Mengenang Emilia Rina

Namaku RINA

Pada pagi hari ini saya secara pribadi merasa kehilangan sosok seorang umat, sahabat, saudari, pendoa, pemberi motivasi untuk seorang imam dan pewarta Sabda yang handal. Dia adalah Emilia Rina Yauw Gek Sin atau yang biasa saya sapa dengan nama Ibu Rina. Setelah satu minggu dia bergumul dengan C-19 akhirnya pagi ini dipanggil oleh Tuhan tanpa pesan apa-apa, dengan tenang dan damai di Rumah Sakit. Semua sahabat, kenalan baik awam (keluarga besar Jauw, Provindentia Divina dan PDPKK BHK) dan kami para Imam dan Biarawan dan Biarawati yang mengenalnya sungguh sangat kehilangan sosok awam yang tangguh, sangat sosial dan murah hati.

Saya mengenal Rina pertama kali pada tahun 1997, ketika Romo Tardif, MSC datang ke Indonesia untuk memberi KRK dan Retret penyembuhan bagi umat. Rina yang masih muda dan energetik di Persekutuan Doa BHK mengundang Pater Andres Calleja, SDB untuk menjadi penerjemah Romo Tardif, MSC yang berbicara Bahasa Spanyol ke dalam Bahasa Indonesia. Ketika bertemu pertama kali di Sunter, sambil berjabatan tangan ia berkata: “Namaku Rina!” Saya mengenal lebih dekat lagi ketika saya sudah menjadi seorang imam dan bertugas di Paroki santo Yohanes Bosco Sunter dan Komunitas Novisiat Don Bosco, Tiga Raksa Tangerang. Dia mengundang saya banyak kali untuk merayakan misa di kapel Providentia Divina, Kompleks perniagaan Roxi Mas, Jakarta Barat.

Apa yang saya belajar dari Rina?

Pertama, Saya melihat sosok Rina seperti sosok Saulus menjadi Paulus. Ketika mendengar ceritanya saya melihat dalam diri Rina sebuah transformasi yang radikal ibarat Saulus menjadi Paulus. Tentu beda dengan Saulus yang menganiaya jemaat tetapi perjalanan rohaninya mirip. Mulanya dia adalah seorang muda, aktivis di Gereja karimastik. Ketika dia dengan sepenuh hati mau menjadi anggota Gereja Katolik, Dia melanjutkan semangatnya yang berkobar-kobar hingga menutup usianya. Dia banyak bercerita misalnya bagaimana ia memulai PDPKK di BHK. Ibarat sedang melawan arus ketika berhadapan dengan para gembala, pada akhirnya ia berhasil memulai PD di BHK dengan alat-alat band di dalam Gereja untuk menganimasi doa bersama. Dia mengaku bahwa ini adalah gereja pertama yang memiliki alat band di dalam Gedung Gereja. Saya merasa kagum karena dia begitu terbuka menceritakan ‘pertobatan pribadinya’ kepada saya seorang imam yang lebih muda darinya. Sekali menjadi katolik, selamanya menjadi katolik. Ketika mengalami kesulitan, dia tidak berniat untuk kembali ke gerejanya yang sebelumnya. Dia juga yang membawa beberapa saudaranya untuk menjadi Katolik.

Kedua, dalam perjalanan kembali setelah saya mendengar pengakuan dosa di rumah retret Providentia Divina di Gadok, beliau mengingatkan saya dalam kata-kata yang saya jadikan sebagai pedoman: “Pastor John, kamu masih muda. Berusahalah untuk melayani tanpa pamrih. Ketika melayani jangan pernah berpikir apa yang akan engkau peroleh tetapi layanilah dengan sukacita. Hanya dengan demikian kamu akan menjadi pastor yang bahagia karena semua orang akan memperhatikanmu sebagai ganjaran akan pelayananmu”. Dia juga mengatakan: “Ada banyak godaan dalam pelayanan bagi imam, ketika mulai terkenal karena dipanggil ke mana-mana untuk melayani, maka selalu ada godaan dan bisa memasang tarif dalam pelayanan. Itu akan menggagalkan panggilanmu sebagai abdi Tuhan.” Saya merasa perkataan seorang wanita, awam yang sangat meneguhkan saya lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Saya selalu menyadari perkataannya ini untuk berhati-hati supaya selalu rendah hati dalam melayani sebagai imam.

Ketiga, Rina itu berbicara apa adanya. Ketika mengundang saya untuk melayani misa di kapel Providentia di Roxi, dia mengingatkan: “Maaf ya pastor, saya tahu kamu itu sibuk sekali tetapi kami butuh pelayananmu di sini. Kalau saya bisa pakai kasula dan stola mungkin saya tidak akan mengundangmu. Please datang dan rayakan misa di kapel Providentia”. Saya jauh di Tigaraksa tetapi dia menyiapkan penjemput khusus. Pengalaman lain, pada suatu saat kami makan bersama, dan saya masih menjawab telpon dari seorang yang menolpon. Rina tenang dan menunggu, setelah itu dia mengatakan: “Pastor, kalau sudah di depan makanan, matikanlah handphonenya sebentar ya.” Wah, sungguh teguran persaudaraan spontan tetapi sangat edukatif.

Keempat, Rina itu murah hati. Rina adalah sosok yang memberi diri untuk melayani Tuhan, tanpa perlu berjubah. Dia memilih tidak menikah untuk melayani Tuhan sebagai seorang awam. Dalam dirinya sebagai awam, dia memberi segalanya untuk Tuhan. Dengan Yayasan Provindentia Divina, Rina menolong para gembala yang sedang dalam kesulitan, para seminaris juga mendapat dukungan yang luar biasa. Dia juga memiliki preferential option for the poor. Kalau ada orang yang sangat membutuhkan maka Rina selalu ringan tangan, dan berani menyentuh hati para penderma untuk berbagi. Orang-orang yang sakit di rumah atau rumah sakit, cukup memanggil Rina untuk mendoakan maka dia akan memanggil juga pastor untuk memberikan minyak suci dan viaticum. Sikap murah hati dan empatinya ini akan tetap dikenang selamanya.

Kelima, Rina seorang aktifis gereja sampai menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dia dikenal sebagai orang terpenting di PDPKK BHK dan ketua lingkungan santa Luisa di Sunter. Dia selalu memberi semangat sehingga orang yang tadinya begitu jauh menjadi dekat dengan Tuhan. Hidup Rina untuk melayani Tuhan di dalam Gereja.

Pada pagi hari ini sekitar Pukul 2:30 saya bermimpi sedang merayakan misa di tempat yang mirip dengan ruangan Kapel Providentia Divina. Dari semua umat yang hadir saya hanya mengenal Rina yang mengenakan pakaian yang begitu rapi, tidak seperti biasanya. Gaunnya berwarna abu-abu muda. Dia mengikuti misa sampai selesai tanpa senyum apapun seperti Rina yang saya kenal. Usai misa dia menghilang begitu saja. Ternyata di saat seperti itu dia sedang bergumul dan menghembuskan nafasnya.

Terima kasih Rina, ternyata engkau sahabat yang baik, masih sempat berpamitan dengan imammu. Saya bangga, engkau pergi diam-diam dan itulah sikap lepas bebas yang engkau miliki sepanjang hidupmu dalam melayani Tuhan dan sesama. Engkau tidak terikat apa-apa, berani melepaskah segalanya untuk Tuhan dan sesama. Engkau sangat menginspirasi!

Pada saat ini engkau akan di antar ke San Diego Hill sebagai tempat istirahatmu yang terakhir. Sungguh benar perkataan Ayub: “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayb 1:21). Beristirahatlah dalam damai sahabat dan guru kehidupan. Selamat jalan ‘Nene’ sapaan sahabat-sahabat Providentia Divina.

Tigaraksa 17 Juli 2021

P. John Laba, SDB