Food For Thought: Rekonsiliasi

Butuh semangat untuk bertobat

Pada hari ini kita mengenang sosok orang Kudus yang pernah mengunjungi tanah air kita Indonesia pada tahun 1989 yakni St. Yohanes Paulus II. Bagi saya, orang kudus ini sangat akrab karena saya sendiri bertemu dengan beliau secara langsung sebanyak tiga kali yakni tahun 1989 di Dili, tahun 1998 di tempat istirahatnya yakni Castel Gandolfo dan tahun 2000 di Yerusalem. Pada pagi hari ini saya mengingat sebuah perkataannya yang menginspirasi: “Ketika sedang berdoa, kamu harus menyadari bahwa doa bukan hanya sekedar meminta sesuatu kepada Tuhan atau mencari bantuan khusus, meskipun ada doa permohonan sebagai salah satu cara berdoa yang benar. Namun demikian doa kita juga haruslah ditandai dengan ucapan syukur, pujian, dan pemujaan. Mintalah pengampunan yang tiada hentinya dari Tuhan.” Kita semua mengklaim diri sebagai pribadi yang selalu berdoa atau lebih lagi ada ‘pendoa’ namun bisa saja kita hanya bisa meminta dan mencari bantuan khusus dan lupa bersyukur, menaikan pujian, memuja dan memohon ampun.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini mengingatkan banyak orang (termasuk kita yang membaca dan mendengar Injil hari ini) akan kemampuan yang Tuhan berikan sebagai sebuah anugerah untuk memahami fenomena-fenomena dalam alam semesta. Misalnya, Tuhan Yesus berkata: “Apabila kamu melihat awan naik di sebelah barat, segera kamu berkata: Akan datang hujan, dan hal itu memang terjadi. Dan apabila kamu melihat angin selatan bertiup, kamu berkata: Hari akan panas terik, dan hal itu memang terjadi.” (Luk 12:54-55). Semua fenomena alam ini dapat dinilai oleh siapa saja, tanpa perlu mempelajari ilmu tertentu sebab ini merupakan bagian dari pengalaman empiris manusia. Namun ada sebuah kekurangan yang menjadi kritikan Yesus adalah manusia belum mampu menilai tanda-tanda zaman.

Apa yang seharusnya kita lakukan sebagai anak-anak Tuhan? Kita seharusnya berusaha untuk membangun semangat untuk bertobat atau semangat untuk berekonsiliasi dengan Tuhan dan sesama. Tuhan Yesus mengungkapkannya dalam perkataan ini: “Sebab, jikalau engkau dengan lawanmu pergi menghadap pemerintah, berusahalah berdamai dengan dia selama di tengah jalan, supaya jangan engkau diseretnya kepada hakim dan hakim menyerahkan engkau kepada pembantunya dan pembantu itu melemparkan engkau ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.” (Luk 12:58-59).

Semangat untuk bertobat atau berekonsiliasi dapat terjadi dalam diri kita ketika kita sungguh merasa sebagai orang berdosa. Tanpa perasaan sebagai orang berdosa akan sulit bagi kita untuk melakukan pertobatan atau rekonsiliasi. St. Paulus mengajarkan kita dengan pengalamannya: “Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku.” (Rm 7:20). Mengenal diri sebagai orang berdosa itu lebih mulia dari pada menipu diri atau seolah-olah orang kudus di antara sesama manusia.

Mari kita memohon rahmat pertobatan atau rekonsiliasi kepada Tuhan melalui Santo Yohanes Paulus II. Semoga kita ‘tidak takut’ untuk membaharui hidup kita dan menjadi semakin layak di hadirat Tuhan.

St. Yohanes Paulus II, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB