Food For Thought: Hati sebagai Hamba

Dengan hati seorang hamba

Pada pagi hari ini saya mendapat pesan singkat berupa kutipan ayat Kitab Suci dari seorang umat yang suka membagikannya setiap hari dan sebuah gambar Yesus berdiri di depan pintu sambil mengetuk pintu. Pagi ini dia membagikan kutipan dari Kitab Wahyu, bunyinya: “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok, jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk dan mendapatkannya dan Aku akan makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” (Why 3:20). Saya merasa bahagia karena kutipan ayat Kitab Suci ini sangat menginspirasi saya untuk merenung dan memahami perikop Injil pada hari Selasa ini. Yesus adalah Hamba Yahwe yang berkeliling dan berbuat baik. Dia juga mengetuk pintu dan kiranya setiap kita boleh membuka pintu dan membiarkan sang Hamba Yahwe itu masuk dan mengajar kita untuk bertumbuh dengan hati seorang hamba.

Penginjil Lukas hari ini mengisahkan Yesus dalam kebersamaan dengan pada murid-Nya. Dalam kebersamaan itu, Yesus mengatakan: “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala.” (Luk 12:35). Orang-orang pada zaman dahulu memiliki gaun yang panjang dan bisa menghalangi mereka dalam beraktifitas, misalnya melakukan perjalanan pada malam hari. Maka satu hal yang mereka harus lakukan adalah menyiapkan tali untuk mengikat pinggang mereka, juga sebuah pelita lengkap dengan minyaknya sehinga memudahkan mereka melakukan perjalanan malam. Yesus menggunakan kebiasaan umum di Palestina ini untuk mengedukasi para murid-Nya supaya memiliki sikap selalu siap, berwaspada, berhati-hati dalam menghadapi situasi apapun, supaya mereka tidak terhalang dalam beraktifitas. Yesus menambahkan: “Hendaklah kalian seperti orang yang menantikan tuannya pulang dari pesta nikah, supaya jika tuannya datang dan mengetuk pintu, segera dapat dibukakan pintu.” (Luk 12:36).

Dalam masa pandemi kita semua seakan sedang mengantri di depan gerbang untuk masuk ke dalam kota Yerusalem. Saya teringat pada Kitab Mazmur, di mana di dalamnya dikatakan: “Aku bersukacita, ketika dikatakan orang-orang kepadaku: Mari kita pergi ke rumah Tuhan. Sekarang kaki kami berdiri di pintu gerbangmu, hai Yerusalem” (Mzm 122:1). Kita semua seakan sedang menunggu giliran untuk masuk ke dalam kota damai. Ada banyak yang berdesakan dan masuk ke dalam peristirahatan abadi bersama dengan Tuhan. Ada lebih banyak yang masih mengalami kasih Allah yang begitu indah. Maka kita perlu siap bukan hanya sekedar masuk saja tanpa persiapan. Kita berusaha supaya ikat pinggang kita tetap berikat, memiliki hati seorang hamba yang siap menantikan kedatangan sang raja dengan penuh kesetiaan.
Hal yang menarik perhatian kita semua adalah sosok tuan yang rendah hati. Tuan itu merasa bahagia ketika menyaksikan para hamba-Nya selalu siap untuk menantikan kedatangan-Nya dalam situasi apa saja. Ia menyapa para hamba ‘berbahagialah’ dan siap untuk melayani mereka. Tuan yang satu ini memang beda. Dia tidak memandang statusnya sebagai tuan, dia malah merendahkan diri untuk melayani para hambanya yang setia menanti kedatangannya. Hal yang sama terjadi pada Yesus Anak Allah. Dia tidak memandang status-Nya sebagai Anak Allah tetapi rela berkenosis untuk melayani manusia yang berdosa dengan Paskah-Nya. Pada malam perjamuan terakhir, Yesus sang Anak Allah berlutut di depan para murid untuk membasuh kaki mereka.

Hidup Kristiani bermakna ketika kita memiliki hati sebagai hamba yang selalu siap menantikan kedatangan Tuhan. Dan perkataan yang indah bagi para hamba adalah ‘berbagialah para hamba itu’. Memang kita harus berprinsip: “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan” (Luk 17:10).

P. John Laba, SDB