Merenungkan duka Maria: Menyingkir ke Mesir

Duka  Maria: Dari Mesir Kupanggil anak-Ku

Lectio: Matius 2:13-15

“Setelah orang-orang majus itu berangkat, nampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia.” Maka Yusufpun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir, dan tinggal di sana hingga Herodes mati. Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: “Dari Mesir Kupanggil Anak-Ku.”

Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada team doa yang sudah memberikan kepercayaan kepada saya untuk ikut memberikan renungan tentang tujuh duka dari Bunda Maria. Saya merasa yakin bahwa kalian semua sudah memahami duka cita bunda Maria yang pertama yakni mengenai nubuat Simeon (Luk 2:35). Ketika itu, di dalam bait Allah, nabi Simeon menyampaikan kepada Bunda Maria tentang sengsara dan kematian Kristus, dan bahwa sebuah pedang kedukaan akan menembus hatinya. Nubuat dari nabi Simeon ini menjadi nyata untuk pertama kalinya dalam peristiwa penyingkiran keluarga kudus ke Mesir yang kita akan renungkan dalam duka cita kedua dari Bunda Maria.

Peristiwa penyingkiran keluarga kudus ke tanah Mesir terjadi setelah kedatangan para Majus dari Timur. Para Majus dari Timur datang untuk menyembah bayi Yesus. Mereka sempat singgah di Yerusalem dan berjumpa dengan Raja Herodes. Mereka mengatakan kepada Raja Herodes bahwa mereka datang untuk menyembah sang Raja yang baru lahir. Akibatnya, Herodes menjadi marah dan memerintahkan para tentaranya untuk membunuh anak-anak laki-laki yang berusia di bawah dua tahun di sekitar Yerusalem dan Bethlehem. Sebab itu, Yesus, Bunda Maria dan Santo Yoseph harus menyingkir ke Mesir. Dalam penyingkiran ke Mesir ini mereka tentu saja mengalami banyak rintangan.

Sosok-sosok penting: Yesus, Maria dan Yosef

Sosok Yusuf sangatlah unik dan hebat sebagai seorang ayah dalam keluarga kudus. Berdasarkan penuturan Injil Matius, ada seorang malaikat Tuhan yang menampakan diri kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata kepadanya: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia.” (Mat 2:13). Kita dapat membayangkan bagaimana suasana bathin Yusuf pada malam itu. Dia pasti merasa takut dan bingung, namun sebagai seorang ayah dan suami yang bertanggung jawab maka ia siap untuk melakukan kehendak Tuhan Allah. Penginjil Matius menceritakan bahwa malam itu juga Yusuf bangun, mengambil bayi Yesus dan ibu-Nya untuk menyingkir ke Mesir. Mereka harus berangkat malam itu juga karena ancaman Herodes untuk merengut nyawa sang bayi, yaitu Yesus sang Raja kecil dan mungil yang baru lahir.

Bapa Suci Paus Fransiskus menulis Surat Apostolik ‘Patris Corde’ untuk mengenang 150 tahun pemakluman St. Yosef sebagai pelindung gereja semesta alam, mengatakan sosok Santo Yosef sebagai seorang Bapa yang taat. Sri Paus menulis: “Dalam mimpinya yang kedua, malaikat berkata kepada Yosef: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia” (Mat 2:13). Yusuf tidak ragu untuk menaatinya, tanpa bertanya- tanya tentang kesulitan yang akan dihadapinya: “Maka Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir, dan tinggal di sana hingga Herodes mati” (Mat 2:14-15). Di Mesir Yusuf dengan kepercayaan dan kesabaran menanti pemberitahuan yang dijanjikan oleh malaikat untuk kembali ke negaranya. Segera setelah utusan ilahi, dalam mimpi ketiga, memberitahunya bahwa mereka yang mencoba membunuh Anak itu sudah mati, dan memerintahkannya untuk bangun, membawa Anak itu dan ibu-Nya bersamanya dan kembali ke tanah Israel (bdk. Mat 2:19-20), ia sekali lagi menaati tanpa ragu-ragu: “Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya dan pergi ke tanah Israel” (Mat 2:21).

Ketaatan Yusuf sebagai seorang ayah tidak terlepas dari dua sosok yang berada di sampingnya saat itu yakni Maria dan bayi Yesus. Ia mentaati kehendak Allah karena cintanya yang tiada batasnya kepada Bunda Maria dan bayi Yesus.

Sosok Bunda Maria sudah diingatkan oleh nabi Simeon bahwa sebilah pedang akan menebusi hatinya. Ini adalah pedang duka yang pertama kali dialami oleh Bunda Maria. Kita dapat membayangkan keadaan seorang ibu muda yang baru melahirkan. Secara manusiawi, Maria masih lemah, belum siap secara mental untuk melakukan perjalanan jauh pada malam itu. Selain fisiknya yang masih lemah, ia juga tentu memikirkan anak sulung yang baru lahir dari kandungannya, sang bayi Yesus yang masih merupakan bayi merah dan lemah. Namun Maria sendiri sudah berjanji kepada Tuhan: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38). Dan dalam peristiwa ini, Maria tidak banyak berbicara. Ia menyimpan segala perkara di dalam hati dan merenungkannya (Luk 2:19).

Sosok Yesus sang bayi, sebagai Anak Allah Dia mengetahui semuanya ini. Penderitaan sebagai seorang Anak Allah yang saat dilahirkan di Bethlehem juga tidak ada tempat untuk menginap sehingga dilahirkan di dalam kendang dan dibaringkan di dalam palungan yang tidak lain adalah tempat makan dan minum hewan. Tuhan Yesus yang masih bayi namun sudah mulai mengalami penderitaan, dari Bethlehem sudah ada Kalvari bagi-Nya. Peristiwa Bethlehem dan Kalvari di Yerusalem adalah satu kesatuan. Yesus mengalami penolakan hingga menjadi pengungsi di Mesir, akan tetap terjadi berbagai penolakan sepanajang hidup-Nya hingga wafat di kayu salib.

Duka cita Bunda Maria dalam peristiwa ini

Pedang dukacita kedua bagi Bunda Maria kelihatan ringan namun sebenarnya berat. Sebagaimana saya katakan sebelumnya bahwa Maria sebenarnya belum siap secara mental dan fisik untuk melarikan bayi Yesus ke Mesir bersama Yusuf suaminya, namun karena cinta dxan ketaatan kepada kehendak Allah maka ia siap untuk melakukannya. Duka dan pengorbanan sebagai ibu bagi Yesus akan berlangsung sampai tuntas. Cintanya kepada Yesus Anaknya juga akan berlangsung sampai tuntas. Dan Maria membuktikannya saat ini dengan menemani sang bayi Yesus untuk melakukan perjalanan dari Bethlehem ke Mesir. Jarak antara Bethlehem dan Kairo adalah 747 km atau 464 miles. Mereka berjalan melewati padang gurun yang sangat berbahaya karena hewan-hewan liar seperti ular kobra atau kalajengking yang sangat berbahaya. Pasir-pasir yang bisa menimbun apa saja ketika ditiup angin kencang. Pada saat itu musim dinging. Betapa menderitanya Yesus, Maria dan Yusuf. Namun satu hal penting, Maria berani melakukannya bukan hanya karena keegoisan dan kebodohan raja Herodes tetapi lebih dari itu karena ia sangat mencintai Yesus sang Anak Allah.

Saya mengingat sebuah refleksi dari Santo Albertus Agung ketika merenungkan peristiwa ini dan duka Bunda Maria: “Ya Tuhan, haruskah Ia menyingkir dari manusia, Ia yang datang untuk menyelamatkan manusia? Maka tahulah Bunda yang berduka bahwa nubuat Simeon mengenai Putranya sudah mulai digenapi, “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.”

Santo Yohanes Krisostomus menulis bahwa betapa isyarat pengungsian yang kejam atas diri Bunda Maria dan Putranya itu telah mengakibatkan dukacita dalam hatinya. Maria pergi menujauh dari para sahabat di Bethlehem kepada orang-orang asing di Mesir, dari Bait Allah ke kuil-kuil berhala. Adakah penderitaan yang lebih besar dari penderitaan seorang bayi yang baru dilahirkan, yang masih menyusu pada ibunya, dan ibundanya pula dalam keadaan miskin papa, dipaksa mengungsi bersamanya?”

Setelah perjalanan yang melelahkan dan menakutkan, mereka tiba di Mesir. Di negeri asing ini, keluarga kudus harus berusaha untuk bertahan hidup. Yusuf dan Maria harus bekerja untuk membesarkan sang bayi Yesus. St Petrus Chrysologus mengatakan, “Yusuf dan Maria tidak mempunyai baik pelayan laki-laki maupun perempuan; mereka sendirilah sekaligus majikan dan pelayan.” Mereka adalah orang asing, tak dikenal, tanpa penghasilan, uang, ataupun sanak saudara. Mereka semata-mata bertahan hidup dari perjuangan mereka yang gigih. Santo Basilius mengatakan bahwa karena mereka melarat, pastilah mereka berjuang keras guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara Landolph dari Saxony menulis bahwa “Maria tinggal di sana dalam kemiskinan yang sangat hingga terkadang ia bahkan tak mempunyai sebongkah roti pun untuk diberikan kepada Putranya, saat Ia memintanya karena lapar.”

Setelah Herodes mangkat, demikian St Matius mencatat, malaikat menampakkan diri lagi kepada St Yusuf dalam mimpi dan memintanya kembali ke Yudea. St Bonaventura menganggap kepulangan ini menyebabkan penderitaan yang lebih besar bagi Santa Perawan mengingat Yesus telah bertambah besar, usianya sekitar tujuh tahun. Yesus terlalu besar untuk digendong, tetapi belum cukup kuat untuk berjalan jauh sendiri tanpa pertolongan. Mereka kembali ke Nazaret, tempat di mana Yesus sendiri akan disapa: “Yesus orang Nazaret”.

Apa yang kita pelajari?

Duka Maria adalah duka manusia sepanjang zaman. Kita senantiasa menemukan banyak orang yang mengalami penolakan dalam keluarga atau dari negerinya sendiri karena egoism para pemimpin. Para pemimpin atau penguasa negara terlalu nyaman di kursinya sehingga mengorbankan rakyat kecil. Dari Maria kita belajar tentang betapa luhur dan bernilainya cinta dan pengurbanan seorang ibu. Teladan inilah yang harus kita miliki saat ini, terutama di masa pandemi. Semoga keluarga-keluarga tetap bertahan hidup dan mempertahankan keutuhan keluarga mereka. Tuhan memberkati kita semua.

P. John Laba, SDB