Homili Hari Minggu Biasa ke-XXX/B – Minggu Misi 2021

Hari Minggu Biasa XXX/B
Hari Minggu Misi ke-94
Yer. 31:7-9;
Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6;
Ibr. 5:1-6;
Mrk. 10:46-52.

Hidup Misioner di tengah pandemi

Hari Minggu Biasa ke-XXX/B sangat istimewa karena kita merayakan Hari Minggu Misi sedunia yang ke-95. Bapa Suci Paus Fransiskus menulis pesannya dengan tema: “Kami tidak mungkin untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan kami dengar” (Kis. 4:20). Ini adalah kutipan perkataan Petrus dan Yohanes di hadapan Mahkamah Agama. Benar-benar sebuah keberanian untuk bersaksi tentang Kristus yang mereka Imani. Mereka berani berkata tentang apa yang mereka sudah lihat dan dengar. Hidup misioner itu merupakan pengejawantahan apa yang dilihat dan didengar dengan iman kepada Kristus. Hal yang penting di sini adalah pengalaman pribadi dengan Kristus bukan tentang Kristus.

Saya mengutip satu bagian dalam pesan Bapa Suci: “Pada masa pandemi ini, ketika ada godaan untuk mengaburkan dan membenarkan sikap tidak peduli dan masa bodoh atas nama menjaga jarak (social distancing) demi kesehatan, ada kebutuhan mendesak untuk misi belas kasih, yang menjadikan jarak yang diperlukan itu sebagai kesempatan untuk bertemu, peduli, dan menawarkan belas kasih tersebut. “Apa yang telah kami lihat dan kami dengar” (Kis. 4:20), belas kasih yang telah kita alami, dapat menjadi rujukan dan sumber kredibilitas, yang memampukan kita memulihkan hasrat bersama untuk membangun “sebuah komunitas di mana kita saling memiliki dan setia kawan, mengalokasikan tenaga dan sumber daya kita (Fratelli Tutti, 36).” Hidup misioner di tengah pandemi masih tetap aktual bagi Gereja sebagai umat Allah. Setiap pribadi mestinya terdorong untuk memiliki semangat ‘sharing is caring’.

Perikop Injil hari ini adalah tentang Anak Timeus, si pengemis buta di Yerikho. Ia tentu sudah mendengar tentang Yesus dari Nazaret dan kali ini dia berusaha untuk memohon belas kasih dari Yesus dengan berkata: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” (Mrk 10:47). “Anak Daud, kasihanilah aku!” (Mrk 10:49). Permohonannya untuk mendapatkan belas kasih dari Yesus sangat jelas: “Rabuni, supaya aku dapat melihat!” (Mrk 10:51). Yesus melihat iman Bartimeus maka diapun disembuhkan. Peristiwa penyembuhan ini membukanya jalan bagi Bartimeus untuk mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Mengikuti Yesus sampai tuntas merupakan wujud nyata kecintaan pada Yesus dan rasa syukur yang besar kepada-Nya. Sebuah perjalanan misioner selalu ditandai oleh pengalaman akan kerahiman Allah dalam diri Yesus sebagaimana ditunjukkan oleh para murid Yesus dan Santo Paulus.

Mari kita kembali ke Bartimeus. Bartimeus atau anak Timeus bukanlah nama yang sebenarnya. Dia mewakili banyak orang di sekitar kita yang sedang menjadi korban akibat pandemi. Boleh dikatakan bahwa masih banyak Bartimeus yang berteriak memohon belas kasih, semangat berbagi sebagai tanda kepedulian dari sesama manusia yang lain. Tetapi yang terjadi adalah, ada yang masih menghalangi dengan menegur, ada yang hanya bisa mengantar tetapi tidak berempati dan hanya sedikit yang serupa dengan Yesus Kristus yang berempati dengan bertanya tentang kebutuhannya dan menolong dengan sepenuh hati.

Wujud nyata sikap misioner adalah menjadi semakin serupa dengan Yesus yang berempati dengan orang yang sangat membutuhkan seperti Bartimeus ini. Masih ada bartimeus yang lain yang tetap berteriak maka bukalah hati dan telinga untuk menjadi saudara yang siap menolong. Sikap menolong adalah sikap Yesus yang menjadi kesaksian iman kita seperti yang dlakukan Petrus dan Yohanes. Kita juga dengan iman melihat dan mendengar Yesus dan siap untuk bersaksi tentang-Nya.

Nabi Yeremia dalam bacaan pertama memberikan gambaran bahwa pada saat-saat yang sulit sekalipun, Tuhan tidak pernah lupa akan umat-Nya. Tuhan akan tetap memperhatikan mereka yang tidak dapat diperhatikan oleh sesama manusia. Hanya Tuhan yang sanggup melepaskan manusia dari keterpurukan, kelemahan dan kegagalan hidupnya. Melalui nabi Yeremia, Tuhan berkata: “Sesungguhnya, Aku akan membawa mereka dari tanah utara dan akan mengumpulkan mereka dari ujung bumi; di antara mereka ada orang buta dan lumpuh, ada perempuan yang mengandung bersama-sama dengan perhimpunan yang melahirkan; dalam kumpulan besar mereka akan kembali ke mari!” (Yer 31:8). Sekali lagi, dalam masa pandemi ini kita masih bertemu dengan orang-orang yang menderita seperti orang-orang buta, orang-orang lumpuh dan mereka yang mengalami banyak penderitaan. Kita semua hendaknya terpanggil untuk memberikan perhatian sebagai tanda kepeduliaan kepada mereka. Ini juga merupakan sebuah bentuk pelayanan misioner.

Seorang Misionaris adalah seorang alter Christus yang melayani di tengah dunia sebagai imam yang serupa dengan Yesus sang Imam Agung. Imam Agung melayani dengan mempersembahkan kurban kepada Tuhan. Dalam surat kepada Umat Ibrani kita membaca: “Seorang Imam Agung harus dapat mengerti orang-orang yang jahil dan orang-orang yang sesat, karena ia sendiri penuh dengan kelemahan, yang mengharuskannya untuk mempersembahkan korban karena dosa, bukan saja bagi umat, tetapi juga bagi dirinya sendiri.” (Ibr 5:2-3). Setiap karya dan pelayanan yang dilakukan seorang misionaris bukan atas namanya sendiri melainkan atas nama Yesus Kristus sang Imam Agung. Apa yang kita dengar dan kita lihat, itulah yang kita wartakan sebagai tanda kesaksian misioner kita.

Saya menutup renungan ini dengan mengutip perkataan Paus Fransiskus dalam pesannya pada hari Minggu Misi ke-95 ini: “Marilah kita secara khusus mengenangkan semua yang dengan gagah berani berangkat, meninggalkan rumah dan keluarga, untuk membawa Injil ke segala tempat dan kepada semua orang yang haus akan kabar keselamatannya.” Kiranya kita semua memiliki hati Yesus yang selalu tergerak oleh belas kasih untuk berempati dengan sesama manusia di tengah pandemi ini. Tuhan memberkati kita semua.

P. John Laba, SDB