Homili 22 Oktober 2021

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXIX
Rm. 7:18-25a;
Mzm. 119:66,68,76,77,93.94;
Luk. 12:54-59

Berusahalah berdamai

Saya mengingat dua orang sahabat akrab. Banyak orang yang mengenal mereka mengatakan bahwa di mana ada si A, di sana pasti ada si B. Mereka tidak pernah berpisah. Namun anggapan banyak orang ini berubah ketika kedua sahabat ini berselisih paham dan semua rahasia pribadi terbongkar. Menyedihkan! Ada orang yang mengatakan, “Sebenarnya tak perlu berbicara tentang hal-hal yang bersifat pribadi karena tanpa diungkapkan pun, semua orang tahu dan mengerti tentang relasi kalian.” Butuh waktu yang cukup lama bagi mereka berdua untuk berdamai dan menjalin relasi persahabatan seperti semula. Mereka berusaha untuk berdamai dengan melupakan hal-hal yang sudah pernah terjadi. Tepat sekali perkataan ini: “Sahabat itu seperti halnya mata dan tangan. Saat mata menangis tangan mengusap, saat tangan terluka mata menangis.” Sahabat sejati penuh dengan pengorbanan diri bagi sahabatnya. Tuhan Yesus berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13).

Pada hari ini Tuhan Yesus menyapa kita semua. Ada dua hal yang diungkapkan-Nya dalam perikop injil hari ini. Para pendengar perkataan Yesus adalah orang-orang banyak, bukan kelompok khusus yaitu para murid. Apa yang dikatakan Yesus kepada mereka? Pertama, kemampuan manusia untuk menilai zaman atau membaca tanda-tanda zaman. Yesus berkata: “Apabila kamu melihat awan naik di sebelah barat, segera kamu berkata: Akan datang hujan, dan hal itu memang terjadi. Dan apabila kamu melihat angin selatan bertiup, kamu berkata: Hari akan panas terik, dan hal itu memang terjadi.” (Luk 12:54-55). Orang-orang Yahudi tahu persis kapan musim baik atau musim tidak baik dengan berdasar pada pengalaman empiris mereka. Ketika mereka merasakan gerak angin dari daerah laut Tengah maka mereka langsung sadar bahwa akan segera turun hujan. Kalau dari arah berlawanan yakni dari padang gurun maka udaranya pasti panas. Pengalaman orang Yahudi ini mirip dengan orang-orang tua yang mengamati bentuk awan, posisi matahari, bunyi burung sambil menentukan musim hujan atau musim kemarau.

Semua orang yang mendengar Yesus tentu mengakui pendapat-Nya karena memang sesuai dengan kenyataan yang ada. Semua yang mereka pikirkan tentang perubahan musim dan cuaca sangatlah tepat. Namun ada yang masih kurang yakni bagaimana mereka dapat menilai zaman. Bagaimana mereka bisa membuka diri untuk menerima Yesus sang raja damai di dalam hidup mereka. Yesus menegur mereka dengan perkataan ‘munafik’ karena tegar tengkuk. Perkataan yang sama juga dapat terjadi di dalam diri kita. Kita hanya bisa melihat fenomena alam namun belum pandai menilai zaman ini. Konsekuensinya adalah pada keselamatan kita karena Yesus adalah satu-satu Penyelamat kita.

Hal kedua yang menjadi pewartaan Yesus hari ini adalah Ia menghendaki supaya setiap orang dapat membangun semangat pertobatan dalam diri mereka saat itu. Tentu saja hal ini dilandasi oleh semangat untuk saling berdamai dengan Tuhan dan sesama. Berkaitan dengan ini, Tuhan Yesus berkata: “Sebab, jikalau engkau dengan lawanmu pergi menghadap pemerintah, berusahalah berdamai dengan dia selama di tengah jalan, supaya jangan engkau diseretnya kepada hakim dan hakim menyerahkan engkau kepada pembantunya dan pembantu itu melemparkan Aku berkata kepadamu: Engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.” (Luk 12:58-59).

Kata kunci untuk kita semua adalah ‘Segeralah berdamai’ dalam perjalanan karena kawan bisa menjadi lawan. Ini adalah sebuah nasihat yang sangat super bagi kita semua. Kita butuh suasana damai untuk dapat bertumbuh menjadi lebih baik lagi. Apa untungnya kita menaruh dendam kepada sesama? Seharusnya kita segera berdamai dengan sesama, saling memaafkan satu sama lain. Kita berdamai dengan Tuhan karena merasa diri sebagai orang berdosa. Berdamai lalu dapatlah diartikan sebagai kesempatan untuk bertobat. Kita membangun rekonsiliasi atau pendamaian dengan Tuhan dan sesama. Pertobatan atau pendamaian membawa kita kepada kesempurnaan.

Santo Paulus dalam bacaan pertama menguatkan kita semua melalui pengalaman dan perkataannya. Ia mengakui bahwa di dalam dirinya ada kebaikan dan kejahatan. Sebab itu dia melakukan bukan kebaikan melainkan kejahatan. Lebih lanjut ia mengatakan: “Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku. Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku.” (Rm 7:20-21).

Pada hari ini kita mengenang St. Yohanes Paulus II. Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip perkataannya ini: “Dia telah memanggil dan memilih kamu sebagai anak-anak Allah untuk hidup dalam kebebasan. Berbaliklah kepada-Nya dalam doa dan cinta. Minta Dia untuk memberikanmu keberanian dan kekuatan untuk hidup. Berjalanlah bersama Dia yang adalah “Jalan, Kebenaran, dan Hidup”. Mari kita berjalan bersama Yesus dan berdamai dengan-Nya melalui pertobatan kita.

P. John Laba, SDB