf mendapat perhatian istimewa dari ayahnya Yakub sebab dilahirkan di saat Yakub sudah memasuki usia senja. Pakaiannya juga sangat spesial artinya lebih indah dibandingkan saudara-saudaranya. Ini menimbulkan kecemburuan dari saudara-saudaranya. Yusuf mengalami penganiayaan dari para kakaknya. Ia dimasukkan ke dalam sumur tua yang tentu saja panas dan dijual kepada kafilah orang Ismael yang sedang dalam perjalanan ke Mesir. Harganya Yusuf saudara mereka adalah dua puluh syikal perak. Ini karena saran dari Yehuda: “Apakah untungnya kalau kita membunuh adik kita itu dan menyembunyikan darahnya? Marilah kita jual dia kepada orang Ismael ini, tetapi janganlah kita apa-apakan dia, karena ia saudara kita, darah daging kita.” (Kej 37:26-27). Apa yang dialami Yusuf nantinya akan dialami oleh Yesus sendiri. Dia juga dijual murid-Nya sendiri.

Suasana di dalam keluarga Yakub ini menjadi challenge bagi keluarga-keluarga masa kini. Mengapa? Karena saling menjual masih terjadi di dalam keluarga-keluarga saat ini. Dalam masa prapaskah ini, mari kita belajar untuk mawas diri supaya tetap membangun persaudaraan sejati. Kita berusaha untuk semakin menjadi berkat bagi semua orang. Kalau kita tidak bertobat dan membiarkan konflik-konflik menjadi bagian dalam hidup kita maka Tuhan juga akan bersikap seperti yang dilakukan kepada para pekerja di kebun anggur: “Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.” (mat 21:43).

P. John Laba, SDB